Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Minggu, 29 Mei 2011

PERAN PERPUSTAKAAN DAN BUDAYA BACA

laporan utama

Membaca sebagai salah satu kegiatan pengayaan pengetahuan menjadi salah satu indikator kemajuan peradaban sebuah bangsa. Sayangnya beberapa fenomena yang terjadi di tanah air menunjukkan bahwa budaya baca masyarakat kita masih belum tinggi. Pengaruh budaya barat melalui berbagai media termasuk internet mempengaruhi pilihan perilaku bangsa kita. “Salah satu kekuatan menangkal budaya yang tidak sesuai dengan etika kita adalah merubah perilaku budaya masyarakat lewat bacaan yang mendidik,” kata Yuniwati Yuventia, alumnus Magister Ilmu Komunikasi UNPAD Bandung. Yuniwati mengatakan hal itu saat menjadi pemakalah dalam kegiatan forum SKPD Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang di Ungaran belum lama ini.
Menurut Yuni, sapaan akrabnya, masyarakat Indonesia bukannya tidak bisa membaca (cannot read) namun tidak biasa membaca (do not read). Karenanya, perlu meningkatkan budaya baca masyarakat agar tercipta reading society sekaligus menuju masyarakat belajar (learning society).
Perpustakaan menjadi sebuah lembaga yang dianggap Yuniwati penting untuk mendukung upaya pencapaian itu. Pemerintah sebagai penyelenggara negara tidak hanya berpangku tangan menyiapkan perpustakaan sebagai ujung tombak peningkatan budaya baca. Landasan yuridis formal seperti UU nomor 43 tahun 2007 tentang perpustakaan dan keppres Nomor 11 tahun 1989 mengatur secara tegas peran dan kedudukan perpustakaan itu.
Dikatakan lebih lanjut, perpustakaan dapat melakukan berbagai kegiatan agar tugas dan fungsinya tersebut dapat berhasil guna dan bergerak sangkil. Diantaranya promosi buku koleksi terbaru, pekan kunjungan perpustakaan, lomba menulis karya ilmiah, membentuk kelompok pembaca, lokakarya peningkatan mutu sumber daya manusia pengelola perpustakaan maupun menjalin kerja sama dengan lembaga pendidikan di berbagai tingkatan.
Sementara itu Kepala Kantor Perpustakaan Daerah Nelly Rahmawati SH MHum menambahkan pihaknya telah mengembangkan potensi perpustakaan agar berfungsi maksimal. Diantara potensi itu adalah 70 perpustakaan desa (data per Januari 2010), UPT Perpustakaan Ambarawa, dua pos baca di RSUD Ungaran dan Kantor Kecamatan Bandungan dan dua unit mobil perpustakaan keliling. “Pengembangan perpustakaan di arahkan pada terwujudnya minat dan budaya baca masyarakat,” tegas Nelly.
Pengembangan perpustakaan desa, misalnya, mendapat dukungan dana APBD Kabupaten Semarang. Selain sarana dan prasarana, peningkatan mutu sumber daya manusia pengelola perpustakaan juga mendapat perhatian. “Pendampingan pengembangan perpustakaan desa juga melibatkan tenaga fungsional pustakawan,” tambahnya.
Diharapkan nantinya setiap desa / kelurahan memiliki perpustakaan yang memadai dan mampu memberikan pelayanan maksimal kepada masyarakat.
Selain memberdayakan perpustakaan, Yuniwati yang juga pengajar luar biasa di Fakultas Ilmu Budaya UNDIP Semarang menyebut peran keluarga, sekolah dan masyarakat dapat menjadi penopang keberhasilan upaya peningkatan dan pembentukan budaya baca. “Penyediaan bahan bacaan bermutu di rumah maupun memasukkan kegiatan membaca dalam arti luas pada kurikulum pengajaran dapat menunjang upaya menumbuhkan kegemaran membaca,” tuturnya.
Di tingkat masyarakat, perlu juga diupayakan pencitraan perpustakaan sebagai tempat yang menghibur dan bisa menjadi wahana rekreasi keluarga yang menarik. Untuk itu para pengelola perpustakaan dituntut untuk kreatif dan inovatif menjadikan perpustakaan memiliki daya tarik tersendiri.
Di hipotesa akhir makalahnya, Yuniwati menyebutkan upaya pengentasan rendahnya minat baca masyarakat harus dilakukan secara simultan oleh segenap pemangku kepentingan. “Jadikan perpustakaan sebagai pusat informasi sekaligus menambah ilmu dan pelestari budaya bangsa bernama membaca,” pungkasnya. (*/junaedi)

PONDOK BACA “MORTIR”

Liputan
PONDOK BACA “MORTIR”

Ketika Buletin Pustaka menyambangi Pondok baca Mortir di Jl Meranti Timur Dalam I No. 346 di Kecamatan Banyumanik Kota Semarang, langsung disambut dengan tulisan “Mari Membaca Biar Kita Berubah”. Ajakan yang menyiratkan semangat. Tidak Berlebihan, apabila mengenal Bapak Parmanto, SH. M.Hum., yang kini sudah berusia 63 tahun masih dengan penuh energi berikhtiar ikut memajukan bangsa dengan ajakan untuk membaca.
Rumah pribadi yang berukuran kurang lebih 8 kali 5 meter disulap menjadi sebuah Pondok Baca, pengorbanan yang tidak kecil. Kalau saja Bapak Parmanto mempertahankan fungsi sebelumnya (rumah kos) maka ia kini masih menerima uang sewa Rp.1 juta/bulan. Pondok Baca diberi nama “Mortir” Sesuai dengan nama panggilan waktu kecil. “Bapak saya memanggil “Mortir” sesuai dengan suasana saat saya lahir, kota kelahiran saya yaitu Yogyakarta pada saat itu di Bom oleh Belanda pada saat agresi Belanda.“ terang Bapak Parmanto.
Bapak Parmanto mendapat ilham mendirikan Pos Baca “Mortir” saat berada di sebuah toko buku di tahun 2000an, pada waktu itu, ia melihat ada seorang anak yang dimarahi orang tuanya karena buku yang dipilih harganya mahal. “Saya terenyuh melihat kejadian itu, seketika matahati saya terbuka, saya harus berbuat sesuatu, akhirnya tercetuslah ide saya mendirikan pondok baca Mortir ini” urai Bapak Parmanto.
Semenjak kejadian itu Bapak Parmanto, mengumpulkan koleksi koleksi pribadi, meminta bantuan ke tetangga sekitar, mengirim berbagai proposal ke perusahaan, kedubes dan instansi lain.
Akhirnya pada 2005 tepatnya pada tanggal 9 Desember 2005, Pondok Baca ini diresmikan oleh Wakil Walikota Semarang Bapak Mahfudz Ali. Pada saat diresmikan Pondok Baca Mortir memiliki koleksi buku tidak kurang dari 2000 eksemplar. Usaha tak kenal menyerah yang dilakukan Bapak Parmanto akhirnya membuahkan hasil, banyak bantuan yang mengalir. Selain berbentuk uang, buku juga berbentuk gratis langganan surat kabar dari Suara Merdeka dan Kompas. Bahkan pada tahun 2009 mendapat bantuan papan baca dari Suara Merdeka. Oleh pihak harian Suara Merdeka papan baca di beri nama Papan Baca untuk Rakyat.
Jam buka Pondok Baca, jam 10 pagi sampai jam 3 sore. Masyarakat bebas membaca, berdiskusi maupun mencari klipping di surat kabar. ”Saya memperbolehkan surat kabar untuk di potong demi pendidikan mereka, biasana kalau mereka mendapatkan tugas pasti kesini”, jelas Bapak Parmanto.
Untuk menjadi anggota cukup membayar hanya Rp.5000 dengan jangka waktu 1 tahun. Kemudian disediakan infaq/ sumbangan sukarela pada pengunjung (sifatnya tidak wajib) yang kegunaannya untuk kegiatan pendukung pondok baca ini, seperti lomba membuat sipnosis.
Sampai bulan Februari, jumlah koleksi yang dimiliki sebanyak 6615 eksemplar buku, 3 langganan surat kabar dan berbagai macam koleksi audio visual yang lain. Ada rasa haru ketika Bapak Parmanto menjelaskan bahwa Kadang - kadang apabila anak – anak mencari buku, kemudian buku yang dimaksud tidak ada, maka dengan uang pribadi secepatnya Bapak Parmanto membeli buku yang diinginkan anak tersebut.
Selain hal tersebut, Bapak Parmanto memperkerjakan satu orang karyawan yang di beri gaji tiap bulan. “Sudah dua tahun ini berjalan”, kata Bapak Parmanto
“Sa
Pondok Baca Mortir dengan koleksi yang mencapai enam ribuan ini sayangnya belum di administrasi sesuai dengan standar perpustakaan, hal itu diakui oleh Bapak Parmanto, “Saat ini saya sedang merencanakan untuk bekerja sama dengan Perpustakaan Daerah Propinsi Jawa Tengah agar mengajari kami cara mengolah buku yang benar, sebenarnya sudah sejak lama saya mengirim surat kepada pihak terkait, akan tetapi belum mendapatkan respon apapun,” keluh Bapak Parmanto. Memang sangat disayangkan, Pondok Baca Mortir yang sudah memiliki koleksi yang sangat banyak, menempati gedung sendiri, mempunyai berbagai koleksi yang beragam serta pembaca tetap, perlu diketahui rata – rata pembaca tiap hari antara 15 sampai dengan 35 orang ternyata belum mendapat perhatian khusus.
Bapak Parmanto tidak pernah menyesal telah mendirikan Pondok Baca Mortir ini, meski pada awalnya banyak mendapat cibiran dari para tetangga maupun kerabat, tapi dengan tak kenal menyerah akhirnya sampai sekarang dirasakan manfaat yang besar bagi warga sekitarnya, bahkan menurut Bapak Parmanto “ Pengunjung yang datang kesini juga ada yang berasal dari wilayah yang relatif jauh, seperti Gedawang, Tembalang maupun Pudakpayung”.
Semangat bapak Parmanto yang juga diabadikan di pintu gerbang Pondok Baca Mortir, agar semua orang bisa melihat dan membacanya: “Saya tidak akan pernah berhenti mengajak bangsaku untuk gemar membaca agar menjadi bangsa yang cerdas supaya kelak dapat menyelesaikan persoalan bangsa”
Diakhir pertemuan dengan Buletin Pustaka Bapak Parmanto masihmengharapkan dukungan, maupun bantuan dengan menghubungi Bapak Parmanto di Pondok Baca “Mortir” nomor telp. 024(7472038).
(*\Bambang )

puisi

CERITA...
Ada cerita dalam tiap sinar mentari di pagi hari
Ada cerita di bulir keringatmu
suatu hari yang panas
Masih ada cerita saat menjelang malam
mengapa bintang-bintang itu terus bersinar?
betapa berkilau mereka....
Selalu ada cerita dalam tiap tetes air matamu
mereka cerita padaku betapa kau pilu merintih
Selalu ada cerita dalam derai tawamu
juga senyum manis
gigimu yang putih berkata-kata
dan lesung pipitmu ikut ketawa jenaka


Selalu ada cerita dalam kehidupan ini
satu hari adalah satu cerpen
dan hidupmu adalah sebuah novel yang belum selesai
kau sendiri yang tentukan akhirnya

Maka Ceritakanlah padaku ceritamu..!
Liona Rei



LILIN
Dalam gelap
sebatang lilin berpendar
merelakan tubuhnya
hancur
leleh oleh panas
demi secercah cahaya
redup diabaikan dunia
tiupan lembut mematikan
lampus
tapi tak berhenti
tak akan pernah mau
meski hanya berarti kecil bagi sekeliling
dia punya mimpi dan tujuan
dan Tuhan telah memeluk mimpi-mimpinya
Liona Rei

Brilliantika Resy Febriani"

________________________________________

MENJADIKAN PERPUSTAKAAN SEBAGAI TEMPAT REKREASI

(tajuk rencana)

Gagasan menarik untuk menjadikan perpusakaan sebagai tempat rekreasi semakin mengemuka. Bagaimana mengelola dan “mewarnai” perpustakaan sebagai pusat kegiatan masyarakat yang mengedepankan unsur rekreasi dan menyenangkan menjadi sebuah tantangan bagi para praktisi perpustakaan. Tentu saja tanpa meninggalkan fungsi dasar perpustakaan sebagai tempat membaca dan mencari ilmu pengetahuan melalui buku.
Selama ini perpustakaan identik dengan tumpukan buku dalam sebuah ruangan yang terkesan kaku. Sama seperti saudara tuanya, museum, perpustakaan selalu saja dianggap sebagai tempat tujuan urutan ketujuh untuk dikunjungi. Pengunjung perpustakaan hanya datang lalu memilih buku bacaan yang disukai. Seterusnya mereka semua hanya diam membisu tenggelam dalam bacaan favoritnya. Karena memang dilarang bicara di ruang baca perpustakaan!
Seiring dengan kemajuan teknologi informasi, terbuka peluang bagi para pengelola perpustakaan untuk memadupadankan performa perpustakaan konvensional dengan berbagai sarana canggih yang menghibur.
Berbagai sarana seperti komputer yang terhubung dengan internet, media audio visual serta peralatan lainnya dapat saja dikembangkan berdampingan dengan ruang baca. Tentu saja, tetap dilarang bicara di ruang baca. Namun diruang lain, yang tidak saling mengganggu, para pengunjung dapat menikmati electronic book (e-book) melalui komputer. Sementara di ruangan lain yang kedap suara, tersedia perangkat audio visual untuk memutar berbagai film pengetahuan tentang alam semesta maupun petualangan alam dan panduan membuat alat teknologi tepat guna.
Pada sisi yang lain, disediakan tempat khusus untuk berdiskusi dan arena kreatifitas menggambar dan menulis bagi anak-anak.
Gambaran sekilas pengembangan perpustakaan itu tentu saja masih harus dikaji mendalam. Dibutuhkan sarana dan prasarana serta dana pendukung untuk menciptakannya. Namun paling tidak gagasan menjadikan perpustakaan sebagai tempat rekreasi yang menghibur dan mendidik bukan hanya sekadar “omong ayam” alias kosong belaka. Masih ada peluang dan aneka cara meningkatkan budaya membaca tanpa harus meninggalkan kegiatan yang menyenangkan. Jadi, ayo ke perpustakaan!(*/junaedi)

PROFIL PUSTAKA LOKAL

(edisi 5)

Mas Roni (32th) akrab dipanggil, muda dan bersemangat, kesan yang nampak saat berbincang – bincang dengan Buletin Pustaka, Tokoh pemuda yang berasal dari Gemawang Jambu Kabupaten Semarang ini adalah pengajar di MIN Jambu. Pemilik nama lengkap Amin Arroni ini di sela-sela kesibukannya sebagai selain sebagai guru juga aktif di berbagai organisasi remaja dan organisasi sosial kemasyarakatan. Bersama kawan – kawan di organisasi kepemudaan bahu - membahu mendirikan sebuah Taman Baca Masyarakat “NURUH FATTAH”.
Nurul Fatah berada di Dusun Banaran RT 03/II Gemawang Kecamatan Jambu, wilayah ini berbatasan langsung dengan Kabupaten Temanggung. Terbentuk sejak 1 September 2003 TBM Nuruh Fatah sudah mengalami pasang surut dalam perkembangannya.
“TBM Nurul Fattah ini, berawal dari koleksi pribadi saya”, urai mas Roni. “Berdasarkan pengalaman pribadi saya sekitar tahun 2001, banyak kerabat, teman maupun tetangga disekitar rumah saya yang meminjam buku yang dipajang di ruang tamu rumah saya. Karena kejadian itu, maka tercetuslah ide dibenak saya. Kemudian pada waktu itu melalui organisasi pemuda di Gemawang ini, saya bersamateman-teman mencoba merealisasikan ide ini.” terang mas Roni. Ide membangun sebuah perpustakaan kecil yang nantinya diperuntukkan bagi masyarakat sekitar.
Bergotong-royong, kemudian mas Roni ini dan rekan rekan pemuda mendirikan Taman Baca yang kemudian diberi nama ”NURUL FATTAH”, diawal pendirian masyarakat banyak yang mencemooh usaha ini, akan tetapi lambat laun setelah dirasakan manfaatnya oleh warga sekitar, masyarakat menyambut positif keberadaan TBM Nurul Fattah ini.
Koleksi awal yang berjumlah 200 eksemplar ini sekarang sudah mencapai 3000 eksempalr, itu belum termasuk koleksi majalah, surat kabar maupun koleksi audio visual lainnya.
Nurul Fattah sendiri, nama yang dicetuskan mengandung arti “ Nurul itu berati cahaya, sementara Fattah adalah sebuah kemenangan, jadi kami menganalogikan dengan cahaya kemenangan bagi masyarakat melalui pembelajaran seumur hidup dengan membaca buku” jelas Mas Roni.
Perjuangan panjang kami sampai terbentuk TBM Nurul Fattah melalui sebuah proses panjang, diawali sebuah penerjemahan ide, kemudian melalui kelompok rebana di dusun Banaran ini kami mengaktualisasikan keinginan untuk maju dengan sebuah gebrakan yaitu usaha menyediakan informasi bagi masyarakat dengan buku. Ketika gayung bersambut oleh teman - teman kelompok rebana, kemudian TBM Nurul Fattah ini dikembangkan dengan berinduk pada organisasi kepemudaan, Nurul Fattah Social Community (NAFASKU). Berbagai macam kegiatan Nafasku ini, termasuk salah satunya adalah kegiatan social divisi TBM Nurul Fattah ini, kegiatan lain seperti pendidikan yaitu bimbel, pelatihan internet dan pelatihan life skill yang lain bagi anak – anak sekolah maupun masyarakat umum; keagamaan seperti pengajian, kelompok rebana; pencarian dana dengan penyewaan soundsystem dan tratak dan kursi; dan kegiatan yang baru yaitu kesetaraan gender.
Didalam perjalannya, seperti yang dijelaskan oleh mas Roni kepada Buletin Pustaka, TBM Nurul Fattah ini berpindah – pindah tempat sampai dengan lima kali. “Dengan semangat tak kenal menyerah, kami terus menerus meminta bantuan dari pihak pihak yang peduli, sampai akhirnya pada tahun 2008 kami dibangunkan gedung oleh Yayasan Titian. Selain Yayasan Titian yang banyak membantu kami, ada juga dari Yayasan Losari.” Kata mas Roni menjelaskan panjang lebar.
Jam Layanan di TBM Nurul Fattah ini setiap hari dari jam 8.30WIB sampai dengan jam 21.00 WIB. Keanggotaan bersifat terbuka kepada masyarakat.
”Kegiatan-kegiatan yang sudah kami laksanakan antara lain, lomba-lomba untuk mempromosikan TBM ini, Pelatihan Internet, dan TBM Keliling.” tambah mas Roni.
Menurut mas Roni, TBM Keliling dilaksanakan apabila ada kegiatan di masyarakat seperti posyandu, pkk, pertemuan warga dan lain sebagainya. Mas Roni menjelaskan bahwa:”Buku buku TBM keliling kami sebar begitu saja, biar masyarakat memilih sendiri bahan bacaan, hal ini kami lakukan dalam usaha ikut mempromosikan TBM dan meningkatkan minat baca masyarakat”.
”Golekko Jeneng, Jenange Bakal Teko”, filosofi yang dipakai oleh para pengurus TBM Nurul Fattah saat melaksanakan kegiatan maupun melayani masyarakat melalui usaha memasyarakatkan baca buku ini. ” Usaha dan semua kegiatan yang kami lakukan ini, dilakukan dengan senang, ikhlas dan semangat, sehingga pada akhirnya berbagai perhatian akan kami peroleh, mulai dari atensi masyarakat sampai dengan berbagai bantuan demi eksistensi TBM Nuruh Fattah terus mengalir.
Harapan TBM Nurul Fattah, demi kemajuan masyarakat Gemawang dalam segala bidang, melalui peningkatan minat baca masyarakat serta mendukung program desa advokasi.
Apabila masyarakat ingin berkomunikasi dengan TBM nurul Fatth bisa dengan kontak person :
Mas Roni nomor hp. 085226025765.
Alamat blog : tbmnurulfattah03.wordpress.com
Alamat email: tbm_nurulfafah03@yahoo.com.
(\*tri wijayanto)

Ga Nyangka Perpusda Asyik Juga

(cerpen)
*\Livia Trihanni Hasan

“Cupu, ga keren, bikin males doang!” pikir gue tentang perpus. Bayangin aja, loe yang udah keren-keren di Jakarta, dideportasi ke kota mungil yang namanya Ungaran terus sekarang di suruh ke perpusda? Ga banget deh!
“Nanging, Mas, sampeyan nda bakal rugi yen lunga nang perpusda kuwi. Bukune akeh, isa kanggo mas ajar,” kata orang yang ngaku ke gue namanya Kanca.
“Tapi, Nca, gue ga doyan buku. Di perpusda paling yang ada juga buku tua doank. Apa orang sini belon pada tau yang namanya i-net, ya?”
“Mas, jeneng kula iki Totok, dudu Panca. Inet, Mas? Inet kuwi kan tetanggamu ta, Mas?” ujar Totok polos.
Kepala gue langsung pusing dengerin ocehan Totok yang ga nyambung. Mana ini anak ga konsisten. Dulu ngaku namanya Kanca, sekarang bilang Totok. Yang bego siapa sih?
“ I-net yang gue maksud itu internet, Tok, bukan anak depan!!” Gue mulai gemes.
“Oh, apa ta, Mas, hubungane perpusda sama internet, Mas? Aku kok nda mudeng”
“Haduh,” keluh gue sambil nepuk dahi. “Bikin emosi aja loe.Udahlah, gue lungo aja!” lanjut gue ngadaptasi Bahasa Jawa.
Sebel, gue nyalahin brompit, langsung ngacir. Gag peduli gue ama si Totok-Totok markotok mirip kodok.
Gue jalan muter-muter kota. Lama-lama, perut gue teriak-teriak minta diisi. Akhirnya, gue mampir ke tempat yang mirip stasiun buat ngasi makan cacing-cacing di perut gue. Gue ga ngerti tempat apa itu. Banyak kursi dari semen, tanaman, ama ada tugu yang megah. Yang jelas ini tempat bukan Monas.
Gue beli bakso sambil nongkrong santai. Tiba-tiba mata gue nangkep sosok bidadari. Pemandangan yang bagus banget buat mata. Cuma, sayang, doi langsung masuk gedung deket tempat gue duduk. “Apa itu rumahnya, y?” pikir gue.
Besoknya, gue bosen banged di sekolah. Ujung-ujungnya, gue betah di sekolah cuma sampe jam kedua. Gue bolos.
Ga ngerti angin apa yang bawa gue ke tempat kemaren. Di sana gue duduk anteng sambil ngunyah mendoan satu biji. Selang sepuluh menit, ada 2 cowok masuk ke gedung yang gue anggep rumahnya bidadari gue. “Wah, jangan-jangan itu pacarnya,” gue was-was. Terus, ada juga seorang bapak masuk gedung itu. “Bokapnya! Waw, ketemu calon mertua,” hati gue girang. Ga lama, ada segerombolan anak kecil masuk juga ke sana. “Waduuh?! Siapa, nih?? Anaknya??”
Seminggu gua ga dateng ke sana. Cuma tetep aja gue penasaran. Jam 5 lebih 2 menit 36 detik, gue pergi lagi ke sana. Tanpa basa-basi, gua dateng ke gedung itu pake acara celingukan kaya orang yang sarno (saraf keno alias orang gila). Ada tulisan “Perpustakaan Daerah” di sana. Gue dongkol.
Gue beraniin diri masuk ke dalam. “Mas, diisi dulu buku pengunjungya,” kata seorang petugas. Orang itu yang gue kira bokapnya bidadari gue. Setengah malu, gue langsung ngisi buku pengunjung sambil nglirik-nglirik buat nyari bidadari gue. Abis itu, gue duduk deket tumpukan koran. Baca sedikit di bagian karikatur terus bosen. Baru lima belas menit di sana, gue udah ngambil keputusan buat pergi sebelum gue keriput di situ. Baru aja mau melangkah keluar, bidadari gue nongol di pintu gerbang. Sontak, gue urungin niad pulang. Gue masuk lagi sampe ke bagian novel remaja. Gue baru nyadar ternyata ga Cuma ada buku tua di perpusda. Gue ambil satu buku asal : “Lupus Kecil; Sunatan Massal”. Abis itu, gue langsung duduk di tempat yang strategis buat ngliatin bidadari gue. Ajaib, tanpa mantra, bidadari gue itu tiba-tiba ngliatin gue sambil senyum-senyum. Hati gue langsung melayang ke langit ke tujuh. Tapi ternyata, ga cuma dia yang senyum-senyum. “Gag pernah liad orang ganteng ya kaya gini,” batin gue sok sambil natap buku yang daritadi gue pegang doang. Alamak! Bukunya kebalik!
Seminggu berselang, gue belum mampir ke perpusda lagi. “Bidadari gue pasti kangen,” imajinasi gue. Gue nyari cara buat kenalan dari kemarin. Akhirnya, dapat wahyu juga buat ikutan baca buku yang bidadari gue seneng. “Briliant!” gue puas.
Besoknya, gue nyiapin diri buat jadi Einstein. Gue pake celana jins keberuntungan, kaos oblong, ama parfum cap kembang tujuh rupa. Sesampainya di perpusda, gue langsung beraksi: ngambil buku-buku yang cover-nya bagus dari rak pertanian. Dengan semangat 45, gue ambil 6 buku sekaligus. Gue duduk manis di meja dan ngliatin tumpukan buku di depan gue. “Mau apa, ya?” pikir gue yang udah pusing liad buku 6 biji. Gue ambil satu buku dan langsung jadi anak autis pas liad isinya, “Buset, apaan nih ??!!”
Hari-hari selanjutnya gue tetep dateng ke perpusda. Selalu ada buku pertanian yang gue ambil buat ngelihat gambarnya doang (biar otak gue ga meledak). Kalau bosen, gue ambil komik, kadang juga buku keterampilan, terus nyoba juga buku novel. Dalam kenyataannya, 50% gue baca komik, 30% gue baca novel, 19% gue baca buku keterampilan, dan 1% buat baca buku pertanian. Gue ga pernah ngerti kenapa cewek cakep kaya bidadari gue mau jadi petani.
Lama-lama gue ketagihan baca buku juga. Otak gue mulai jadi encer, cewek kece juga ada di tangan. Ga nyangka deh, ternyata perpusda itu asyik juga!
*\Pengunjung setia Perpustakaan, tinggal di Pundung Putih, Gedang Anak.

MANFAAT CALISTUNG

Oleh : Andi Gatot Anjas Budiman

Persoalan Ujian Nasional mencuat kembali seiring pergantian kabinet Indonesia bersatu, pergantian kebijakan tetap diiringi dengan konsekuensi ditingkat pelaksanaan proses pendidikan di sekolah – sekolah yang ada, baik negeri maupun swasta. Ujian Nasional merupakan gambaran tuntasnya belajar di tingkatnya masing-masing tingkatan sekolah formal. Karena tahapan ini sebagai syarat murid dalam menyelesaiakan tahapan belajarnya. Kehadiran sekolah yang diakhirinya Ujian Nasional memberikan kesan tuntasnya belajar di sekolah, tetapi hal lain adalah menimbulkan pertanyaan-pertanyaan sebagai rentetan kenyataan persoalan dampak dari ujian nasional, dengan kabar baik dan buruk dari dilakukannya ujian nasional sebagai ukuran keberahasilan belajar di persekolahan. Itu hanya sebuah pengantar dari persoalan gunung es tentang proses pendidikan yang ada. Kita akan melihat sisi lain dari proses pendidikan dari hasil sampai dampak selama proses pendidikan berjalan di Republik ini, mengambil contoh dari masih tingginya rendahnya kemampuan masyarakat (baca: peserta belajar) dalam membaca, menulis dan berhitung. Padahal kalau kita sadari calistung menjadi dasar bagi seorang manusia untuk menghadapi makna perubahan hidup. Konteks yang kita ambil bagaimana pendidikan itu mampu menjawab persoalan hidup dan memuliakan kehidupan, jika kita tarik lebih dalam tentang pendidikan. Calistung sebagai pintu membuka cakrawala pengetahuan bagi manusia, seharusnya dapat dikuasai oleh setiap insan manusia, tetapi kenyataannya keterbelakangan calistung mengakibatkan kemiskinan secara luas.
Kesadaran masyarakat dalam menggunakan peluang yang telah terbuka dari Negara sangat kurang dioptimalkan, pendidikan formal, non formal sebenarnya berpeluang besar dalam menyelesaikan persoalan ini. Kesadaran yang dari masyarakat seharusnya menjadi kunci keberhasilan calistung dalam masyarakat sendiri. Membaca fenomena hidup jauh lebih sulit dibandingkan dengan membaca huruf atau angka yang normatif, tetapi dilandasi kesadaran sebagai tumpuan belajar untuk menjalankan program calistung akan lebih realistis di jalankan, tidak hanya mampu menjawab soal-soal ujian nasional dengan meninggalkan persoalan baru dalam menjalankan pendidikan, dalam kerangka memuliakan kehidupan.
Jalan Lain Yang Sederhana
Sebagaimana diatas telah diuraikan sekelumit persoalan Ujian Nasional dan kelemahan-kelemahan mendasar dari masyarakat sendiri, perlu mencari terobosan jalan lain untuk menyelesaikan sekelumit persoalan tersebut. Calistung sebagai dasar berdirinya kualitas pendidikan di Republik ini, tidak hanya sekedar mampu mengerjakan soal-soal Ujian Nasional tetapi jauh lebih dari pada itu. Tanggung jawab masyarakat secara umum sangat besar dalam menyelesaikan persoalan calistung di dalam masyarakat sendiri, jalan yang bisa ditempuh diantaranya dengan model yang dianggap lama : mengembalikan mencongak,bercerita di depan kelas,menjelaskan gambar – gambar yang digambar oleh mereka. Tahapan sederhana ini memperkaya imajinasi peserta belajar atau siapa saja untuk memperkaya pengetahuan bagi dirinya sendiri. Berangkat dari paham akan yang mereka lakukan dalam menjalankan kehidupan, keberanian untuk berkembang dan menambah pengetahuan akan semakin kuat pula.
Keinginan untuk maju dengan sendiri kemampuan membaca, menghitung dan menulis akan mengalir dengan sendiri, karena kesadaran yang tumbuh dan kritis telah mengakar dalam jiwa setiap peserta belajar. Dampak dari hal sederhana tersebut akan sendirinya berjalan terpenuhinya pengetahuan membaca, menulis dan berhitung bagi peserta belajar atau masyarakat khususnya yang belum tuntas membaca, menulis dan berhitung. Kata kunci untuk berhasilnya pembelajaran ini adalah bagaimana menumbuhkan peserta belajar untuk didorong dan di berikan semangat dalam bentuk apresiasi yang bermakna, sehingga keinginan belajar dan belajar semakin kuat. Mencongak, bercerita dan menjelaskan gambar hanya sebagian kecil jembatan untuk menperkuat pengetahuan bagi masyarakat umumnya, sebagai tahapan awal memberantas buta huruf dan angka, sebab membaca, menulis dan mengitung dalam makna ini adalah tidak secara normatif tetapi bagaimana jauh kedepan membaca, menulis dan menghitung dapat mengisi kehidupan yang lebih bermartabat.(*/Penulis adalah pemerhati pendidikan, tinggal di Jubelan Sumowono)

STRATEGI MEMBANGUN PERPUSTAKAAN

Oleh : Wachid El Khwarizm

Dalam rangka meningkatkan kecerdasan bangsa, Pemerintah dan masyarakat telah melakukan berbagai upaya melalui berbagai program pendidikan sekolah (pendidikan formal) dan pendidikan luar sekolah (pendidikan nonformal dan informal).
Salah satu program sebagai masukan sarana (instrumental input) penting untuk menunjang pendidikan luar sekolah adalah Perpustakaan. Program tersebutditujukan untuk membantu peningkatan minat baca, budaya baca, dan cinta buku bagi warga belajar dan masyarakat. Secara khusus pendirian Perpustakaan dimaksudkan juga untuk mendukung gerakan pemberantasan buta aksara. Selain itu, Perpustakaan diharapkan pula dapat mewujudkan masyarakat gemar belajar (learning society) yang salah satu indikatornya adalah masyarakat gemar membaca (reading society).
Kita perlu bersyukur bahwa sekarang ini pertumbuhan Perpustakaan, Pondok Baca, Warung Baca, TBM dan sejenisnya telah tumbuh dimana-mana. Namun yang kita sedihkan adalah nasib dari Perpustakaan itu sendiri setelah berdiri. Banyak Perpustakaan yang sudah berdiri namun kini tinggal papan namanya saja. TBM yang berarti Taman Bacaan Masyarakat akan berubah menjadi Tempat Buku Menumpuk, karena tidak pernah dibaca oleh masyarakat. Memang sebelum Perpustakaan didirikan perlu adanya strategi agar Perpustakaan itu tetap diminati oleh warga belajar dan masyarakat.
Berikut ini kami ingin berbagi tips tentang strategi bagaimana Perpustakaan agar tetap eksis dan diminati oleh masyarakat. Pertama, diperlukannya seorang pengelola yang berjiwa sosial dan pandai mencari kemitraan.
Seperti kita ketahui bahwa mendirikan sebuah Perpustakaan bukan untuk mencari keuntungan, akan tetapi menciptakan masyarakat gemar membaca. Oleh karena itu dibutuhkan seorang pengelola yang berjiwa sosial. Dia siap dibayar cuma-cuma atau tidak dibayar sama sekali. Seorang pengelola Perpustakaan juga harus pandai mencari kemitraan atau donatur dan sebagainya. Kita bisa melihat bahwa kebanyakan hidup mati Perpustakaan adalah dari bantuan pemerintah atau bantuan yang lain. Ada bantuan Perpustakaan jalan, tidak ada bantuan Perpustakaan setengah mati. Seorang pengelola juga harus memikirkan honor untuk tenaga pelayanannya sehari-hari.
Kedua, perlunya promosi. Kita perlu memberitahukan keberadaan perpustakaan kepada masyarakat. Kita juga perlu memberitahukan koleksi buku yang kita punya, tata cara peminjaman, tata tertib dan lain-lain. Ketiga, belilah buku yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Kadang kita tidak memperhatikan kebutuhan baca masyarakat hingga sering buku yang kita beli tidak pernah dibaca oleh pengunjung. Misalnya saja masyarakat disekitar kita bermata pencaharian sebagai petani namun kita malah memperbanyak buku tentang nelayan. Jadi kebutuhan baca masyarakat kita tidak terpenuhi. Jika masyarakat kita kebanyakan petani, maka belilah buku-buku tentang pertanian. Sebaiknya juga, belilah buku-buku keterampilan agar masyarakat bisa mempunyai keterampilan untuk meningkatkan taraf hidupnya.
Keempat, belilah buku yang sedang menjadi best seller. Walau mahal sedikit ada baiknya kita manjakan pengunjung dengan buku-buku yang sedang menjadi best seller, seperti buku Ayat-ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Harry Potter, Twilight dan lain-lain. Kelima, ada baiknya buku yang kita beli tidak semua langsung kita pajang. Untuk menghindari kebosanan pengunjung dengan koleksi buku yang kita punya, ada baiknya sebagian buku yang kita beli tidak langsung kita pajang. Kita bisa tahan dulu untuk kita pajang disaat pengunjung mulai jemu dengan koleksi buku kita.
Keenam, pandai mengatur tata letak/ layout. Pengunjung atau masyarakat akan bosan jika melihat tata letak ruang itu-itu saja atau tidak pernah di ganti. Sebaiknya setiap beberapa bulan sekali, kita perlu mengatur layout atau tata letak ruang Perpustakaan. Sebaiknya pula kita berikan hiasan-hiasan seperti poster, gambar, slogan atau bunga untuk mempercantik ruangan baca atau ruang koleksi. Ketujuh, bekerjasama dengan perpustakaan lain.Kita bisa saling tukar pinjam koleksi buku (rolling) dengan Perpustakaan lain agar koleksi buku yang kita punya kelihatan bervariasi tidak monoton. Hal ini bisa digunakan untuk menghindari rasa bosan pengunjung terhadap koleksi buku yang kita punya. Terutama ketika kita tidak punya anggaran untuk membeli buku baru.
Kedelapan, memberikan hadiah. Pemberian hadiah bisa diberikan untuk pengunjung yang paling sering berkunjung atau meminjam buku di Perpustakaan. Bisa juga dengan cara memberikan kupon hadiah untuk kita undi setiap sebulan sekali. Kesembilan, mengadakan lomba.Dengan mengadakan lomba, kita bisa promosi buku-buku Perpustakaan, yang diharapkan semakin banyak pengunjung yang mengenal keberadaan Perpustakaan. Misalnya lomba story telling buku dongeng anak, lomba menggambar tokoh kartun komik doraemon, lomba mewarnai dan lain-lain.
Tips kesembilan adalah melakukan pemutaran film. Kita juga bisa memutar film yang sama dengan buku yang ada seperti film Laskar Pelangi. Sekaligus berdiskusi pelajaran apa yang bisa kita ambil dari semua itu.
Kiranya masih banyak lagi strategi atau tips yang belum bisa kami tulis, namun harapan kami agar Perpustakaan bisa tetap eksis bisa tercapai sehingga apa yang menjadi tujuan kita yaitu mewujudkan masyarakat gemar membaca bisa tercapai juga. Sekian semoga bermanfaat untuk kita semua. Maju Terus Perpustakaan Indonesia! (*/penulis adalah pengelola TBM Nurul Fatah Gemawang Jambu)

PUSTAKA DIGITAL

Oleh : Brilliant Oka Suryanegara

Sejak kecil, saya menyaksikan betapa kedua orang tua kami sangat mencintai buku. Mereka mengkoleksi aneka buku, bahkan sempat membuat perpustakaan /persewaan buku ”Lonceng” di Rumah kami Perumahan KORPRI Gedanganak Ungaran. Saat itu cukup banyak pengunjung dan pelanggan yang menyambanginya sehingga hampir setiap minggu ada koleksi yang bertambah.
Pada tahun 1998 kami sekeluarga pindah ke Bandarjo Ungaran, disinipun kami kembali membuka “Lonceng” perpustakaan kecil itu. Sampai suatu hari terjadilah tragedi itu. Tahun 2004 kondisi sedang musim hujan. Hampir dua bulan perpustakaan tidak kami buka karena ada hajatan keluarga, kami bermaksud untuk membersihkan ruangan perpustakaan. Namun betapa terkejutnya kami karena menyaksikan buku-buku berserakan dilantai dalam kondisi rusak basah dan berjamur. Rupanya talang di atas ruangan itu tersumbat , air jatuh menyembur menjatuhkan buku buku itu dari rak-raknya dan menggenanginya hingga berhari hari.
Saya merasakan kesedihan Ayah yang mendalam atas musnahnya perpustakaan kami itu. Ratusan bahkan mungkin ribuan judul buku yang sebagian besar sudah tidak diterbitkan lagi hancur tanpa dapat diperbaiki.
Sejak saat itu Ayah trauma untuk mengkoleksi buku. Beliau hanya meminjam dari perpustakaan daerah (Beliau merupakan pelanggan sejak perpustakaan daerah ada di terbayan,lalu pindah ke Rumah pak mantan gubernur Jateng Munadi, sekarang Gedung Monumen PKK Jateng, hingga pindah di kompleks alun alun).
Saya terus berpikir adakah cara yang lebih aman, murah, dan cepat untuk mengkoleksi buku kembali? Bahkan kalau mungkin membangun kembali perpustakaan mini kami! Pertanyaan itu selalu mengganggu pikiranku selama bertahun tahun.
Pada Tahun 2006 kami kembali menempati rumah di Perumahan KORPRI Gedanganak Ungaran, disanalah, aku diperkenalkan dengan buku elektronik/buku digital, saat itu aku mengira cara termudah membuat buku elektronik adalah dengan mengetik ulang buku biasa, dengan menggunakan komputer dan menyimpannya dalam bentuk file PDF. Namun bagaimana dengan buku yang ada gambarnya, tabel dsb?
Menggunakan alat scaner /pemindai biasa untuk membuat E-book mungkin salah satu jawaban, namun ternyata perlatan itu hanya efektif untuk dokumen yang berupa lembaran sedangkan untuk bundel, buku terjilid, alat itu menjadi tak berdaya.
Setelah saya belajar untuk mengarungi samudra maya (internet), saya mulai mencari informasi tentang mesin atau alat yang dapat membuat buku cetak menjadi buku elektronik (E-book). Memang di pasaran banyak dipasarkan Book Scanner, misal Qirtas, Atiz dan sebagainya. Namun harganya relatif mahal hingga 40 Juta rupiah belum termasuk kamera. Spesifikasinyapun begitu terbatas.
Suatu hari di awal 2009 ayah saya memberitahu bahwa kenalannya seorang pecinta buku bernama Mr Daniel Reetz yang tinggal di Nort Dakota Amerika Serikat juga memiliki pemikiran yang sama dengan saya. Namun dengan alasan yang agak berbeda. Sebagai seorang Warga negara Amerika yang pernah tinggal di Rusia, beliau bisa membandingkan betapa sangat murahnya buku di Rusia dibanding dengan Amerika. Sehingga sebagai warga Amerika dia merasakan dan menyaksikan betapa banyaknya warga Amerika yang juga sulit untuk dapat menikmati buku buku yang baik karena mahal, apalagi di saat krisis menimpa negara itu saat ini.
Mr. Daniel Reetz dan rekan rekannya di Amerika Serikat sudah mulai mencoba untuk membuat Book Scanner yang relatif simpel untuk menghasilkan buku elektronik. Melalui internet kami terus terhubung dan mulai terlibat dengan membuat sendiri peralatan tersebut. Namun karena kesibukan ayah dengan pekerjaan nya akhirnya sayalah yang selalu berkomunikasi dengan rekan rekan dari seberang dan meneruskan proyek ini.
Ada beberapa usulan kami yang akhirnya juga dijadikan acuan bersama seperti misalnya penggunaan kaca untuk menggantikan Acrilyc, karena selain lebih bening, dan relatif tahan terhadap gores, kaca juga relatif lebih murah (karena saya menggunakan ukuran Indonesia), dan yang kedua adalah pemakaian roda atau rel untuk mempermudah penggeseran penyangga buku (Book Holder).
Setelah berjuang berhari-hari siang dan malam hampir selama 5 bulan akhirnya alat ini rampung. Tapi bagaimana dengan kameranya? Karena selain memerlukan pembuatan alat mekanis dan elektronis, perangkat ini juga memerlukan 2 buah kamera digital dan beberapa jenis program.
Saya sampaikan pada ayah kesulitan tentang kamera ini. Namun melihat prioritas kebutuhan akhirnya ayah berusaha meminjam 2 kamera digital baik ke rekan maupun dinas. Pilihan itu ternyata membawa keraguan. Maklumlah kamera digital bagi sebagian orang merupakan barang pribadi yang begitu berharga dan seperti barang pribadi pada umumnya maka tak layak untuk dipinjam-pinjamkan. Apalagi untuk percobaan!! Akhirnya dengan terpaksa ayah menyampaikan kesulitan ini pada rekan-rekan di seberang, dan mereka menjawab dengan mengirim 2 buah kamera saku Canon Power Shot A530. Kamera ini lebih dari cukup untuk menjalankan Book Scanner saya.
Kesulitan dengan pemrograman akhirnya teratasi seiring dengan berjalannya waktu, karena program yang digunakan oleh rekan-rekan di Amerika tak bisa berjalan dikomputer saya, hal ini dikarenakan spesifikasi komputer kami yang sangat jauh berbeda. Beruntung dunia maya banyak memberikan keajaiban dan bantuan yang tak terduga dengan banyaknya software bebas yang disediakan oelh para relawan.
Akhirnya jadilah alat ini. Walaupun belum pernah melihat secara langsung book scanner buatan pabrik, namun kami percaya alat ini tidak berbeda fungsinya. Kami optimis Pemindai Buku (Book Scanner) yang satu ini sangat berguna bagi siapapun yang ingin menkonversi koleksi buku yang mereka miliki ke dalam format digital. Alat ini suatu saat bisa jadi akan merupakan salah satu perangkat idaman bagi para kolektor buku. Semoga saja tidak ada yang menyalahgunakan dan menggunakannya untuk tujuan pembajakan.
Untuk membedakan alat ini dengan Scanner pabrikan, kami memberinya nama DROS ( Daniel Reetz Oka Suryanegara) Book Scanner. DROS ini sekilas seperti sebuah tatakan buku berbentuk V. Kita hanya perlu menaruh sebuah buku di tatakan tersebut dan tatakan tersebut memiliki mekanisme , balik halaman buku tersebut satu persatu., tekan tombol dan sim salabim... halaman tersebut sudah kita Transfer kedalam SD card.
Dalam uji coba yang kami lakukan, Dengan mempergunakan kamera digital dan beberapa software bebas, alat ini bisa menkonversikan hingga 500 halaman selama satu jam. Software lain juga disertakan untuk meng-crop dan mengatur halaman-halaman digital. Hasil konversi buku ini akan menjadi sebuah file PDF. Alat ini bisa mengatasi masalah lekukan buku yang berguna untuk mengatasi masalah yang biasa timbul saat kita menggunakan scanner biasa. Dengan kemampuan konversi sampai 500 halaman perjam, bisa jadi inilah media penyelamat koleksi buku-buku kita!
Buku Pertama yang diminta oleh ayah untuk diselamatkan adalah sebuah kumpulan dokumen buku tua yang dalam kondisi sangat rapuh (pating prithil) yang disebut dengan Buku C Desa. Sebuah dokumen yang amat sangat penting yang harus ada di setiap desa/kelurahan. Buku ini dengan tebal keseluruhan sekitar 5000 halaman berhasil kami simpan kedalam sekeping CD. Untuk diselamatkan.
Namun kami juga belajar bahwa waktu terlama yang digunakan adalah bukan mengalih mediakan, tapi menjaga agar naskah asli tetap terjaga dan sama sekali tidak terganggu dengan proses scanning ini.
Hingga saat ini upaya untuk menyempurnakan Book Scanner ini masih terus kami upayakan. Termasuk teknis mekanis, elektronis maupun pemrogramannya. Pelajaran tentang teknologi informasi, fisika, dan perawatan bahan pustaka tentunya sangat mendukung untuk kegiatan ini. Harapannya lebih banyak buku yang dapat diselamatkan dengan adanya peralatan itu.
Kelebihan Book Scanner ini dibanding yang ada dipasaran adalah dapat dibuat sendiri, lebih murah, lebih sederhana dan mudah di bongkar pasang. Selain itu bisa digunakan untuk segala ukuran kertas tergantung dari jenis kamera yang dipakai.
Buku elektronik atau buku digital memang seharusnya menjadi pilihan saat ini. Alasannya, media penyimpanan ini jauh lebih praktis. Dengan kartu seukuran jempol tangan dapat menyimpan hingga ratusan bahkan ribuan buku. Kedua, distribusinya jauh lebih cepat. Bayangkan untuk mengkoleksi sebanyak 1000 judul berapa banyak waktu untuk menata, pengepakan maupun perjalanan. Dengan bantuan komputer dan SDcard, kaset DVD, flashdisk maupun hardisk maka ruang dan waktu tidak menjadi hambatan. Ketiga, lebih ramah lingkungan. Dapatkah dibayangkan berapa banyak pohon yang harus ditebang untuk membuat kertas buku di perpustakaan kita? Alasan keempat, tuntutan perkembangan teknologi. Saat ini begitu banyak gadget, khususnya HP yang menyertakan fitur E-Book reader? Dengan fitur ini seseorang bisa membaca buku dalam jumlah tak terbatas, ruang dan waktu praktis dan gaya!

Apa itu DROS
Bagaimana Cara membuat DROS ? Bahan dan peralatan apa saja yang harus disiapkan? Secara umum DROS ini terbagi dalam 3 bagian besar yaitu peralatan mekanis elektronis, kamera digital dan pemrograman.
Untuk membuat peralatan mekanis elektronis yang harus disiapkan adalah Papan multiplek ukuran 40 X 80 Cm X 12 mm sebanyak 1 lembar, kayu usuk 9 (Kasau) 3 X 6 Cm X 3 Meter sebanyak satu batang, kaca ukuran 40 cm X 30 X 0,3 Mm sebanyak 2 lembar, switch, USB hub, bateray holder, engsel, rel atau roda geser, fitting & lampu sebanyak 2 buah, kabel-kabel, socket , sekrup, mur baut, lem kayu, TV untuk monitor.
Sedangkan Kamera Digital yang harus disiapkan dengan specifikasi minimal 5 MP. Apabila memungkinkan penggunaan kamera SLR akan memberikan hasil yang maksimal hingga dapat untuk alih media sebesar ukuran Koran bahakan lebih. Untuk Program yang diperlukan dapat langsung berhubungan dengan kami, di brilliantsurya@gmail.com
Untuk cara pembuatan silakan melihat gambar di bawah ini.
Setiap orang saat ini dapat membuat buku digital , namun kemampuan mengelola pustaka digital memerlukan ketrampilan tersendiri, kesiapan kantor Perpustakaan untuk mendampingi masyarakat pecinta buku dalam pengelolaan managemen Perpustakaan digital akan sangat diharapkan. Kini sudah saatnya perpustakaan digital ada dalam genggaman kita semua.(*/penulis adalah siswa SMAN 1 Ungaran Kelas XI IPA 3)

PERPUSTAKAAN SETIAP HARI

Oleh : Betty Kusuma
Perpustakaan adalah kata yang terlintas dalam benak setiap saya mempunyai waktu luang. Kenapa perpustakaan? Kenapa bukan ruang santai yang ada TV-nya? Kenapa bukan rumah teman? Kenapa bukan tempat-tempat lain? Jawabannya mudah, karena di perpustakaan kita sudah bisa mendapatkan semuanya. Kita menonton TV adalah untuk mendapatkan hiburan dan berita. Di perpustakaan, dua hal itu juga bisa didapatkan dengan membaca koran dan buku-buku. Dirumah teman kita bisa ngobrol-ngobrol dengan teman. Di perpustakaan, kita juga bertemu dengan banyak orang. Jadi, sama saja kan?
Sayangnya, jarak antara rumah dengan perpustakaan daerah lumayan jauh, jadi saya tidak bisa sering-sering pergi kesana. Padahal saya ingin bisa setiap hari ke perpustakaan. Lalu apa yang harus dilakukan? Saya membuat jadwal kunjungan ke perpustakaan seminggu sekali. Dalam kunjungan tersebut saya mendisiplinkan diri untuk selalu meminjam dua buah buku. Satu novel (yang kebetulan saya suka sekali membacanya) dan satu buku lainnya. Buku lain ini bisa buku dari disiplin ilmu apa saja. Pokoknya yang bukan fiksi atau karya sastra sejenisnya. Dengan begitu saya bisa selalu mendapat pengetahuan baru.
Selama berada di perpustakaan pun saya berusaha untuk membaca buku selain yang akan dipinjam. Saya tekankan pada diri sendiri untuk membaca tidak hanya yang disukai saja.
Dengan sering ke perpustakaan, alangkah banyaknya ilmu pengetahuan yang bisa kita peroleh secara gratis dan fun pula. Bayangkan saja, kita bisa mengetahui cara mengatasi hypothermia, adat dan kebudayaan di Belitong, sampai serasa keliling dunia sebagai backpacker dan “merasakan” kuliah di Sorbonne University Perancis hanya dengan membaca Tetralogi Laskar pelangi-nya Andrea Hirata. Kita dapat pula mengetahui bahwa Marina Trench adalah dasar samudera terdalam (7 mil di dasar laut) yang terletak di dasar lautan Pasifik di dekat Filipina. Tahu pula bahwa hiu kepala palu memiliki daya penciuman terbaik di laut yang disebut enhanced telencephalon olfactory lobes yang memungkinkan dapat mencium bau darah dari jarak 1 mil dari novel brillian Dan Brown, Deception Point.
Jika kita sedang suntuk atau bingung mencari inspirasi, cari saja bovel-novel pembangun jiwa karya Habbibburrahman el Shirazy atau Chicken Soup For The Soul-nya Jack Canfield dan kawan kawan atau the Secret-nya Rhonda Byrne.
Banyak sekali yang bisa kita dapatkan hanya dengan duduk manis dan membaca. Kita semua juga tahu bahwa tidak ada efek samping yang negatif dari kebanyakan membaca asalkan kita lakukan dengan benar. Jadi, jangan ragu-ragu untuk terus membaca di perpustakaan karena perpustakaan adalah sumber berbagai ilmu. So, bagi siapa saja yang memungkinkan untuk bisa mengakses perpustakaan setiap hari dan bisa mendapatkan tambahan ilmu setiap kali mereka membaca disana, maka kita patut “iri” karena mereka termasuk orang-orang yang beruntung.(*/penulis adalah pemerhati perpustakaan, tinggal di Jambu)

Perpustakaan Desa

Oleh : Meka Nitrit Kawasari, S.S

Apa yang terbesit di benak kita ketika mendengar istilah “Perpustakaan Desa”? Perpustakaan yang terletak di desa? atau mungkin perpustakaan bagi orang-orang pedesaan atau bahkan perpustakaan yang dibuat oleh orang-orang desa?
Kita perlu tahu bahwa perpustakaan tidak hanya di sekolah, kampus dan di instansi pemerintah maupun swasta.
Menurut PNM Titi Teras, perpustakaan desa adalah sebuah perpustakaan kecil yang ditempatkan di suatu kawasan yang mempunyai ramai penduduk. Adanya perpustakaan desa ini agar masyarakat dapat menikmati kemudahan dalam membaca dan mendapatkan sarana keilmuan yang lengkap, luas dan menyeluruh. Harapannya dengan adanya perpustakaan desa, pengetahuan masyarakat desa menjadi lebih baik.
Tantangan yang dihadapi dunia perpustakaan di masa lampau, sekarang dan mendatang tentunya berbeda. Semakin lama dan panjangnya masa itu semakin banyak dan rumit pula tantangan yang ada. Penyediaan informasi diharapkan dapat selalu mengikuti perkembangan ketersediaan informasi maupun perkembangan pengguna informasi.
Menurut Badan Pusat Statistik terdapat 72.000 desa di Indonesia. Tentunya banyak masyarakat desa yang haus akan informasi dan pengetahuan dalam kesehariannya. Akan tetapi mungkin perpustakaan yang terdapat di wilayahnya jauh dari jangkauan masyarakat desa. Entah karena kendala jarak, transportasi maupun medan. Atau bahkan belum terdapat perpustakaan yang memadai di wilayah mereka tinggal.
Permasalahan ini pasti muncul setiap waktunya dengan seiring berkembangnya jumlah penduduk dan desa di Indonesia. Siapakah yang harus bertanggungjawab???Tentunya kita bersama, bukan hanya pemerintah atau Perpustakaan Daerah dan para pustakawan. Akan tetapi tetaplah bahwa pemerintah yang menjadi ujung tombaknya. Hal ini di dukung dengan adanya UU No. 43 Tahun 2007 Tentang Perpustakaan bahwasannya pemerintah berkewajiban untuk menggalakkan promosi gemar membaca dan mendorong pemanfaatan perpustakaan seluas-luasnya oleh masyarakat serta menjamin ketersediaan layanan perpustakaan secara merata di seluruh pelosok tanah air termasuk memfasilitasi penyelenggaraan perpustakaan di daerah.
Sampai saat ini banyak terbentuknya perpustakaan desa bukan atas campur tangan pemerintah. Hal ini terjadi karena pemerintah belum tentu dapat membentuk perpustakaan desa secara sekejab mata dalam beberapa hari saja di setiap desa yang terdapat di seluruh Indonesia. Oleh karena itu peran kita bersama diperlukan di sini. Pada masa sekarang telah banyak bermunculan para pemerhati perpustakaan yan peduli dengan perpustakaan.
Merekapun akhirnya mendirikan perpustakaan sendiri di lingkungan mereka dengan memanfaatkan rumah mereka atau lahan kosong yang ada. Perpustakaan ini sering disebut taman bacaan bagi masyarakat, tentunya dengan fasilitas dan program yang beranekaragam. akan tetapi tidak semua mempunyai program dan fasilitas yang memadahi. Banyak pula yang hanya bertujuan sebagai tempat bacaan dan pinjam buku. Hal ini lebih dari cukup jika melihat perkembangan Ilmu pengetahuan dan kebutuhan masyarakat pembaca yang semakin pesat setiap tahunnya.
Dalam perkembangannya tidak hanya para personal pemerhati perpustakaan yang mau dan peduli mengembangkan perpustakaan khususnya perpustakaan desa. Gerakan Pramuka pun peduli akan pasang surutnya Perpustakaan Desa. Hal ini telah lama dilakukan oleh Gerakan Pramuka Kwartir Daerah 11 Jawa Tengah. Dimana di setiap kegiatan perkemahan besar, entah itu pekemahan bakti, perkemahan Satuan Karya, Jambore, Raimuna sering diselipkan kegiatan bakti pembuatan perpustakaan desa atau sekedar menyumbangkan buku bacaan baik fiksi maupun non fiksi pada desa tempat kegiatan berlangsung. Kegiatan besar ini setiap tahunnya bergantian pada Kab/Kota di Jawa Tengah. Pembuatan perpustakaan desa yang dilakukan oleh Pramuka Penegak dan Pandega baru sebatas pendesainan dan pembuatan tempat, penataan buku serta sumbangan buku, karena untuk gedung telah tersedia di desa tempat bakti. Seperti pembuatan perpustakaan desa pada kegiatan Perkemahan Wirakarya Daerah di Klaten Tahun 2006. Kemudian pada kegiatan Raimuna Daerah di Cilacap tahun 2009 yang sebatas penataan buku dan inventarisasi buku. Berikutnya Perkemahan Bakti saka Bhayangkara Tahun 2009 di Purbalingga yang baru dapat menyumbangkan buku bacaan ke sebuah desa dan sekolah. Serta banyak kegiatan yang di dalamnya terdapat kegiatan bakti dalam peranannya menggalakkan gemar membaca bagi masyarakat di desa melalui perpustakaan desa.
Dengan anggaran yang tidak terlalu banyak, perpustakaan desa dapat terbentuk karena adanya kepedulian dan kerjasama antar personal yang ada. Biasanya di setiap kegiatan perkemahan daerah, Kwarda Jateng mewajibkan para peserta membawa satu buku fiksi atau non fiksi untuk salah satu syarat kelengkapan administrasinya.
Kemudian apa yang dianggap sulit dengan kemudahan teknologi pada saat ini untuk membentuk perpustakaan desa atau perpustakaan pribadi yang dapat dikonsumsi oleh masyarakat sekitar. Tentunya hal ini harus menjadi perhatian kita bersama tidak hanya beberapa orang saja. Demi meningkatkan kegemaran membaca bagi masyarakat yang tidak mencakup pada anak kecil dan remaja saja, tetapi juga orang dewasa. Serta demi meningkatkan dan memenuhi kebutuhan pengetahuan dan informasi masyarakat umum khususnya masyarakat desa yang jauh dari perkotaan dan mempunyai penghasilan menengah ke bawah yang mungkin tidak ada dana untuk mengkoleksi buku. (*/penulis adalah pemerhati perpustakaan)

MENINGKATKAN MUTU JIWA DENGAN MEMBACA

Oleh : Zulaekah, SS.

Sebuah pertanyaan mendasar, apakah jiwa itu? Jiwa berbeda dengan ruh. Jiwa berada di balik otak, sedangkan ruh berada di balik struktur tubuh secara menyeluruh (Agus Mustofa,2005). Jiwa bisa terpisah dari fisiknya (baca: tubuh manusia), tetapi masing-masing jiwa ataupun fisik masih tetap hidup sendiri-sendiri. Hal tersebut terjadi pada orang tidur, pingsan, koma bahkan orang mati.
Jiwa memiliki kebebasan untuk memilih kebaikan atau keburukan di dalam hidupnya. Oleh karena itu, jiwalah yang nantinya harus bertanggung jawab atas segala pilihan hidupnya, atas semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia. Bukan ruh! Karena ruh adalah ”sesuatu” yang ditiupkan oleh Allah agar manusia hidup. Tetapi untuk memilih yang baik atau mengikuti yang buruk, manusia dibekali dengan jiwa.
Kualitas Jiwa dan Membaca
Agus Mustofa juga mengatakan bahwa jiwa dan otak bagaikan dua sisi yang berbeda dari mata uang yang sama. Kualitas jiwa bergantung dari kualitas fisik terutama otak. Kerusakan otak akan mengakibatkan kerusakan jiwa, demikian juga sebaliknya, kerusakan jiwa akan mengakibatkan kerusakan otak.
Jiwa merupakan sesuatu yang mengalami pertumbuhan dan perkembangan kualitas, seiring dengan berkembangnya fisik manusia, mulai dari janin sampai dewasa. Selain itu, jiwa dibesarkan oleh bertambahnya pengalaman dan pengetahuan yang diserap.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa kualitas jiwa bergantung pada kualitas fisik terutama otak. Jadi untuk menghasilkan jiwa yang ”sukses”, otaklah yang harus ”diperbaiki”.
Dalam ilmu kedokteran jiwa dijelaskan bahwa sel otak berkembang atau menyusut seiring dengan pikiran dan perbuatan seeorang. Jika seseorang berpikir dan berbuat yang bermanfaat, menuju kualitas tinggi, maka jumlah sel-sel otaknya akan berkembang-biak. Sebaliknya jika berpikir dan berbuat yang tidak bermanfaat, berkualitas jelek, maka akan terjadi penyusutan sel otak.
Aktifitas membaca, terutama buku-buku yang bermanfaat/positif/ bergizi, akan mengajak otak kita berpikir, merenung dan menganalisa, agar kita bisa memahami makna tulisan yang kita baca. Membaca juga mengajak mata kita melihat hal-hal yang positif. Demikian juga anggota tubuh kita yang lain, juga melakukan perbuatan yang positif. Aktifitas seluruh organ dan jaringan tubuh dikendalikan oleh otak. Padahal aktifitas berpikir dan berbuat positif akan menambah jumlah sel saraf otak.
Pada umumnya orang membaca buku, terutama buku-buku yang bermanfaat/positif, dia berusaha memahami dan mengaplikasikan apa dibaca ke dalam kehidupannya. Upaya memahami dan mengaplikasikan isi bacaan ke dalam kehidupan, tentunya juga akan memaksa otak untuk berfikir, yang berarti juga semakin menambah jumlah sel-sel saraf otak.
Oleh karena itu dapat dipahami, mengapa orang yang lebih banyak membaca buku-buku yang positif/bermanfaat, biasanya lebih cerdas dibanding dengan orang yang tidak biasa membaca. Semakin banyak tulisan positif yang dibaca, semakin banyak jumlah sel saraf otak kita. Padahal semakin banyak sel saraf otak kita, semakin hebat pula fungsi otak kita.
Kualitas otak berpengaruh secara signifikan terhadap kualitas jiwa. Dengan demikian kita juga dapat memperbaiki kualitas jiwa dengan aktifitas membaca, terutama bacaan yang positif. Bacaan positif biasanya banyak terdapat di dalam buku. Isi buku tentu saja berbeda dengan koran atau tabloid yang seringkali mengandung berita negatif. Kebanyakan para pembacanya lebih tertarik dengan berita semacam itu daripada bacaan ”bergizi” lainnya yang juga dimuat di dalam koran/ tabloid. Biasanya, membaca berita negatif tentang seseorang/organisasi/tempat ataupun sesuatu lainnya, akan mendorong kita berpikiran negatif/berprasangka buruk terhadap hal yang diberitakan tersebut. Padahal pikiran dan perbuatan negatif akan menyebabkan penyusutan sel-sel otak, yang berarti pula merugikan jiwa. Tentu saja hal ini tidak berarti bahwa membaca koran/tabloid itu jelek, hendaknya kita perlu selektif memilih bahan bacaan agar tidak merugikan kualitas otak dan jiwa.
Cari bacaan ”bergizi”, yang merupakan ”vitamin” otak dan jiwa. Jika masalah ini dikaitkan dengan ajaran agama, tentu akan semakin jelas. Bahwa berprasangka buruk terhadap sesuatu adalah dosa, apalagi berbuat buruk. Padahal jiwalah yang nantinya harus mempertanggungjawabkan perbuatan manusia. Oleh karena itu, kita perlu ”membantu” jiwa kita agar ”sukses” ketika harus mempertanggungjawabkan perbuatan kita dengan mengkonsumsi buku bacaan yang positif/”bergizi’, ditindaklanjuti dengan memilih yang terbaik diantara isi bacaan, kemudian menerapkan isi bacaan tersebut dalam kehidupan.(*/penulis adalah staf layanan Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang)

Jumat, 27 Mei 2011

MELALUI BUDAYA BACA MEMBANGUN PERPUSTAKAAN SEBAGAI CULTURE PRESERVATION

*\ Yuniwati yuventia

Tahun 2009 lalu kita dikejutkan dengan adanya beberapa kasus bunuh diri dengan meloncat dari mal/gedung tinggi. Selain itu, sebelumnya adanya beberapa kasus pembunuhan yang dilakukan oleh orang-orang terdekat, munculnya video porno dengan berbagai versi. Ironis memang fenomena apa yang sebenarnya terjadi di masyarakat kita ini. Hal itu dilakukan tidak hanya oleh orang tua atau dewasa namun kenakalan remaja juga telah sampai pada tingkat yang memprihatinkan. Geng Nero (Pati/Juana), geng motor (Bandung), video porno yang menghebohkan berbagai kalangan masyarakat, baik kalangan intelektual atau kalangan biasa.
Peristiwa tersebut timbul akibat perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi (internet) mempengaruhi pola pikir dan pola perilaku masyarakat. Budaya Indonesia yang sarat dengan etika, baik, sopan, santun, ramah, friendly telah bergeser ke pemikiran dan perilaku bangsa lain. Faktor lain adalah mutu pendidikan menurun, sistem pendidikan yang belum memadai, proses belajar dan mengajar yang belum tepat; sementara pada sisi sarana dan prasarana umum untuk pengembangan diri masih kurang. Pemahaman terhadap perkembangan iptek pada kenyataannya kadang tidak disesuaikan dengan budaya dasar yang telah berkembang lama, sehingga muncul pengaruh negatif. Oleh karena itu perlu penjelasan dalam memahami informasi yang diperoleh, agar terwujud manusia yang unggul dan beradab, bahwa informasi yang diterima harus melalui “filter” budaya lokal (Indonesia). Adapun yang dimaksud dengan manusia beradab adalah memiliki sopan santun, etika, “empan papan”. Salah satu cara untuk meningkatkan etika dan kekuatan menangkal budaya yang tidak sesuai dengan bangsa Indonesia adalah merubah perilaku budaya masyarakat Indonesia melalui bacaan yang mendidik dan membangun.
Budaya baca
Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup, bahwa semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Sebenarnya orang Indonesia bukannya tidak bisa membaca, melainkan tidak biasa membaca. Oleh karena itu perlu meningkatkan budaya baca dalam masyarakat Indonesia, merubah pola pikir dari tidak suka membaca menjadi masyarakat membaca untuk menuju pada tataran masyarakat belajar. United Nations Development Programme menjadikan angka buta huruf dewasa sebagai suatu barometer dalam mengukur kualitas suatu bangsa, karena tinggi rendahnya angka buta huruf akan menentukan pula tinggi rendahnya Indeks Pembangunan Manusia (HDI) bangsa yang bersangkutan. Indeks pembangunan di Indonesia (2003) berdasarkan angka buta huruf menempati urutan yang ke 112 dari 174 negara di dunia yang dievaluasi (dalam hal ini saya tidak akan bandingkan negara-negara Asia lainnya, karena terdapat multi faktor, kondisi serta situasi yang berbeda sebagai acuan penyebabnya). Tahun 2009 masuk pada peringkat 111.
Beberapa hasil kajian dan laporan United Nations Development Programme maka dapat disimpukan bahwa “kekurang mampuan anak-anak Indonesia dalam bidang matematika dan bidang ilmu pengetahuan, serta tingginya angka buta huruf dewasa karena membaca belum menjadi kebutuhan hidup dan belum menjadi budaya bangsa. Berdasarkan fenomena tersebut maka yang paling penting untuk dipikirkan adalah bagaimana upaya yang harus dilakukan agar angka “melek huruf” meningkat hingga pada tataran “membaca” merupakan prioritas dalam pembangunan bangsa Indonesia, sehingga membaca menjadi need for life and habit dalam kehidupan sehari-hari demi terwujudnya masyarakat belajar hingga mencapai bangsa yang cerdas sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat Madani, Bal Dhatun Tayyibatun Wa Rabbun Ghafuur.
Dalam mensikapi kondisi yang demikian, muncul pertanyaan “Siapakah yang bertanggungjawab atau pelaksana dalam mewujudkan kondisi tersebut ?
Masyarakat ?, Pemerintah?, sekolah /dunia pendidikan ? Pengelola Infomasi/Perpustakaan ? LSM ? Keluarga ? atau Diri Sendiri sebagai individu ?
Landasan hukum
Dalam Undang-undang no 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan BAB XIII
PEMBUDAYAAN KEGEMARAN MEMBACA disebutkan pada
Pasal 48
• Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui keluarga, satuan pendidikan, dan masyarakat.
• Pembudayaan kegemaran membaca pada keluarga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) difasilitasi oleh Pemerintah dan pemerintah daerah melalui buku murah dan berkualitas.
• Pembudayaan kegemaran membaca pada satuan pendidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan dengan mengembangkan dan memanfaatkan perpustakaan sebagai proses pembelajaran.
• Pembudayaan kegemaran membaca pada masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui penyediaan sarana perpustakaan di tempat tempat umum yang mudah dijangkau, murah, dan bermutu.
Pasal49
Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat mendorong tumbuhnya taman bacaan masyarakat dan rumah baca untuk menunjang pembudayaan kegemaran membaca.
Pasal 50
Pemerintah dan pemerintah daerah memfasilitasi dan mendorong pembudayaan kegemaran membaca sebagaimana diatur dalam Pasal 48 ayat (2) sampai dengan ayat (4) dengan menyediakan bahan bacaan bermutu, murah, dan terjangkau serta menyediakan sarana dan prasarana perpustakaan yang mudah diakses.
Pasal 51
• Pembudayaan kegemaran membaca dilakukan melalui gerakan nasional gemar membaca.
• Gerakan nasional gemar membaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan oleh Pemerintah dan pemerintah daerah dengan melibatkan seluruh masyarakat.
• Satuan pendidikan membina pembudayaan kegemaran membaca peserta didik dengan memanfaatkan perpustakaan.
• Perpustakaan wajib mendukung dan memasyarakatkan gerakan nasional gemar membaca melalui penyediaan karya tulis, karya cetak, dan karya rekam.
• Untuk mewujudkan pembudayaan kegemaran membaca sebagaimana dimaksud pada ayat (1), perpustakaan bekerja sama dengan pemangku kepentingan.
• Pemerintah dan pemerintah daerah memberikan penghargaan kepada masyarakat yang berhasil melakukan gerakan pembudayaan gemar membaca.
• Ketentuan mengenai pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Berdasarkan uraian diatas jelas bahwa pemerintah melalui lembaga perpustakaan merupakan salah satu sarana dalam meningkatkan minat baca dan menumbuhkan budaya baca masyaakat. Hal ini tersurat dalam UU No. 43 Tahun 2007 : Pasal 1 disebutkan : Perpustakaan adalah institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, &/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi & rekreasi para “pemustaka. Serta dalam keputusan Presiden No. 11 Tahun 1989 yang menyatakan bahwa Perpustakaan merupakan salah satu sarana pelestarian Bahan Pustaka sebagai hasil budaya & mempunyai fungsi sebag ai sumber informasi Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Budaya dalam rangka mencerdaskn kehidupan bangsa & menunjang pelaksanaan pembangunan nasional.
Faktor yang mempengaruhi minat baca
1. Keluarga :
a. Tingginya budaya lisan (mengobrol).
b. Tidak ada contoh dari para orangtua dengan memberikan aktifias membaca apapun dalam berbagai situasi yang memungkinkan.
c. Perlu menciptakan family reading habits
2. Masyarakat :
a. Kurangnya perhatian masyarakat terhadap perpustakaan sebagai lembaga penyedia informasi dalam bentuk bacaan.
b. Anggapan masyarakat (kaum muda) bahwa yang senang membaca dianggap sebagai “kutu buku”. Image “kutu buku” adalah anak yang “kuper” = kurang pergaulan; “ndeso”.
3. Pemerintah
a. Sistem pembelajaran di Indonesia belum memaksa siswa/mahasiswa untuk membaca lebih banyak dari apa yang diajarkan dan mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan di kelas.
b. Kurangnya dukungan terhadap perpustakaan (fasilitas, koleksi, anggaran, pengelola).
4. Pengelola Informasi:
a. Lingkungan tidak mendukung, munculnya berbagai lomba bercerita dan bukan membaca merupakan kondisi yang tidak memaksa seseorang untuk membaca dengan benar.
b. Buku masih terlalu mahal bagi masyarakat dan jumlah perpustakaan masih sedikit dibanding dengan jumlah penduduk yang ada, kadang letaknya jauh
5. Perkembangan Teknologi Informasi:
a. Acara TV yang bentuknya hiburan dan permainan telah menyita perhatian untuk tidak membaca.
b. Berkembangnya internet akan membawa dampak terhadap peningkatan minat baca masyarakat kita, internet merupakan sarana visual sebagai sumber informasi yang lebih up to date, tetapi hal ini disikapi lain karena yang dicari di internet kebanyakan berupa visual yang kurang tepat bagi anak.
Kegiatan yang bisa dilakukan
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya maka perpustakaan dapat melakukan kegiatan antara lain :
1) Library visit, yaitu kegiatan mengajak masyarakat mengunjungi perpustakaan, pada bulan September yang oleh pemerintah telah ditetapkan sebagai bulan kunjung perpustakaan.
2) Book display, yaitu kegiatan promosi buku baru yang menjadi koleksi terbaru, tujuannya masyarakat mengetahui tambahan buku baru yang dilayankan perpustakaan. Display buku bisa diletakkan di rak, meja.
3) Story telling, yaitu kegiatan menceriterakan sebuah buku pada komunitas atau kelompok tertentu.
4) Competition (writing; reading; searching) yaitu mengadakan lomba yang berhubungan dengan perpustakaan seperti lomba membaca cerita; lomba menulis karya ilmiah, lomba penelusuran informasi.
5) Library exibition, merupakan kegiatan pameran tentang perpustakaan mulai dari adminitrasi, pengolahan sampai pelayanan yang diberikan.
6) Workshop/seminar/diklat, dalam rangka meningkatkan SDM perpustakaan perlu mengadakan pertemuan ilmiah maupun diklat perpustakaan.
7) Reader Community / reader Club, membentuk kelompok-kelompok berhubungan dengan perpustakaan, seperti kelompok pecinta buku, kelompok pembaca.
8) Assignment dari guru/dosen, bisa melakukan kerjasama dengan sekolah-sekolah terdekat agar guru memberikan tugas murid untuk berkunjung ke perpustakaan atau mencari referensi di perpustakaan.
Adapun disamping upaya yang dilakukan oleh perpustakaan maka upaya menumbuhkan kegemaran membaca dapat dilakukan melalui :
KELUARGA
☼ menggalakkan membaca sebagai salah satu kegiatan keluarga
☼ memberi teladan kepada anak
☼ menyediakan bahan bacaan bermutu di rumah
SEKOLAH
☼ memasukkan kegiatan membaca dan aspeknya dalam kurikulum
☼ mendorong penggunaan perpustakaan seoptimal mungkin
☼ menumbuhkan motivasi guru dalam memberi tugas membaca
MASYARAKAT
☼ menjadikan perpustakaan sebagai pusat kegiatan masyarakat
☼ membuat perpustakaan sebagai sarana hiburan & rekreasi
☼ menyediakan taman bacaan masyarakat di setiap kelurahan/desa
Pada dasarnya upaya pengentasan rendahnya minat baca masyarakat, harus dilakukan secara simultan oleh berbagai pihak yang dilakukan dengan terus menerus agar membuahkan hasil yang optimal sesuai dengan harapan bersama melalui pembangunan perpustakaan sebagai pusat informasi dalam meningkatkan minat baca, sehingga bukan hanya sebagai tempat menambah ilmu tetapi juga sebagai pelestari budaya bangsa dan akhirnya reading makes our country great.

Materi disampaikan pada Forum SKPD Kantor Perpustakaan Daerah Kabupaten Semarang, Kamis 4 Maret 2010 di P2PNFI Jateng, Ungaran.
*Dosen LB Jur Ilmu Perpustakaan Undip, Pustakawan di UPT perpustakaan Undip dan Konsultan Perpustakaan

Anda Ingin Menulis Artikel?


 Oleh  :  Roto
            “SIAPA Takut!” Membaca dan menulis adalah kebutuhan mutlak manusia yang tidak akan pernah ditinggalkan. Menurut Abraham Maslow, manusia termotivasi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Manusia memiliki 5 kebutuhan yaitu kebutuhan fisiologis; rasa aman; rasa kasih sayang & rasa memiliki; harga diri; dan kebutuhan akan aktualisasi diri.
            Maka, membaca dan menulis dapat ditafsirkan termasuk kebutuhan aktualisasi diri. Dengan membaca dan menulis, menunjukkan bahwa kita adalah manusia terbuka dan mau berubah, dari tidak baik menjadi baik. Bahkan dari tidak bisa menjadi bisa, dalam arti mau menerima perubahan positif, menurut kaca mata norma bangsa Indonesia, terlebih norma agama yang beradab dan bermoral.  
Thomas Alfa Edison adalah orang yang luar biasa, dari tidak bisa menjadi bisa. Dengan membaca dan membaca, trial and error akhirnya ia mampu menciptakan lampu pijar. Berkat merekalah dunia ini menjadi terang benderang, orang mampu membaca di kegelapan malam. Dengan lampu pijar dan atau listrik kita sangat dekat dengan bangsa lain di dunia, mulai dari Singapura, Eropa, Amerika.
Dengan membaca dan menulis, dengan telepon, handphone, televisi, internet, kita menjadi orang yang terlibat secara langsung dengan bencana tsunami Aceh, Jogja/Bantul, Tasikmalaya, dan yang terbaru adalah bencana Padang Sumatera Barat. Betapa menderita saudara-saudara kita yang ada di Padang. Maka tergerak hati kita untuk ikut meringankan beban saudara kita yang sedang dilanda bencana.
Tentara Nasional Indonesia, dapat dijadikan panutan karena merekalah berada pada garda terdepan dalam menyikapi tanggap darurat bencana. Kebersamaan selanjutnya merambah pada relawan dari berbagai organisasi mahasiswa, pelajar, anak-anak TK, bahkan relawan dari mancanegara juga membantu kepada saudara kita di Padang. Rasa cinta, persatuan, senasib, layak kita ke depankan, lestarikan dan kembangkan demi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Apa korelasinya bencana dengan menulis artikel? Melalui artikel, penulis terpanggil untuk ikut aktif terlibat di dalamnya. Baik membantu materi sekadarnya, menggerakkan peserta didik, masyarakat untuk berbagi rasa dengan mengumpulkan dana seikhlasnya.
Selain itu, penulis ingin membagi pengetahuan di bidang menulis artikel. Dengan maksud, dapat dijadikan rujukan atau paling tidak sebagai bahan banding dalam mengungkap permasalahan kehidupan. Bermula dari melihat keganjilan pada kehidupan, kemudian penulis tuangkan dan dikirim ke media koran kolom surat pembaca ternyata mampu terbit. Itulah pengalaman perdana sangat membanggakan sekaligus mengharukan.

Artikel Pertama
Dengan semangat pantang menyerah, yaitu menulis berulang-ulang ke berbagai koran, yang tidak sempat penulis hitung berapa jumlahnya. Akhirnya datang juga kebahagian yang tidak ternilai harganya. Ternyata artikel penulis pertama kali mampu terbit di koran nasional Kompas, 12 Maret 2007 dengan judul: “Penantian Panjang Kesejahteraan Guru.” Selanjutnya April 2007 artikel yang ke dua terbit di majalah Derap Guru Jateng.
Penulis sempat down, karena artikel penulis selama 11 bulan tidak mampu terbit. Akhirnya pada bulan ke 12, April 2008 kebahagiaan datang juga, karena artikel penulis terbit kembali pada majalah Derap Guru. Selanjutnya melalui kolom: “Untukmu Guruku” pada Jawa Pos Radar Kudus, Radar  Semarang mampu terbit di setiap minggunya, hingga mencapai 17 kali terbit. Selanjutnya artikel penulis mampu terbit di koran Wawasan, Suara Merdeka, Derap Guru dan Kompas.
Kepuasan menulis artikel tidak pernah berakhir. Jalan paling sederhana yaitu melalui membaca artikel, menulis artikel, merevisi dengan teman, guru bahasa dan seterusnya. Membaca dan menulis adalah kebutuhan tidak terbatas, sekalipun  menjelang tidurpun kita harus selalu membaca.  Apa yang perlu dibaca?
Mulai dari membaca koran, terutama kolom artikel, membaca situasi pergaulan di kantor, di masyarakat, di ruang workshop, di pasar, di jalan, di mall, di objek wisata, di bidang politik, hukum, dan terlebih bidang pendidikan, bahkan dalam keluarga sekalipun kita harus membaca. Agar kualitas kehidupan meningkat, baik kualitas di bidang pekerjaan, kemasyarakatan dan terlebih di bidang pendidikan serta bidang agama.
Kata orang bijak: “Beramallah sebanyak-banyaknya seakan-akan esuk akan mati.” Ya mati, mati adalah kata akhir dari kehidupan. Kata bijak berikutnya orang yang bermanfaat adalah mampu membantu dan atau berguna bagi orang lain. Nerakalah bila kehidupan kita tanpa berguna bagi orang lain. Maka berbuat amal kebajikan dan kesolehan, jalan paling sederhana diantaranya menulis artikel.
Dengan menulis artikel dapat ditafsirkan sebagai amal kebajikan dan kesolehan di dunia. Semakin tinggi derajat perilaku, moral, dan agamanya, maka semakin dalamlah isi materi yang tertuang dalam artikelnya. Artinya amal ibadahnya semakin tinggi pula.
Dengan selesainya Anda membaca artikel ini, berarti telah melakukan langkah kedua, sedang langkah ke tiga adalah mau menulis, langkah keempat mau mengirim ke media koran. Langkah ke lima adalah jangan pernah berfikir berhenti menulis, sebelum artikel Anda terbit di media masa. Sekali lagi berhenti dari menulis berarti kehidupan telah “mati.” Jika menulis dapat dimaknai amal kebijakan dan kesolehan, berarti siapapun pribadinya tidak akan sia-sia jika mau menulis artikel. Bagaimana dengan Anda? ”Saya akan mencapai langkah tak terbatas, dalam hal menulis artikel dan bahkan menulis lain-lainnya.” Sekali lagi: ”Siapa takut.” (*/penulis adalah pendidik di SMPN 1 Sumowono)

Selasa, 10 Mei 2011

Nangka….Cita rasa alaminya

Nangka….Cita rasa alaminya
* Iwan Budiono, S.Pd
Alangkah sayang jika buah nangka yang masih ada di pohon membusuk dan jatuh. Apalagi di musim hujan beberapa bulan ini. Mungkin orang jadi tidak berselera menikmatinya. Namun apakah penilaian tersebut cukup adil bagi pohon asli Ghast Bagian Barat (India) tersebut? Tentu tidak. Pohon nangka dapat bermanfaat untuk berbagai keperluan. Agar kita semua memahami lebih dalam tentangnya, dan penilaian kita ini lebih baik. Pohon nangka (Artocarpus heterophyllus Lamk, sinonim dengan Artocarpus integer, Thumb). Sejak sejarah belum dibukukan, nangka telah banyak dibudidayakan (Verheij and Coronel, 1997). Tanaman ini tumbuh secara alami di berbagai bagian daerah tropis terutama di wilayah Asia Tenggara.
Berbagai manfaat pohon nangka ini dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Daging buahnya (arilus/salut bijinya) bila berusia muda sangat lezat untuk sayur, makanan asinan, masakan kare, atau pun dikalengkan.  Sedangkan yang sudah matang dapat dijadikan bahan untuk rujak, jus buah atau dimakan secara segar. Dapat pula agar masa penyimpanan lebih lama maka dapat dikeringkan kemudian dicampurkan dengan gula,madu atau sirup. Daging buah nangka bisa dijadikan pengharum es krim dan minuman dingin, rasa roti dan dodol/jenang nangka. Ini semua baru daging buahnya, nah yang lain bagaimana?
Biji nangka (beton) dapat dimanfaatkan sebagai makanan kecil setelah direbus atau disangrai. Bahkan setelah direbus,biji dapat ditumbuk menjadi tepung. Sehingga dapat menjadi campuran tepung gandum untuk pembuatan roti atau mie, nyam-nyam kalau pake saus nangka segala. Daun nangka muda dapat digunakan sebagai pakan ternak. Kulit kayunya kira-kira mengandung 3,5% tanin dan dapat dibuat tali atau kain. Zat warna kuning yang dihasilkan dari ekstrak kulit kayu pohon nangka dapat dipergunakan sebagai bahan pewarna jubah sutera atau katun untuk pendeta Budha. Getah tanaman dapat untuk perangkap burung dan perekat porselen dan menambal perahu.
Kayunya tergolong setengah keras, tahan terhadap rayap dan pembusukan oleh jamur dan bakteri. Sifat alaminya adalah berkilap jika disemir dan banyak diminati sebagai bahan dasar pembuatan mebel, konstruksi bangunan dan bahan perkakas musik.  Sedangkan bagian  akarnya disukai sebagai bahan ukir-ukiran dan bingkai lukisan. Adapun bagian-bagian lain pohon ini dapat pula dimanfaatkan sebagai obat herbal. Di Cina, biji nangka digunakan sebagai tonik pendingin, bergizi dan bermanfaat mengatasi gangguan alkohol. Pati (tepung) biji nangka dapat pula disangrai kemudian menjadi camilan untuk mengobati hepatitis dan meningkatkan libido. Sedangkan daunnya dapat bermanfaat untuk mengobati luka dengan cara dipanaskan atau abu daunnya jika dicampurkan dengan abu kulit jagung dan batok kelapa dipercaya mengobati penyakit borok. Kayunya dipercaya memiliki khasiat penenang dan empulurnya dapat merangsang aborsi. Serta ekstrak akarnya dapat mengobati demam dan mencret pada anak-anak dan orang dewasa. Selamat mencoba.  (*\Anggota Perpustakaan)

MENUMBUHKAN MINAT BACA ANAK

MENUMBUHKAN MINAT BACA ANAK
*Junaedi

Kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) sebenarnya membawa buah simalamaka bagi anak-anak. Maraknya siaran televisi ataupun permainan berbasis komputer menjadikan anak-anak termanjakan oleh kemampuan audio visual yang memikat mata. Disisi lain, pertumbuhan minat baca mereka menjadi mandeg. Lalu, bagaimana sebaiknya?

Usai pulang sekolah, Budi (9, bukan nama sebenarnya), siswa sekolah dasar langsung menuju warung internet (warnet) yang tak jauh dari rumah orang tuanya di salah satu sudut Kota Ungaran, awal bulan lalu. Ternyata, lima orang temannya telah menunggu disana untuk mencoba permainan on line terbaru. Sejurus kemudian, mereka telah asyik bermain game on line hingga berjam-jam.
Ilustrasi itu bukan hanya khayalan namun benar-benar terjadi di lingkungan sekitar kita.  Anak-anak lebih menyukai hal-hal yang berkaitan dengan “budaya lihat”. Harus diakui, kekuatan audio visual untuk menarik perhatian mereka memang jauh lebih kuat dibandingkan dengan sebuah buku yang hanya memiliki sisi visual saja. Apalagi, jika visual atau gambaran itu tidak ditampilkan dengan menarik. Alih-alih memperhatikan, mereka akan segera meninggalkannya.
  Anak-anak lebih suka melihat televisi atau bermain game on line dibandingkan dengan membaca sebuah buku. Kehadiran teknologi itu tidak bisa dihindari lagi padahal budaya membaca masyarakat apalagi anak-anak kita belumlah mapan.
Kita tentu masih ingat pada tahun 70-an atau 80-an, saat teknologi televisi maupun internet belum terlalu mewabah atau bahkan belum dikenal. Anak-anak masih lebih mudah diajak membaca buku di rumah atau diperpustakaan. Beberapa majalah baru di koleksi perpustakaan sekolah akan menjadi rebutan mereka. Tapi, seiring dengan kemajuan teknologi digital termasuk perpustakaan digital sedikit demi sedikit menggerus kegemaran dan kebiasaan membaca. Bahkan, saat ini banyak guru yang menugaskan para siswanya untuk mencari bahan pelajaran dari internet dan bukan dari buku perpustakaan. Sebuah ironi ditengah usaha menumbuhkan minat baca pada anak-anak!
Di lingkungan keluarga, orang tua pun ternyata memiliki andil yang tidak kurang dalam “mematikan” minat baca anak. Perlu diingat, anak-anak masih memiliki sikap imitasi yang kuat. Apa yang dikerjakan dan perilaku orang tua akan dicontoh oleh mereka. Ketika para ibu banyak yang terpana dengan “sihir” sinema elektronika (sinetron) di televisi, maka sang anakpun akan merekamnya. Mereka akan mengikuti kebiasaan orang tua menonton televisi dan bukannya membuka sebuah buku lalu membacanya.
Padahal, orang tua merupakan titik utama upaya memunculkan minat baca anak. Bahkan ada adagium “Ibuku perpustakaan pertamaku” yang seharusnya disadari dan dipahami para orang tua terutama ibu. Jika ibu sebagai perpustakaan pertama seorang anak tidak berfungsi, maka segala penyediaan sarana dan alat di perpustakaan diluar lingkungan keluarga tidak akan ada gunanya.

Minat baca anak
Sebenarnya, berbagai kemudahan untuk meningkatkan minat baca anak telah tersedia di luar lingkungan keluarga. Hal itu menjawab pertanyaan bagaimana jika sebuah keluarga tidak memiliki sarana pendukung menumbuhkan minat baca anak.
Koleksi perpustakaan daerah, sekolah ataupun wilayah merupakan sarana mudah dan murah untuk mendukung upaya itu. Kemudahan dan kenyamanan sebuah perpustakaan telah ada, tinggal bagaimana membimbing anak-anak untuk mau membaca.
Untuk menumbuhkan dan meningkatkan minat membaca pada anak, beberapa langkah ini dapat saja membantu.
Pertama, jadikan kebiasaan membaca sebagai salah satu aktivitas rutin. Pada anak yang belum terlalu pandai membaca, bantu dan dukunglah dengan membacakan berbagai naskah atau buku cerita yang menarik perhatian.
Sedangkan pada anak-anak usia sekolah dasar, sediakan bahan bacaan yang bermutu namun tetap dalam kemasan yang menarik. Misalnya dengan gambar yang menawan ataupun ilustrasi lainnya yang kontras.
Kedua, sediakan tempat khusus menyimpan berbagai buku bacaan. Dengan kata lain, siapkan sebuah perpustakaan mini yang mudah dijangkau oleh anak-anak. Perpustakaan mini memiliki koleksi buku secukupnya dan dapat bertambah sesuai dengan kebutuhan. Jadi biaya yang dimanfaatkan untuk membuatnya juga tidak terlalu mahal.
Pada tempat lain yang lebih luas dan memadai, jika mungkin, dapat dikumpulkan koleksi buku dan bahan bacaan lain milik anggota keluarga lainnya. Dengan demikian, anak-anak akan memiliki gambaran yang lebih luas tentang buku dan koleksinya.
Ketika sang anak mulai tertarik dengan buku, ini langkah berikutnya, orang tua dapat membacakan buku dengan dengan penuh perasaan. Gunakan intonasi yang sesuai dengan setting cerita atau isi buku, sehingga anak-anak dapat berempati dan bisa menggambarkan keadaan dalam ruang imajinasinya.
Kegiatan mendongeng merupakan sebuah aktifitas yang harus dilakukan dengan frekuensi sering. Dengan gaya penyampaian yang menarik, anak-anak akan terhanyut dan tertarik untuk membaca sendiri buku yang didongengkan.
Usahakan kegiatan membaca ini melibatkan anggota keluarga yang lain. Dengan demikian, suasana kebersamaan dalam kegembiraan yang tercipta akan mampu mendukung munculnya minat anak meniru perilaku anggota keluarga yang lebih dewasa untuk membaca.
Jika anak-anak telah menyukai hobi membaca, berikan stimulan untuk menulis atau mengarang. Bisa saja dengan menyuruh menceritakan kembali isi buku cerita yang telah dibaca dengan bahasa sendiri. Hal ini akan membuat anak lebih berkonsentrasi saat membaca dan mengembangkan daya kreasi dan daya khayal mereka.
Satu hal penting yang juga harus ditanamkan pada anak adalah sikap menghargai buku. Anak-anak dibiasakan untuk melihat buku sebagai sebuah benda yang dapat memberikan manfaat lebih bagi dirinya. Biasakan pula untuk menjadikan sebuah buku sebagai cinderamata dalam kegiatan-kegiatan tertentu seperti ulang tahun. Dengan demikian, anak akan memiliki persepsi baik terhadap sebuah buku.(*/ Staf Humas Setda Kab. Semarang/dari berbagai sumber)

PIKNIK KE PERPUSTAKAAN? WHY NOT?

PIKNIK KE PERPUSTAKAAN? WHY NOT?
Betty W. Kusuma٭

Apa yang terlintas di benak kita kalau mendengar kata piknik? Pastinya ada tempat wisata, entah itu pantai, pegunungan, wahana-wahana hiburan dan refreshing. Piknik adalah sesuatu yang menurut hampir semua orang merupakan kegiatan yang menyenangkan.
Dan apa yang terlintas di benak kita kalau mendengar kata perpustakaan? Ada buku, meja kursi, hening, rak-rak tinggi dan orang-orang yang gemar membaca. Orang yang menganggap perpustakaan sebagai tempat yang menyenangkan mungkin tidak sebanyak orang yang menganggap piknik itu menyenangkan.
Lantas bagaimana jika kedua kata yang sangat berlainan itu digabung menjadi satu yaitu piknik ke perpustakaan? Mungkin banyak orang yang skeptis mendengarkan. Tapi pada dasarnya piknik memang bisa dilakukan di perpustakaan. Di perpustakaan kita bisa mendapat banyak hiburan dengan membaca buku-buku bertema ringan seperti novel atau buku kumpulan cerpen. Kita juga dapat menambah pengalaman dengan membaca ensiklopedi atau kamus. Bahkan kita dapat “mengunjungi” tempat-tempat yang jauh hanya dengan membaca, tanpa harus mengeluaran biaya.
Dengan sering-sering mengunjungi perpustakaan, pikiran kita akan selalu terbuka sehingga banyak ilmu pengetahuan yang masuk ke otak kita. Jadikan perpustakaan sebagai tempat yang wajib kita kunjungi secara berkala sehingga akan selalu ada pelajaran dan pengalaman baru yang kita dapatkan.
Yang sering mengadakan piknik adalah sekolah-sekolah. Sedangkan piknik dalam arti harafiah tidak mungkin dilakukan sesering mungkin karena membutuhkan banyak persiapan dan biaya. Jadi kenapa guru tidak menganjurkan para siswanya untuk sering-sering piknik ke perpustakaan saja? Lebih murah dan banyak manfaat yang kita dapatkan dengan menjadi pengunjung perpustakaan.
Para guru bisa saja mewajibkan siswa-siswa untuk membaca buku tertentu dan membuat ringkasannya kemudian mereka mempresentasikan didepan kelas. Dengan begitu akan terjadi sharing ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi proses belajar mengajar. Para siswa pun dapat mengisi waktu luangnya dengan kegiatan yang bermanfaat.
Jadi, piknik ke perpustakaan? Why not??
٭pemerhati perpustakaan tinggal di Jl. Mangga 149 RT 05 RW I Jambu, Kab. Semarang 50663