MEMBACA, SEKARANG ATAU TIDAK SAMA SEKALI
Oleh Supardi Pranatyastama
![]() |
Supardi Pranatyastama |
Berawal dari provokasi Gol A Gong(1) yang sangat menggugah kesadaran dan tak pernah terpikirkan sebelumnya. Dia menyatakan bahwa pengelola perpustakaan dan pustakawan di bumi nusantara ini kebanyakan dodol alias minim wawasan. Mereka saban hari bergelut dengan ratusan atau bahkan ribuan buku, tapi tak satu pun yang tersentuh apalagi terbaca. O ya tho ?
Seratus persen saya setuju dengan ungkapan tersebut, dan bahkan kini telah terukir di kedalaman sunyi sanubari bahwa saya akan berdiri di depan guna menyambut dan turut menggemakan gerakan mencerdaskan pengelola Taman Bacaan Masyarakat (TBM) dan perpustakaan (3).
Kiranya sungguh ironi selama ini, berdiri dibalik visi “meningkatkan minat baca”, tetapi justru diri kita sendiri masih kosong dari minat dan kebiasaan membaca. Tidak takutkah kita dengan ancaman Al Qur’an “sungguh dosa besar orang yang menyatakan sesuatu namun tidak mengerjakannya?”
Kiranya sungguh ironi selama ini, berdiri dibalik visi “meningkatkan minat baca”, tetapi justru diri kita sendiri masih kosong dari minat dan kebiasaan membaca. Tidak takutkah kita dengan ancaman Al Qur’an “sungguh dosa besar orang yang menyatakan sesuatu namun tidak mengerjakannya?”
Taman Bacaan Masyarakat (TBM) maupun perpustakaan merupakan wadah gerakan literasi. Sehingga berhubungan sekali dengan upaya peningkatan wawasan dan daya intelektualitas. Sudah satu tahun ini saya mengelola TBM, dengan aneka pernik suka dukanya(4), tapi tidak habis pikir dan bagi saya sungguh aneh bin ajaib, di lapangan masih ada saja TBM yang menyelenggarakan kegiatan pelatihan membatik dan mengukir, pelatihan stir mobil. Menurut common sense saya jelas hal itu tidak berhubungan dengan literasi tapi lebih pada lifeskill. Yang semestinya menjadi menu utama LPK atau PKBM (Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat) bukan aktivitas TBM. Pasti mereka akan berdalih, lho ini kan merupakan tindak lanjut dari kegiatan membaca. Mengaplikasikan ilmu yang diperoleh dari membaca segudang buku. Ya, memang sah-sah saja argumentasi tersebut tapi jelas sekali bergaya apologi.

Negeri kita kini sudah terpuruk dalam percaturan internasional, maka janganlah kita menambah masalah dengan meninabobokan masyarakat. Kita ninabobokan mereka dengan sajian aneka menu keterampilan namun kering tak berwawasan. Kita sodori masyarakat dengan ragam keterampilan siap saji yang tanpa dasar filosofi. Kita menjanjikan masyarakat untuk gampang mencari uang atau pekerjaan dengan menguasai keterampilan tertentu adalah suatu laku mulia, namun kurang bijak kala harus bersaing dengan ganasnya pasar bebas yang sudah diambang mata. Karena tanpa sadar kita telah menyorong mereka untuk menjadi mesin industri. TBM-TBM yang menyelenggarakan “tip-tip” keterampilan kepada masyarakat tanpa disadari turut ambil bagian menjerumuskan masyarakat untuk menjadi manusia mesin. Manusia-manusia yang telah hilang jati dirinya dan berganti wajah menjadi robot industri yang terkurung waktu.
Saya membayangkan TBM maupun perpustakaan merupakan universitas alternatif yang menggiring masyarakat untuk sanggup memahami jati dirinya yang kini kedodoran berkecamuk dengan himpitan kebutuhan. TBM menyediakan sarana fakultas kehidupan yang mengantar umat manusia ke pintu gerbang singgasana diri guna sanggup bersaing dengan budaya selulerisme(5). Manusia-manusia yang sanggup membebaskan diri dari nafsu serakah industrialisme. Manusia-manusia yang sebagaimana tersebut dalam kitab suci, telah diajarkan nama-nama, manusia yang cerdas berwawasan tinggi, berpikir terbuka dan mengedepankan rasionalitas bukan emosional apalagi sekadar kekuatan otot.
Alhasil TBM adalah wadah yang berhubungan dengan buku. Wadah yang menggelorakan literasi. Maka seyogianya kegiatan-kegiatan yang dirancang pun seputar mobilisasi ide. Bazar buku, bedah buku, diskusi, dan kegiatan tulis-menulis menjadi sajian utama. Diskusi –diskusi antar pengelola semestinya rutin minimal satu bulan sekali agar menjadi kebiasaan dan hobby. Genderang pesta sudah ditabuh oleh Gol A Gong, maka membaca, menulis, dan berdiskusi kapan lagi kalau tidak sekarang? Membaca dan menulis, sekarang atau tidak sama sekali…he…he.
Keterangan:
1. Kini berusaha untuk berbangga hati atas dunia literasi, dengan menjadi Pengelola TBM KEN MAOS di Perum. Bukit Asri 2 Blok O/11 Lerep Ungaran Barat Kab. Semarang.
2. Gol A Gong adalah pemilik Rumah Dunia yang sudah menulis sekitar 90 buku. Novel fenomenalnya adalah serial Balada Si Roy. Saya mendengar ujaran ini ketika Dia menjadi pemrasaran acara Deklarasi Paguyuban Pengelola Perpustakaan Desa di Perpustakaan Cemerlang Desa Tlompakan Tuntang tanggal 8 Desember 2011 dan Bincang Bareng Gol A Gong di TBM Warung Pasinaon Bergas tanggal 10 – 11 Desember 2011.
3. Saya berusaha untuk tidak membedakan antara dua institusi yang seolah saling bersaing ini. Baik TBM maupun Perpustakaan Desa prinsipnya sama-sama sebagai penyedia bahan bacaan. Keduanya adalah sekadar wadah saja sementara yang utama adalah isi.
4. Dalam penyelenggaraan TBM hampir saya putus asa. Seolah sendirian bergelut dengan idealisme. Buku-buku banyak yang hilang, dan sampai hari ini saya belum bisa menambah koleksi bahan bacaan terutama untuk anak-anak. Sungguh kasihan Duhai Engkau anak-anakku…. Buku-buku yang kalian damba belum kunjung tiba. Bantuan sudah kuajukan ke beberapa penerbit, namun masih sepi.
5. Selulerisme adalah istilah yang saya pakai untuk menandai kian gencarnya budaya gonta-ganti seri HP dan nomor perdana. Sejauh mata memandang hampir tidak ada orang yang tidak memakai HP baik sebagai kebutuhan maupun pura-pura sebagai orang sibuk. Saya belum menemukan orang menunggu jemputan atau antri di halte, loket pembayaran listrik atau di mana pun saja, yang mengisi waktu dengan membaca buku, namun pandangan yang tak asing adalah mereka asyik dengan blackberry-nya.
Pengelola Pondok Baca “KEN MAOS” Desa Lerep, Kec. Ungaran Barat Kab. Semarang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar