PERPUSTAKAAN
SEKOLAH BUKAN GUDANG BUKU PROYEK
Oleh :
Itmamudin, SS
“Pagi itu, sebut saja namanya Bunga, sangat senang melihat sebuah truk masuk ke sekolah. Tidak henti-hentinya mata Bunga menatap satu persatu barang yang diturunkan dari dalam truk, kemudian lewat di hadapanya sebut saja namanya Ranti seorang pustakawan yang kebetulan bertugas untuk menerima barang tersebut. Tanpa ragu bunga bertanya kepada guru tersebut, “ibu, apa to itu bu?” si guru menjawab “oh, itu buku baru nak, kiriman dari pemerintah”, spontan bunga bersorak “horee…..kita dapat buku baru…..”kemudian si Bunga mengajak teman-temanya untuk datang ke perpustakaan melihat buku-buku yang baru datang dengan sangat antusias, namun begitu membuka satu persatu buku baru tersebut, si bunga dan teman-temanya kecewa, karena buku baru tersebut sama sekali tidak menyenangkan seperti yang ada dalam pikiran si bunga dan teman-temanya. Si bunga berharap, buku baru tersebut berisi tentang cerita anak-anak, dongeng, cerita bersambung dan lain sebagainya yang bernuansa cerita. Namun kenyataanya buku baru tersebut hanya berisi buku-buku pelajaran saja yang menurut mereka tidak menarik. Dengan berat hati akhirnya si bunga dan teman-temanya beranjak pergi meninggalkan perpustakaan dengan perasaan kecewa”.
![]() |
Itmamudin, SS |
Sepenggal cerita diatas, bukan
hanya isapan jempol belaka dan barangkali terjadi dibanyak sekolah. Keadaan semacam
ini menggambarkan betapa perpustakaan sekolah saat ini belum dapat menjalankan
tugas dan fungsinya dengan baik. Kebanyakan perpustakaan sekolah hanya
mengkoleksi buku-buku pelajaran saja, dan sedikit buku-buku yang bernuansa
rekreatif atau fiksi. Menjadi Paradoks bila di membandingkan dengan komponen
koleksi perpustakaan sekolah di bawah ini :
No
|
Jenis
Komponen
|
Prosentase
|
1
|
buku teks
|
10 %,
|
2
|
alat peraga
|
5 %
|
3
|
Buku-buku referensi
|
15 %
|
4
|
Buku-buku tentang Perpustakaan
|
1 %
|
5
|
Bacaan Sehat (fiksi dan
Keterampilan)
|
50 %
|
6
|
Bacaan tentang daerahnya
|
4 %
|
7
|
Buku-buku profesi guru
|
10 %
|
8
|
Buku-buku untuk anak luar biasa
|
5 %
|
(Dian Sinaga. Mengelola
Perpustakaan Sekolah, Bandung, Bejana, 2011)
Dari tabel diatas, jelas
terlihat bahwa prosentase koleksi perpustakaan terhadap buku-buku yang bersifat
rekreatif atau atau bacaan sehat hendaknya 50 % dari keseluruhan koleksi yang
dimiliki perpustakaan. Sedangkan buku-buku teks hanya disyaratkan 10 % dari
keseluruhan koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Jika mengamati beberapa
perpustakaan sekolah saat ini, koleksi yang dimiliki sebagian besar merupakan koleksi
buku teks atau buku pelajaran sehingga belum sesuai dengan kebutuhan pemustaka.
Hal ini terjadi karena sebagian besar koleksi mereka merupakan koleksi
pemberian pemerintah atau biasa dikenal dengan buku drop-dropan pemerintah,
sehingga jenis buku, judul buku, pengarang buku, subyek buku sama antar satu
sekolah dengan sekolah lain. Ditambah lagi dengan jumlah eksemplar yang
berlebihan, misalnya satu judul 50 eksemplar, sehingga terkesan koleksi perpustakaan
banyak eksemplar dengan sedikit variasi judul.
Jika hal ini dibiarkan
berlangsung terus menerus, maka dalam waktu tertentu perpustakaan akan penuh
dengan buku-buku yang tidak terpakai, tidak dimanfaatkan karena tidak sesuai dengan
kebutuhan dan akhirnya dana pemerintah untuk peningkatan kualitas pendidikan hanya
terbuang sia-sia.
Kebanyakan sekolah terutama
sekolah negeri, mendapatkan koleksi perpustakaan melalui dana proyek
pemerintah, baik APBD I, APBD II maupun APBN dan APBNP, dan pemberian dana
pemerintah tidak diberikan langsung kepada sekolah untuk mengelola atau
membelanjakan sendiri dana yang diberikan oleh pemerintah sesuai kebutuhan
sekolah itu sendiri. Namun dalam bentuk buku atau juga sarana prasaran lain
yang proses pengadaanya dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Tidak
salah sebenarnya ketika pemerintah melakukan proses pengadaan buku sendiri
untuk menghemat anggaran dan juga meminimalisir kesalahan dalam proses
pengadaan. Namun, kesalahanya adalah bahwa pengadaan buku proyek ternyata
sebagian besar tidak memenuhi target pemerintah dan tidak disesuaikan dengan
kebutuhan sekolah, yang akhirnya buku-buku tersebut tidak digunakan oleh
sekolah. Pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi kasus yang demikian?
Pertanyaan ini barangkali
seringkali menghinggapi pikiran para pemerhati dan praktisi dibidang
perpustakaan.
Masih melekat diingatan kita
mengenai kasus pengadaan buku ajar di sebuah kota yang melibatkan beberapa oknum pejabat
dilingkungan Pemerintah Kota Salatiga. Meskipun awalnya kasus tersebut
dihentikan, namun akhirnya pada bulan November tahun 2011 para oknum yang
awalnya dinyatakan tidak bersalah, namun sekarang para pelaku sudah ada yang
dimasukkan ke dalam hotel prodeo. Belum
lagi kasus dana bantuan pendidikan yang melibatkan mantan bupati temanggung dan
6 mantan anggota DPRD temanggung periode 2001-2004 yang tersandung kasus dana
bantuan pendidikan putra-putri anggota DPRD Kabupaten temanggung yang berkasnya
sudah siap dilimpahkan ke Kejaksaan. Ini sungguh ironi dengan
tujuan pemerintah yang ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
namun ternyata disalahgunakan oleh oknum-oknum dalam pemerintahan.
Kasus-kasus semacam ini
sudah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah di negeri kita ini. hal ini
menjadi indikator kegagalan pemerintah dalam melaksanakan proyek terutama
proyek peningkatan kualitas pendidikan salah satunya proyek pengadaan buku
sekolah maupun proyek pendidikan lainnya. Kita patut prihatin terhadap kondisi
ini, kita tidak pernah tahu sampai kapan kondisi semacam ini akan berlangsung.
Namun kita harus tetap optimis bahwa keadaan ini akan segara berubah bersama
dengan kepedulian semua pihak untuk melakukan hal yang baik dan benar untuk
kemajuan pemerintah utamanya dalam bidang pendidikan.
Nasib perpustakaan
sekolah saat ini memang belum sebaik perpustakaan perguruan tinggi, dimana
perpustakaan perguruan tinggi memiliki kewenangan melakukan pengadaan buku-buku
sendiri sesuai yang dibutuhkan dan diinginkan oleh para pemustaka sebagai
custumer setia perpustakaan. Nasib perpustakaan sekolah saat ini ibarat seperti
gudang penyimpan buku proyek pemerintah pusat maupun daerah saja, baik melalui
dana APBN maupun APBD, tanpa dapat melakukan penolakan dan penyesuaian dengan
kebutuhan sekolah.
Melalui tulisan ini penulis merasa ikut prihatin dengan kondisi beberapa
perpustakaan sekolah yang masih belum berfungsi sebagaimestinya. Penulis
menghimbau kepada pemerintah, baik daerah maupun pusat agar selektif dan
transparan dalam pelaksanaan proyek pengadaan buku yang nantinya akan
disalurkan ke sekolah. Proyek pemerintah hendaknya berorientasi pada kebutuhan
sekolah, bukan berorientasi yang lain, karena perpustakaan sekolah bukanlah
gudang buku proyek yang ketika dilihat saja tidak menarik, apalagi digunakan
sebagai literature untuk peningkatan kualitas pendidikan kita. Semoga
bermanfaat….
*/Pustakawan di Stain Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar