Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Kamis, 10 September 2009

BUKU TERLAHIR DARI TANGAN DINGIN, BUKAN KERINGAT DINGIN

BUKU TERLAHIR DARI TANGAN DINGIN, BUKAN KERINGAT DINGIN                      
*\Rima Mayasari
Sebuah buku terlahir di tangan dingin beberapa perajin buku. Perjalanan panjang mutlak dilalui untuk melahirkan sebuah buku yang apik. Kombinasi dari proses kreativitas penulis, editor, penerbit, dan percetakan yang baik akan menghasilkan buku yang berkualitas pula. Sementara penulis berpikir bagaimana cara karya itu diterima penerbit, editor berpikir bagaimana agar buku laku dan terbit dengan baik.                         
Tak dapat menutup mata, sebuah buku yang sebenarnya diciptakan oleh pengarang/ penulis memang membutuhkan sentuhan kecerdasan editor. Editor identik sebagai makhluk di belakang meja dengan urusan memperbaiki naskah. Padahal, editor bisa menjadi garda terdepan bagi penerbit dalam aktivitas multikepentingan, seperti negosiasi, promosi, maupun marketing buku. Memang sulit jika kita  harus menghakimi pekerjaan kita sendiri. Emosi kita terlalu dekat dengan naskah itu. Oleh karena itu, diperlukanlah profesi editor dalam dunia perbukuan. Para editor itu diperlukan untuk menjernihkan makna sebuah tulisan, membuatnya enak dibaca, dan memotivasi minat membaca. Jika melihat perkembangan penerbitan buku, tentu masyarakat akan setuju bahwa mereka sudah semestinya mendapatkan bahan bacaan yang tidak amburadul. Di sinilah peran editor akan terlihat.                                                                                      Editor merupakan salah satu profesi yang mengandalkan kecerdasan majemuk (multiple intelligences). Dengan bekal kecerdasan majemuk itulah, ia bisa mengalirkan gagasan penulis/pengarang dengan sangat baik sehingga benar-benar dapaat diterima oleh pembaca buku. Jika editor berkembang memenuhi kebutuhan para penerbit dan para pembaca, dunia penerbitan buku akan turut berkembang pesat .                                    
 Editor yang multicerdas memang harus dilahirkan demi perkembangan dunia buku. Ketika terlihat minat dan talenta yang tinggi dari seorang editor, maka ia harus dibina sekaligus dijaga. Jam terbang yang tinggi diiringi minat serta bakatnya dalam penanganan naskah akan melahirkan pribadi editor yang multicerdas serta piawai. Ia akan menjadi seseorang yang paling dicari oleh para penerbit karena tangan dinginnya bisa menjadikan sebuah buku melambung, baik kualitas maupun penjualannya yang notabene akan memajukan penerbit itu juga.                                                                                              Dari delapan kecerdasan (cerdas alam, cerdas angka, cerdas diri, cerdas bergaul, cerdas logika, cerdas gambar, cerdas musik, dan cerdas kata) yang berhasil diungkap oleh Howard Gardner dalam teori tentang kecerdasan majemuk (multiple intellegencies), cerdas kata (word smart) adalah kecerdasan dominan yang harus dimiliki oleh seorang editor. Untuk menjadi seorang editor, seseorang dituntut memiliki minat tinggi dan kemampuan menonjol dalam keterampilan berbahasa, yang meliputi: kemampuan membaca, menulis, menyimak, dan berbicara, serta kemampuan memahami sastra. Paling tidak, editor dituntut memahami tata bahasa yang akan digunakan dalam penulisannya. Dengan pemahaman tata bahasa yang baik, editor diharapkan pula mahir menggunakan bahasa tulis, apalagi jika ia mampu menulis berbagai jenis materi tulisan, seperti: artikel, feature, esai, surat, buku, press release, iklan, dan resensi. Dengan kemampuan ini, ia akan leluasa menilai kelayakan sebuah naskah buku dari berbagai jenis serta mampu untuk memberikan saran perbaikan dan menulis ulang dengan baik. Jika yang terjadi adalah sebaliknya, hasil yang diperoleh pun bukanlah sebuah karya tulis yang layak diedarkan.                                                                                                                                Selain cerdas kata, cerdas logika berpikir juga tak boleh dilalaikan oleh seorang editor. Kemampuan memahami logika berpikir penulis serta mengorganisasi pikiran untuk menyusun atau menulis ulang teks dengan benar merupakan jantung bagi para editor guna menganalisis naskah. Jadi, editor tidak boleh telmi ataupun kurang peka terhadap jalan pikiran penulis. Daniel Mahendra menemukan konsep segitiga aktivitas untuk melatih kepekaan ini dalam pengalamannya menyunting naskah, yaitu: baca pertama, pahami, dan maknai. Kecerdasan logika ini menuntut adanya kemampuan membaca dengan baik sambil kemudian dapat menalar tulisan sang penulis berdasarkan teks yang disusunnya. Jika pemahaman sudah diperoleh, tinggal memaknai teks tersebut untuk diperbaiki atau diabaikan apa adanya.                                                                          Baca pertama dilakukan pada naskah (hardcopy) untuk menilai kekuatan ataupun kelemahan naskah. Pada proses baca pertama, seorang editor dapat membubuhkan tanda-tanda koreksi maupun tanda tanya untuk mengoreksi naskah. Pada tahap ini pula seorang editor dapat memeriksa kelengkapan naskah, teknik penyajian, dan kesesuaian naskah dengan gaya selingkung (house style) penerbit. Proses baca pertama bersifat penting dan tidak boleh dilewatkan untuk dapat menakar kualitas naskah. Yang perlu dipahami pada saat baca pertama adalah seorang editor jangan terlalu berkonsentrasi mencari kesalahan naskah (seperti EYD, kalimat, ataupun kebenaran fakta). Namun, yang semestinya dilakukan adalah proses memaknai naskah. Jadi, seorang editor harus dapat menemukan ‘benang merah” dari sebuah naskah.                                                                                       
Editing mekanik adalah proses selanjutnya setelah naskah dinyatakan layak melalui proses baca pertama. Disebut mekanik karena editing dilakukan secara manual oleh para editor dengan cara membubuhkan tanda-tanda koreksi ke dalam naskah cetak coba pruf (naskah yang sudah di-set dan di-layout layaknya halaman buku). Standar editing mekanik ini dilakukan dua sampai tiga kali. Dalam proses editing mekanik inilah seorang editor menjaga betul tujuh aspek editing yang terkenal itu, yaitu: 1) keterbacaan dan kejelasan; 2) konsistensi; 3) kebenaran bahasa; 4) gaya penulisan; 5) ketelitian fakta dan data; 6) legalitas dan kesopanan; 7) rincian produksi. Memang pada praktiknya menjaga ketujuh aspek tersebut sangatlah berat dan memerlukan kemampuan ekstra dari seorang editor. Karena itu, layak juga kalau dalam dunia editor ada istilah “jam terbang” untuk menilai tingkat kepiawaian seorang editor.                                                             Di sinilah asumsi bahwa editing itu sebenarnya juga sebuah seni. Buku yang baik tentu berasal dari hasil editing yang baik dan benar serta ditambah citarasa seni sang editor dalam mengelola naskah hingga menjadi buku. Setiap buku memiliki riwayat penyuntingannya masing-masing. Dan buku yang baik dengan riwayat penyuntingan yang membanggakan tentu akan menjadi sesuatu yang sangat berharga bagi editor walau namanya tidak terangkat setinggi nama penulis/pengarangnya. Editor juga makhluk yang diharamkan bersikap kuper (kurang pergaulan). Editor harus menjadi sosok yang gaul, yaitu dapat terbuka untuk berhubungan dengan berbagai pihak. Editor menjalin hubungan tersebut dalam upaya melancarkan profesinya, di antaranya dengan direktur atau manajer penerbitan, pembaca, marketing, atau percetakan. Karena itu, editor harus supel bergaul dengan berbagai personal maupun institusi yang menjadi mitra kerjanya, seperti penulis/pengarang, layouter, desainer, ilustrator, marketing, dan percetakan.                       
Editor tentu harus memiliki kemampuan mengelola diri, sehingga ia tidak terjebak menjadi pribadi yang negatif. Karena itu, editor harus mampu mencerna dirinya (self-digesting) dengan tahapan awal mengenali diri, mengendalikan diri, mengembangkan diri, hingga akhirnya mampu mentransformasi diri menjadi pribadi yang multicerdas. Dari profesi editor, seseorang akan mendapatkan konsekuensi positif jika ia memiliki cerdas diri.  Namun, jika tidak, ia akan mendapatkan konsekuensi negatif dari profesinya itu. Konsekuensi positif dari akumulasi pekerjaan editor, yaitu munculnya sifat-sifat baik, seperti: sabar, teliti, percaya diri, berani, rendah hati, atau disiplin. Sedangkan konsekuensi negatif dari sang editor yang tidak cerdas diri, yakni seperti: frustrasi, kesal, jenuh, rendah diri, takut salah, lambat, dan stress. Pribadi editor dituntut untuk menjadi sempurna karena hal itulah yang dibutuhkan oleh dunia perbukuan saat ini untuk bisa menghasilkan karya-karya buku yang berkualitas bagus. Artinya, ada korelasi antara kualitas diri seorang editor dengan kualitas karya yang ditanganinya. Jika pribadi editor timpang, kualitas karyanya pun kurang bisa dipertanggungjawabkan. Iklim yang kondusif sangat diperlukan di lingkungan seorang editor karena akan memudahkan editor untuk menemukan kecintaan dalam profesinya. Tanpa kecintaan terhadap profesi serta pekerjaannya, editor tidak mungkin menjadi multicerdas, malah akan menjadi pribadi negatif. Akibatnya, editor-editor seperti ini kadang hanya menggunakan otak kiri mereka (logika, kebenaran data dan fakta, keterbacaan, kebenaran teori) tanpa mengaktifkan otak kanan (empati, kreativitas, inovasi).                                                                                                 
Demikianlah proses kelahiran sebuah buku. Meskipun bidang profesinya tidak terkenal, sulit sebenarnya menjadi seorang editor yang piawai. Editor tidak boleh melewatkan kesempatan mengedit naskah sebagai ujian kemampuan bagi jam terbangnya. Penulis profesional saja, siapapun dia, tetap membutuhkan proses editing.              
Keterampilan menulis, cara mengungkapkan tulisan (gaya bahasa), hingga masalah nonteknis bisa menghambat kemajuan karir kepenulisan. Yang paling kerap dilakukan ialah penulis tergesa-gesa mengirim naskah kasar, belum dipoles, belum dibaca ulang, dipikirkan masak-masak isi dan cara penulisannya. Pembukaan yang kurang memancing, bertele-tele, lambat, melelahkan, berpanjang-panjang dengan kalimat berputar-putar dan mengumbar kata, terlalu menceramahi, sementara isi pemikiran kurang dipertimbangkan dengan matang, diperburuk akhiran yang dipaksakan, tulisan penuh tatabahasa berlepotan, salah menggunakan diksi, mengabaikan kaidah berbahasa, hanya akan membuat tulisan kehilangan fokus tema, bahkan bisa mementahkan, akhirnya melantur ke subjek lain yang lepas dari niat awal. Editor yang dari awal kehilangan kesabaran membaca naskah akan cepat menyerah, akhirnya memutuskan menolak naskah karena setelah meraba-raba, gagal menemukan subjek yang ingin diketengahkan penulis. Semestinya, penulis perlu membiarkan tulisan itu mengendap sebentar, kemudian poleslah pelan-pelan. Selanjutnya, edit dan revisi sendiri dulu. Sebelum dikirim atau ditawarkan, minta orang dekat atau orang lain baca sejenak, mintai komentar mereka, dan dengar yang mereka rasakan.                                                                                                                      Buku diakui terlahir dari tangan dingin. Dalam proses kelahiran sebuah buku, bukan keringat yang dikuras, melainkan kehandalan dan kepiawaian perajin buku. Fakta ini mengarah pada pandangan bahwa kerja editor sebelum menyunting, sejak awal membutuhkan konsentrasi tinggi. Ia dituntut baik oleh perusahaan dan calon pembaca agar menetaskan karya yang matang, memikat, disiapkan sebaik mungkin, membuat pembeli pantas membelanjakan sejumlah uang dan mendapat ganti setimpal.              
(*\Pemerhati perpustakaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar