Oleh : Dwi Hartanto
Tersebutlah
di Daerah Timur pulau Jawa sedang terjadi kekacauan, akibat mulai mundurnya
kekuasaan majapahit di tanah Jawa, banyak orang-orang dari Timur yang mengungsi
mencari tempat yang aman, menghindari kekacauan yang terjadi, di Majapahit
sendiri tengah terjadi perang saudara.

Setelah
melakukan perjalanan selama 2 hari sampailah mereka di suatu tempat yang telah
ramai, rumah-rumah telah teratur, Mbah Bening sebagai kepala rombongan akhirnya
mampir ke Kapala kampung daerah tersebut, dan mengutarakan maksud kedatangannya
meminta ijin untuk bermalam di daerah itu. Kepala Kampung tersebut. Saat
berbincang-bincang itulah, Kapala Kampung tersebut mengarahkan Mbah Bening
untuk terus berjalan sekitar 2 hari lagi ada suatu daerah subur terletak di
perbukitan daerah tersebut belum terjamah. Kepala Kampung tersebut meminta Mbah
Bening untuk membuka kampung
di sana, karena tempatnya yang subur dan airnya yang melimpah. Mbah Bening pun
menyetujui saran dari kepala kampung tersebut.
Setelah 2
malam menginap,
kemudian melanjutkan perjalanan
ke tampat yang disarankan oleh kepala kampung
tersebut, sebelum pamit, Mbah Bening meminta Kepala Kampung tersebut untuk
menamakan kampungnya “Sumberlawang” yang artinya pintu pembuka untuk Mbah
bening mencari daerah baru yang diinginkan..
Mbah Bening
pun melakukan perjalanan lagi melewati hutan dan sungai-sungai, dan di beberapa
tempat mereka beristirahat untuk memulihkan tenaga dan mengobati mereka yang
sakit dalam perjalanan.
Setelah
berjalan selama 2 hari sampailah mereka di suatu perbukitan yang subur dan
terdapat mata air yang sangat jernih.
Maka Mbah Bening beserta warga pun segera
membuka hutan tersebut, membabati dan mendirikan pemukiman, setelah 3 hari
membabat hutan dan mendirikan beberapa pemukiman maka Mbah Bening pun menamakan
derah tersebut dengan nama Desa Ngancar, dan Mbah bening kembali dipercaya untuk
memimpin kampung tersebut.
Kampung tersebut semakin berkembang menjadi
kampung yang terkenal.
Tahun demi
tahun desa tersebut berkembang penduduknya dan semakin ramai, maka oleh Mbah Bening, Desa tersebut diubah
namanya dari Desa Ngancar menjadi desa Mranak, berasal dari kata Moro-moro
kepenak. Untuk menjaga agar desa tidak dimasuki oleh orang yang hendak
berbuat onar dan rasa syukur Desa Mranak telah berkembang maka Mbah Bening pun
mengadakan upacara sedekah bumi dengan menggunakan burung Glatik dan bajing
sebagai symbol.
Suatu
ketika, ada
sekelompok orang dari selatan yang dipimpin oleh Gopang berbuat onar di Desa Mranak, mereka merampas harta
dan menganiaya warga,
banyak yang ketakutan. Dengan
menggunakan
keris sakti Mbah Bening bertarung melawan Gopang
Mbah Bening dan berhasil
mengalahkan serta mengusir mereka keluar dari Mranak. Sampai sekarang konon
bekas pertempuran antara Mbah Bening dengan Gopang masih ada.
Setelah
memimpin desa selama puluhan tahun, Mbah Bening pun semakin tua umurnya, maka
ia merencanakan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang pertama
bernama Goprak, banyak penduduk desa yang sedih dengan rencana itu, tapi Mbah
Bening berusaha memberitahu kepada warga bahwa dirinya telah lanjut, bahwa ia
tidak mungkin selamanya memimpin desa itu maka perlu ada pengganti dirinya, ia
berencana untuk menepi ke lereng Gunung Ungaran.
Maka sesuai
dengan rencana maka Mbah Bening pun menyerahkan kepala desa kepada anaknya
Goprak, yang di panggil oleh warga desa menjadi mbah lurah Goprak. Mbah Bening
pun memilih menepi ke lereng gunung Ungaran, di sana ia mendirikan sebuah rumah
sederhana dan tinggal berdua dengan istrinya.
Mbah
Goprak ini dapat melanjutkan kepemimpinan Mbah Bening, rakyat pun semakin hidup
tenteram. Setelah beberapa tahun menjadi kepala desa Mbah Goprak, menderita
sakit dan ia berencana menyerahkan kekuasaan kepala desa kepada anaknya Jebuk
atau Mbah Jebuk, tapi sebelum menyerahkan kekuasaan, Mbah Goprak meninggal,
maka sesuai rencana jabatan kepala desa beralih ke Mbah Jebuk.
Sementara itu
Penduduk desa semakin banyak, dan supaya penduduk tidak terlalu banyak,
sedangkan tanah untuk bercocok tanam terbatas, maka di pikirkan untuk membuka pemukiman baru
di sebelah selatan Mranak, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara.
Maka dengan gotong royong maka dibukalah hutan di sebelah selatan Mranak,
daerah tersebut kemudian dinamakan Gowong (artinya Gowo Uwong), akhirnya
beberapa penduduk desa Mranak pindah ke daerah Gowong, Gowong pun mulai
berkembang tapi tetap merupakan daerah di dalam Desa Mranak, akhirnya
hutan-hutan di tepi daerah Gowong, mulai dibabati untuk pemukiman dan untuk
daerah keamanan. Pemukiman baru ini menjadi berkembang, dan akhirnya dirubah
namanya dari Gowong menjadi Dusun Wonorejo (hutan yang makmur),
Setelah
berkuasa kurang lebih selama 10 tahun, dan Desa Mranak semakin berkembang dan
semakin makmur, akhirnya Mbak Jebuk karena usianya yang telah sepuh akhirnya
diganti oleh Anaknya Mbah Tholo. Mbah Tholo ini memiliki kesaktian, dimana ia
berhasil membunuh 2 orang harimau yang datang
menganggu desa tersebut, kemudian di buang ke tepi jurang, yang sampai sekarang
jurang tersebut diberi nama jurang macan. Mbah Tholo sendiri tidak memiliki
keturunan, dan pada saat itu di Desa Mranak datang seorang bangsawan dari
Keraton Mataram, pada saat itu kekuasaan Jawa mulai pindah ke Mataram,
bangsawan ini sangat bijaksana dan merupakan utusan dari Raja Mataram yang
datang ke Desa Mranak, dan utusan yang bernama Singowijoyo ini diperintahkan
untuk tinggal di Mranak membantu Mbah Tholo memimpin Desa Mranak. Datangnya
Singowijoyo ini sangat membantu terutama keamanan desa Mranak menjadi lebih
terjamin, dan ia pun dianggap sebagai warga Mranak. Sementara itu Dusun
Wonorejo semakin berkembang dan penduduknya pun semakin banyak pendatang banyak
berdatangan, bahkan mulai melebihi desa Mranak, bahkan ada beberapa tokoh Dusun
Wonorejo mengusulkan agar Mbah Tholo pindah ke Wonorejo, dan menjalankan
pemerintahan dari Wonorejo, tapi ditolak oleh Mbah Tholo, menurutnya cikal
bakal Wonorejo adalah dari Desa Mranak.
Setelah
beberapa tahun memimpin Desa Mranak akhirnya Mbah Tholo meninggal, dan karena
tidak adanya keturunan, maka para sesepuh desa berembuk untuk menentukan siapa
pengganti Mbah Tholo, dan akhirnya dipilihlah Singowjoyo untuk menggantikan
Mbah Tholo, walaupun bukan orang asli Mranak, tetapi karena beliau adalah
utusan kerajaan dan sifatnya yang bijaksana dan pandai memimpin, maka dipilihlah
Singowijoyo sebagai Kepala Desa Mranak. Jaman kepemimpinan Mbah Singowijoyo
inilah pernah terjadi beberapa kejadian, yaitu terjadi gagal panen, dan
kekeringan, namun karena pengaturan irigasi yang baik, maka Mbah Singowijoyo
berhasil mengatasi masalah tersebut., Juga adanya gangguan dari kelompok begal
dari Tlompokan yang selalu mencegah penduduk desa yang akan keluar desa,
Pimpinan kelompok tersebut bernama Wirobo menantang Singowijoyo untuk berduel,
Mbah Singowijoyo pun menerima tantangan itu, dan terjadilah duel seru antara
keduanya, konon duel ini berlangsung selama 2 hari, maka Singowijoyo dengan tombak saktinya
berhasil mengalahkan Wirobo dan kelompoknya,
setelah mengatasi masalah tersebut, penduduk Desa Mranak semakin percaya
penuh kepada Mbah Singowijoyo, bahkan setelah ia menjadi kepala Desa, Desa
Mranak menjadi desa yang aman, dan makmur, penduduknya pun hidup dengan tenang.
Kepemimpinan
Mbah Singowijoyo inilah yang merupakan akhir dari kejayaan Mranak, karena
setelah Mbah Singowijoyo wafat, pengganti-penggantinya ternyata kurang berhasil
mengelola Desa Mranak, Desa Mranak menjadi mundur, banyak penduduk yang mulai
berpindah ke Wonorejo, yang membuat Desa Mranak akhirnya menjadi sepi, maka
terjadilan perpindahan pemerintahan desa dari Mranak ke Wonorejo, Maka Wonorejo
akhirnya menjadi desa, sedangkan Mranak akhirnya menjadi dusun Mranak sampai
sekarang. Sampai sekarang orang Mranak meyakini bahwa meraka adalah keturunan
asli dari Mbah Bening, Mbah Goprak, Mbah Jebuk, Mbah Tholo dan Mbah Singowijoyo,
dan mempercayai bahwa asal muasal Desa Wonorejo adalah dari Dusun Mranak.
Sedangkan mata air yang pertama ditemukan oleh Mbah Bening diyakini sekarang
menjadi sendang untuk mandi masyarakat Dusun Mranak yang terletak di pojokan
desa menuju Desa Penawangan.
Upacara
sedekah desa di Dusun Mranak ini sangat unik, dan jarang dilakukan di desa-desa
lain di Kabupaten Semarang. Dalam upacara ini rakyat beramai-ramai mencari
bajing dan burung glatik sebagai kelangkapan jalannya upacara sedekah bumi.
Sedekah Bumi
di Dusun Mranak dipercaya telah diadakan semenjak jaman kepemimpinan Mbah
Bening yang merupakan cikal bakal pendiri Dusun Mranak. Upacara ini
diselenggarakan pada senin Pon, dahulu bulan yang dipakai adalah bulan Jawa
yaitu bulan sya'ban, bulan sebelum puasa. Upacara
sedekah bumi di
Dusun Mranak memeiliki keunikan tersendiri, karena sesajen untuk upacara ini
adalah seekor burung Glatik dan bajing, dan keduanya harus dicari pada hari
pelaksanaan.
Burung
Glatik dalam upacara sedekah bumi di Mranak adalah perlambang pusaka, sedangkan
Bajing adalah perlambang dari orang-orang yang berbuat tidak baik atau berbuat
onar (bajingan),
jadi dengan adanya upacara sedekah bumi adalah untuk mengusir hal-hal yang
tidak baik, yaitu dengan adanya Glati (pusaka) yang digunakan mengusir orang
jahat (bajing/Bajingan). Hal ini telah dilaksanakan Mbah Bening saat mulai
berdatangan orang-orang luar ke Mranak, agar orang-orang yang datang tidak membuat onar.
Pamong
Budaya Pringapus
Padahal ak dr solo berasal dr lasem rembang keturunan mbah bening,,, cerita itu ada sedikit benarnya. Ada pusaka keris mbah bening dr jangkar dampuawang yg masih sisa yg dbawa di solo, yg jaman dulu dibagi2kan 7 bupati jawa timur
BalasHapusNembe ngertos sejarahipun kampung kelahiran...
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusHehe baru tau ternyata mranak ada sejarahnya.. ahh kampung halamannya ibu yg selalu bkin kangen.. tiap taun balik ke sini 😁
BalasHapusBtw, sendang yg di maksud itu yg deket masjid itu bukan sih? Itu kan sendangnya ada banyak yg mana yg sendang pertama?
Sendang yg di maksud sendang deket masjid itu.. Dulu sendang itu sumber air satu satunya di desa mranak sebelum ada sendang lainya dan di sendang itu juga pusat kegiatan masyarakat desa mranak. Thks
HapusKampung tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.
BalasHapusBaru tau sejarahnya dari blog ini.
Matur nuwun Pak Tri pencerahannya...
hemm... layak utk divalidasi cerita ini. suwun.
BalasHapusJenenge mbahku kok rak ono Yo... Mbah sampen garwone Mbah Mustawi kepala desa mranak ayo..... Dicritake to
BalasHapusAku keturunan asli dari desa meranak krna kedua orang tua asli sana sedulur2 masih adaa, cuman saya dari kecil hidup di jakarta. Saya ingin menulusuri nasab keluarga saya apakah ketemu nasab nya sampai mbah bening..
BalasHapusMhon admin bantu untuk menelusuri scara mendalam tentang sejarah ini
suka sekali membacanya
BalasHapusjadwal sholat jakarta