Oleh. AGUS M. IRKHAM
Berdasarkan riset lima tahunan Progress in
International Reading Literacy Study (PIRLS), yang melibatkan siswa SD,
Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia
hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.

Apa pasal
kemampuan membaca dan memahami bacaan anak-anak SD di Indonesia masih sangat
rendah?
Salah satunya adalah karena mereka sejak mula tidak
akrab dengan bacaan, khususnya yang dalam bentuk buku. Pengalaman pra membaca
tidak diperkenalkan pada mereka sejak usia dini. Perkenalan pertama mereka
dengan buku adalah berupa buku pelajaran. Pengalaman yang justru membuat mereka
“trauma”, lantaran jumlah halaman
yang tebal dan isi yang melulu tulisan.
Pertanyaan
pentingnya, kapan dan dimana anak-anak baiknya diperkenalkan dengan pengalaman
pra membaca tersebut?
Jawabannya tentu saja sejak dini. Sejak anak berusia
0 (nol) tahun. Bahkan sebelum itu, yakni saat di dalam kandungan. Caranya
dengan membacakan isi bacaan. Lazim disebut dengan metode read aloud (membaca lantang). Setelah si bayi lahir, langkah memperkenalkan
pengalaman pra membaca berikutnya adalah dengan mendekatkan buku pada anak dari
sisi fisiknya.
Buku diakrabkan kepada anak sebagai melulu benda,
layaknya mainan. Tak soal kalau akhirnya buku menjadi rusak, banyak halamannya
yang rusak, dan di tiap pojok halaman geripis, lantaran sering dicecap. Harapannya
saat sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, anak-anak akan lebih mudah
dipersuasif untuk mencintai buku. Keterampilan membaca, memahami dan
menceritakan kembali isi bacaan menjadi sesuatu yang mudah buat mereka. Hampir-hampir
bersifat taken for granted (alamiah)
belaka.
Pengalaman pra membaca itu sudah barang tentu harus
dilakukan mulai dari dalam rumah tiap-tiap keluarga. Maka kehadiran
perpustakaan rumah/keluarga (home library) menjadi sesuatu yang tidak bisa
diandaikan lagi.
Apa sebab,
kehadiran home library penting untuk melancarkan program pengenalan pra membaca
pada anak-anak?
Kegiatan (memperkenalkan pengalaman pra) membaca
harus dibuatkan rumah yang nyaman, ungkap Yasraf Amir Piliang dalam esei
panjang berjudul Dunia Menulis dan Menulis Dunia (2011). Artinya, harus
diciptakan ruang-waktu untuk aktivitas membaca(kan) buku. Bila ruang-waktu
untuk membaca itu sangat terbatas, disebabkan berbagai kesibukan maka harus
diciptakan ruang-waktu tersebut. Diperlukan ruang (rumah) untuk membaca, dan
diperlukan waktu untuk melakukannya.
Properti dan
literasi
Studi Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah
Indonesia saat ini (sensus 2010) 56,5 persen dari 237 juta penduduk. Kalau pada
2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi 134 juta jiwa atau secara agregat,
selama tujuh tahun tumbuh 65 persen.
Masih berdasarkan studi Bank Dunia, kaum menengah baru
di Indonesia telah menyumbang sekitar 70 persen pertumbuhan ekonomi nasional.
Pertumbuhan itu didorong oleh konsumsi yang tergolong sangat besar. Untuk
belanja pakaian dan alas kaki saja sudah mencapai Rp 113,4 triliun, rumah
tangga dan jasa—termasuk di dalamnya adalah membeli rumah—Rp 194,4 triliun, dan
belanja luar negeri, terutama di Singapura Rp 59 triliun.
Besaran statistik di atas merupakan potensi (pasar
dan keuntungan) tersendiri buat pebisnis. Terutama pengembang perumahan
(developer-property). Kesempatan dan peluang buat pengembang untuk membangun
hunian yang tidak saja ramah lingkungan tapi juga peka terhadap perkembangan
kebutuhan penghuninya. Salah satu bentuk kebutuhan tersebut adalah berupa
keinginan agar rumah yang dihuni dapat menjadi tempat pertama memperkenalkan
pengalaman pra membaca pada anak-anak.
Untuk itu, pengembang bisa membangun rumah yang
dilengkapi dengan fasiitas ruang untuk perpustakaan keluarga. Paling kurang
satu rumah, satu rak buku, lengkap dengan buku-buku kepengasuhan (parenting)
dan buku bacaan anak yang bisa dijadikan modal koleksi awal. Fasilitas
perpustakaan keluarga ini sangat dibutuhkan, wabilkhusus oleh golongan menengah
yang masuk ketegori The Aspirator. Berdasarkan hasil riset Center for Middle
Class Consumer (Majalah SWA edisi 08/XXVIII/12-25 April 2012), The Aspirator
dideskripsikan sebagai kelas menengah yang idealis, memiliki tujuan, serta
menjadi influencer terhadap komunitasnya. Kalangan ini umumnya hadir dari
kalangan profesional mapan yang sangat melek terhadap informasi, serta peduli
terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Jika ada yang mengatakan bahwa perubahan sosial
digerakkan oleh kelas menengah, maka kelas menengah ketegori The Aspirator
inilah yang memiliki pontensi besar menjadi agen sekaligus pelaku perubahan
tersebut.
Kepedulian dan pelaku perubahan itu—dalam konteks
peningkatan reading literacy—adalah kesediaan mereka untuk membuka akses yang
selebar-lebarnya pada komunitas dan masyarakat luas untuk bisa membaca dan
meminjam buku yang mereka punyai. Meminjamkan buku yang menjadi koleksi
perpustakaan keluarga untuk dijadikan para orangtua lainnya memperkenalkan
pengalaman pra membaca pada anak-anaknya.
Jadi upaya masif meningkatkan kemampuan
membaca, memahami bacaan dan menggunakan bahasa (reading literacy) pada
anak-anak, selain melalui program satu rumah satu rak buku, adalah dengan mengetuk
pintu kesadaran kelas menengah agar mereka mau berbagi bacaan.
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum TBM
infonya bagus bagus sekali kak
BalasHapussurat dhuha