PERPUSTAKAAN VS GUDANG BUKU
D. Arief .A.P.
Apa yang anda pikirkan ketikan mendengar perpustakaan dan gudang buku????,,,,,,,,,,,,,,,
![]() |
D. Arief .A.P. |
Menurut Random
House Dictionary Of The English Language, perpustakaan adalah suatu tempat,
berupa sebuah ruangan atau gedung yang berisi buku-buku dan bahan-bahan lain
untuk bacaan, studi maupun rujukan. Menurut Encyclopedia Britannica,
perpustakaan adalah himpunan bahan-bahan tertulis atau tercetak yang diatur dan
diorganisasikan untuk tujuan studi dan penelitian atau pembacaan umum atau
kedua-duannya.
Sedangkan
menurut kamus istilah perpustakaan dan dokumentasi yang diterbitkan oleh pusat
pembinaan dan pengembangaan bahasa, perpustakaan diartikan sebagai (1) koleksi
buku, majalah dan bahan kepustakaan lainya yang disimpan untuk dibaca,
dipelajari, dan dibicarakan. (2) tempat, gedung, atau ruangan yang disediakan
untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku. Dan menurut keputusan Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 132/KEP /M.PAN/12/2002
perpustakaan (termasuk didalamnya pusat dokumentasi dan informasi) adalah suatu
unit kerja yang memiliki sumber daya manusia, ruangan khusus dan koleksi bahan
pustaka sekurang-kurangnya 1.000 judul dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai
dengan jenis perpustakaan yang bersangkutan dan dikelola menurut sistem
tertentu.
Perpustakaan
merupakan jantung atau urat nadi bagi suatu intansi/ institusi/ universitas/
badan korporasi laniya. Perpustakaan saat ini, tidak lagi hanya menjadi tempat
menyimpan dan mencari buku, tetapi lebih dari itu yaitu menjadi sumber/tempat mencari
informasi. Berbagai informasi dapat ditemukan diperpustakaan, mulai dari yang
informasi yang bersifat ilmiah, sejarah sampai informasi yang bersifat popular.
Tetapi mengapa
sampai saat ini masih ada perpustakaan yang kondisinya sangat memprihatinkan.
Pengalaman saya ketika saya berkunjung kesalah satu SD di pinggiran Wilayah
Kabupaten Semarang saya mendapati sebuah perpustakaan yang sebenarnya tidak
layak disebut perpustakaan, bahkan hampir mirip sebuah gudang buku. Tetapi
mengapa pihak sekolah tersebut masih meyebut bangunan itu sebagai perpustakaan.
Walaupun tidak ada aktifitas diruangan itu. Apalagi pengunjung, pustakawanya
saja jarang masuk ke perpustakaan dan ruangannya pun jarang dibuka, Tanpa ada
administrasi hanya ada inventaris koleksi buku itupun tidak lengkap/ baru
sebagian, buku dibiarkan berserakan, berdebu, dan bahkan ada salah satu rak
yang bukunya menjadi sarang semut.
Kondisi itu
sangat menghawatirkan, dengan latar belakang pengelola yang berpendidikan di bidang
ilmu perpustakaan mengapa kondisi itu masih terjadi. Mungkin karna hal seperti
itu minat baca generasi muda bangsa Indonesia jadi berkurang. Bangsa Indonesia telah
merdeka selama 66 tahun dan statusnya masih menjadi Negara berkembang,
Kapan? bangsa ini
menjadi Negara maju jika minat baca dan belajar generasi penerus bangsa
terhambat cuma karena perpustakaan yang kurang terorganisasi. Contohlah Negara
Jepang, dan negara-negara maju lainya. Mereka sudah menjadikan membaca sebagai kebiasaan/
kegemaran. Dengan mencintai buku merupakan awal agar kita terbiasa membaca dan
membaca akan menjadi kegemaran. Budaya membaca harus kita ajarkan kepada anak
cucu kita agar bangsa Indonesia nantinya bisa lebih maju.
Misalnya dengan
cara membelikan mereka buku, mengajak merepa ke perpustakaan, bukan membelikan
mereka mainan. Tidak berarti tidak boleh membelian mainan tetapi harus kita
imbangi dengan hal-hal yang mendidikan dan dapat meningkatkan minat baca agar
perpustakaan dilingkunganya menjadi maju dan berkembang, bukan malah mundur dan
menjadi gudang buku, dan hal penting yang harus dilakukan pustakawan adalah
melayani pemustaka dengan baik dan ramah agar mereka puas, jika mereka puas dan
senang mereka pasti akan datang kembali.
Sesungguhnya
syarat sebuah gedung untuk dapat disebut perpustakaan adalah, harus ada:
·
Kumpulan
bahan pustaka dalam bentuk tercetak maupun non cetak.
·
Bahan
pustaka yang ada harus ditata berdasarkan sistem yang berlaku, diolah dan
diproses, baik secara manual atau secara otomatis.
·
Bahan
pustaka yang telah diolah dan diproses harus ditempatkan di ruangan tertentu.
·
Ada
pengguna perpustakaan, yang memanfaatkan koleksi bahan pustaka untuk
kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, informasi, dan hal-hal lainya yang
berkepentingan dengan belajar dan menimba ilmu.
Pertanyaan saya
terakhir buat para pustakawan apakan perpustaakan anda sudah memenuhi syarat
diatas untuk disebut perpustakaan?????
Mahasiswa D2 Ilmu Perpusakaan Universitas Terbuka Pokjar
Tengaran
>
<�!%
�/ � tr style='mso-yfti-irow:4'>
4
Buku-buku tentang Perpustakaan
1 %
5
Bacaan Sehat (fiksi dan
Keterampilan)
50 %
6
Bacaan tentang daerahnya
4 %
7
Buku-buku profesi guru
10 %
8
Buku-buku untuk anak luar biasa
5 %
(Dian Sinaga. Mengelola
Perpustakaan Sekolah, Bandung, Bejana, 2011)
Dari tabel diatas, jelas
terlihat bahwa prosentase koleksi perpustakaan terhadap buku-buku yang bersifat
rekreatif atau atau bacaan sehat hendaknya 50 % dari keseluruhan koleksi yang
dimiliki perpustakaan. Sedangkan buku-buku teks hanya disyaratkan 10 % dari
keseluruhan koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Jika mengamati beberapa
perpustakaan sekolah saat ini, koleksi yang dimiliki sebagian besar merupakan koleksi
buku teks atau buku pelajaran sehingga belum sesuai dengan kebutuhan pemustaka.
Hal ini terjadi karena sebagian besar koleksi mereka merupakan koleksi
pemberian pemerintah atau biasa dikenal dengan buku drop-dropan pemerintah,
sehingga jenis buku, judul buku, pengarang buku, subyek buku sama antar satu
sekolah dengan sekolah lain. Ditambah lagi dengan jumlah eksemplar yang
berlebihan, misalnya satu judul 50 eksemplar, sehingga terkesan koleksi perpustakaan
banyak eksemplar dengan sedikit variasi judul.
Jika hal ini dibiarkan
berlangsung terus menerus, maka dalam waktu tertentu perpustakaan akan penuh
dengan buku-buku yang tidak terpakai, tidak dimanfaatkan karena tidak sesuai dengan
kebutuhan dan akhirnya dana pemerintah untuk peningkatan kualitas pendidikan hanya
terbuang sia-sia.
Kebanyakan sekolah terutama
sekolah negeri, mendapatkan koleksi perpustakaan melalui dana proyek
pemerintah, baik APBD I, APBD II maupun APBN dan APBNP, dan pemberian dana
pemerintah tidak diberikan langsung kepada sekolah untuk mengelola atau
membelanjakan sendiri dana yang diberikan oleh pemerintah sesuai kebutuhan
sekolah itu sendiri. Namun dalam bentuk buku atau juga sarana prasaran lain
yang proses pengadaanya dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Tidak
salah sebenarnya ketika pemerintah melakukan proses pengadaan buku sendiri
untuk menghemat anggaran dan juga meminimalisir kesalahan dalam proses
pengadaan. Namun, kesalahanya adalah bahwa pengadaan buku proyek ternyata
sebagian besar tidak memenuhi target pemerintah dan tidak disesuaikan dengan
kebutuhan sekolah, yang akhirnya buku-buku tersebut tidak digunakan oleh
sekolah. Pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi kasus yang demikian?
Pertanyaan ini barangkali
seringkali menghinggapi pikiran para pemerhati dan praktisi dibidang
perpustakaan.
Masih melekat diingatan kita
mengenai kasus pengadaan buku ajar di sebuah kota yang melibatkan beberapa oknum pejabat
dilingkungan Pemerintah Kota Salatiga. Meskipun awalnya kasus tersebut
dihentikan, namun akhirnya pada bulan November tahun 2011 para oknum yang
awalnya dinyatakan tidak bersalah, namun sekarang para pelaku sudah ada yang
dimasukkan ke dalam hotel prodeo. Belum
lagi kasus dana bantuan pendidikan yang melibatkan mantan bupati temanggung dan
6 mantan anggota DPRD temanggung periode 2001-2004 yang tersandung kasus dana
bantuan pendidikan putra-putri anggota DPRD Kabupaten temanggung yang berkasnya
sudah siap dilimpahkan ke Kejaksaan[1]. Ini sungguh ironi dengan
tujuan pemerintah yang ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia,
namun ternyata disalahgunakan oleh oknum-oknum dalam pemerintahan.
Kasus-kasus semacam ini
sudah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah di negeri kita ini. hal ini
menjadi indikator kegagalan pemerintah dalam melaksanakan proyek terutama
proyek peningkatan kualitas pendidikan salah satunya proyek pengadaan buku
sekolah maupun proyek pendidikan lainnya. Kita patut prihatin terhadap kondisi
ini, kita tidak pernah tahu sampai kapan kondisi semacam ini akan berlangsung.
Namun kita harus tetap optimis bahwa keadaan ini akan segara berubah bersama
dengan kepedulian semua pihak untuk melakukan hal yang baik dan benar untuk
kemajuan pemerintah utamanya dalam bidang pendidikan.
Nasib perpustakaan
sekolah saat ini memang belum sebaik perpustakaan perguruan tinggi, dimana
perpustakaan perguruan tinggi memiliki kewenangan melakukan pengadaan buku-buku
sendiri sesuai yang dibutuhkan dan diinginkan oleh para pemustaka sebagai
custumer setia perpustakaan. Nasib perpustakaan sekolah saat ini ibarat seperti
gudang penyimpan buku proyek pemerintah pusat maupun daerah saja, baik melalui
dana APBN maupun APBD, tanpa dapat melakukan penolakan dan penyesuaian dengan
kebutuhan sekolah.
Melalui tulisan ini penulis merasa ikut prihatin dengan kondisi beberapa
perpustakaan sekolah yang masih belum berfungsi sebagaimestinya. Penulis
menghimbau kepada pemerintah, baik daerah maupun pusat agar selektif dan
transparan dalam pelaksanaan proyek pengadaan buku yang nantinya akan
disalurkan ke sekolah. Proyek pemerintah hendaknya berorientasi pada kebutuhan
sekolah, bukan berorientasi yang lain, karena perpustakaan sekolah bukanlah
gudang buku proyek yang ketika dilihat saja tidak menarik, apalagi digunakan
sebagai literature untuk peningkatan kualitas pendidikan kita. Semoga
bermanfaat….
*/Pustakawan di Stain Salatiga
Tidak ada komentar:
Posting Komentar