Oleh: Santoso Mahargono

Namun, kenikmatan membaca komik
tidak dapat dipungkiri oleh penikmat komik sebagai surga imajinasi mereka.
Kalau Jorge Luis Borges (1899-1986) sebagai sastrawan Argentina menganggap
Perpustakaan sebagai surga, maka penikmat komik menganggap bacaan komik sebagai
surga yang nyata. Bagaimana tidak, pembaca dapat dibawa kedalam gambar, turut
serta merasakan adegan demi adegan yang tergambar di dalamnya. Konon, melambungnya
imajinasi itulah yang mengakibatkan kecanduan di kalangan pembaca komik,
khususnya anak-anak, sehingga cenderung melupakan bacaan tekstual.
Memang sangat beralasan jika
akhirnya banyak yang melontarkan pendapat akan “ketabuan” bacaan komik bagi
anak-anak. Terlebih karakteristik komik yang didominasi visualisasi, dimana visualisasi
adalah sarana penyampaian pesan yang sangat mudah dipahami, mudah ditiru dan
tak akan luntur walau menginjak usia dewasa. Kekuatan yang sedemikian hebatnya
inilah mesti diarahkan pada rel minat baca. Materi komik bukan sebagai entitas
tunggal yang dapat mewakili materi komik lainnya, sehingga jika ditemukan
materi yang berisi sarkasme, adegan pornografi, ungkapan vulgar lainnya tidak
serta merta bisa diperlakukan bagi komik yang lainnya. Agaknya mitos dan pendapat
tentang negatifnya komik sebaiknya saat ini mulai digeser. Khususnya komik yang
memiliki materi ilmiah, sains, ketrampilan serta subyek yang bersifat praktis
lainnya. Bukan hanya melihat sebelah mata tentang ketabuannya saja, tetapi
bagaimana mengupayakan bahwa apa yang terkandung dalam pesan komik tersebut
dapat tersampaikan dengan baik, dan memiliki bobot materi yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Lalu, apakah hal ini berakibat
pada menghambat karya komik terjemahan? tentu tidak, karena sebenarnya yang
disasar adalah minat bacanya. Dengan menggiring minat baca, tentu penekanan
pada materi/isi komik sangat menentukan. Pangsa komik terjemahan biarkan pada
golongan usia dewasa, sedangkan anak-anak perlu pendekatan khusus. Banyak
komponen yang mestinya terlibat, disana ada orang tua, pendidik, budayawan,
seniman dan tentu Pustakawan, tidak ketinggalan penerbit dan toko buku.
Membentuk dan menghantarkan anak-anak pada kegiatan membaca dapat tertolong
dengan bacaan komik. Stimulan dari visualisasi pada komik diharapkan dapat
mengarahkan anak-anak tidak hanya pada bacaan yang bersifat visual, tetapi juga
pada bacaan tekstual. Sehingga pergerakan minat baca juga dilampui sesuai level
usia anak-anak.
Berat memang mengarahkan bacaan,
karena minat adalah aspek psikis pada setiap manusia. Apalagi minat manusia
tumbuh setelah melalui proses mengetahui, mendengar, melihat dan merasakan.
Secara sederhana minat baca adalah potensi untuk membaca secara sukarela. Pada
anak-anak, potensi pembentukan minat baca dapat didampingi orang tua, namun
jika sebaliknya, lepas dari pendampingan orang tua, maka ada sisi lain yang
seharusnya dapat didesain ulang pada bacaan komik, sehingga secara sukarela dan
mandiri membaca komik sebagai kemudahan dalam memahami pesan yang diwakili
visual dengan tetap tidak melupakan bacaan tekstual. Tentu dengan tetap
berpedoman bahwa pendampingan orang tua adalah yang disarankan dalam kegiatan
membaca untuk anak-anak. Materi komik dapat diarahkan bukan hanya pada khayalan
tokoh tertentu ataupun kisah fiksi sebagaimana selama ini banyak ditemukan.
Peran penerbit, seniman komik dan pengarang dalam menerbitkan komik mulai
dituntut kesana. Banyak hal yang dapat di kemukakan dalam materi/isi komik,
misalnya tentang Sains, Ketrampilan, Komputer, Akhlak, Lingkungan, Sejarah dan
Budaya.
Variasi materi
komik untuk anak-anak yang tidak bertumpu pada ketokohan fiksi belaka sudah
seharusnya mulai dipikirkan ulang, seperti di negara Jepang, materi komik
anak-anak sudah berkembang pada ranah pelajaran, misalnya komik matematika,
fisika, kimia, biologi dan kondisi lingkungan sekitar. Harapannya para pembaca
yang masih anak-anak tersebut selain memiliki minat baca juga mendapatkan
informasi yang benar-benar menunjang kegiatannya, yaitu belajar. Praktis dengan
demikian secara perlahan pergeseran ke arah bacaan tekstual tidak memberatkan
anak-anak. Jika dirasa beratpun masih ada pilihan bacaan yang 50% tekstual dan
50% bergambar untuk mengantisipasi beratnya beralih dari bacaan visual ke
tekstual. Semoga peluang yang masih besar ini mampu ditangkap oleh beberapa
komponen diatas, pengarang, seniman komik, penerbit dan pustakawan sebagai
tantangan membentuk bacaan yang sehat dan membentuk pembaca yang tidak
“kecanduan” pada fiksi belaka.
Pustakawan Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah
Kota Malang
menarik banget buat dibaca
BalasHapussurat yusuf