Oleh
: A. Mahbub Djunaidi*)
Perempuan, Menulislah! Demi keadilan,
kesetaraan, kemanusiaan dan kecantikan, demikian penggalan kalimat provokasi dari
Feminis Mesir Fatimah Mernissi bagi wanita agar mempunyai kegemaran dalam
menulis.
Istilah
multi level writing mungkin baru muncul di dunia kepustakawanan. tetapi kalau
istilah multi level marketing sudah tidak asing di telinga pustakawan, apalagi
pustakawati karena kegiatan ini bersifat bombastis yang mampu mempengaruhi
seseorang dalam berbisnis. Secara garis besar multi level marketing diartikan
sebagai pemasaran yang mempunyai keuntungan tambahan berdasarkan tingkat
tataran orang yang direkrut dalam memasarkan sebuah produk sehingga walaupun
tidak beraktivitas kerja kalau orang yang direkrut telah berhasil menjual
produknya maka dia akan turut memperoleh keuntungan yang dihasilkannya. Semakin
banyak anggota yang direkrut, maka akan semakin banyak pula tambahan insentif
yang diraih.
Adapun multi level writing di sini diartikan perolehan
keuntungan dari kegiatan menulis, lebih-lebih kegiatan menulis yang dilakukan
oleh pustakawati. Ada fenomena yang menarik di dunia tulis menulis bagi
psutakawati dan informasi ini jarang diketahui oleh mereka. Maka tidak heran
jika sekarang telah banyak perempuan yang telah berhasil menjadi penulis
terkenal. Sebut saja Dewi Lestari / Dee,
Mira W, Marga T, Djenar Mahesa
Ayu’ NH. Dini, Ayu Utami, La Rose, Fira Basuki, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia
dan masih banyak lagi. Beberapa manfaat menulis bagi pustakawati antara lain
adalah pembuktian rasa keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan menambah kecantikan
bagi pustakawati. Paling tidak keempat pilar itu merupakan multi level utama
dari kegiatan menulis bagi pustakawati.
Sudah
menjadi fitrah kalau perempuan termasuk di dalamnya pustakawati ingin tampil
secantik mungkin, anggun, dan berwibawa. Kecantikan itu akan diperoleh jika
pustakawati mempunyai kebiasaan menulis. Kegiatan ini sangat efektif karena
selain mempertahankan kecantikan secara alami juga tidak perlu mengkonsumsi
obat awet muda, tidak perlu lagi mencari obat herbal dan tidak perlu minum obat anti kerut. Kalau
pustakawati mempunyai kebiasaan menulis, maka secara otomatis akan selalu
tambil lebih muda dan kulit tidak mudah mengerut. Dalam buku yang berjudul
Women's Rebellion and Islamic Memory yang ditulis oleh Fatimah Mernissi (1996) dinyatakan
bahwa kegiatan menulis bagi perempuan adalah lebih baik ketimbang operasi
pengencangan kulit wajah atau krim pelembab sekali pun. Kalimat ini sekaligus
sebagai pembuktian dari keempat pilar multi level kegiatan menulis bagi
pustakawati yang dimulai dari kecantikan.
Pustakawati yang biasa menulis akan mempunyai kulit yang berpenampilan
segar karena meningkatnya aktivitas sel dalam tubuh dan struktur kulit ari akan
menjadi kuat sehingga kulit yang mengerut segera memudar dan wajah tentunya
menjadi lembut kembali.
Tiga pilar
lainnya yaitu keadilan, kesetaraan dan kemanusian akan terjawab mana kala
pustakawati telah menuangkan semua ide dan gagasannya untuk memecah kebiasaan dalam
masyarakat kita yang patriarki, dimana dalam sistem tersebut perempuan dikebiri
dalam lack of power atau kelangkaan kekuasaan.
Wahidatul
Hasanah (2008) mengatakan bahwa perempuan mempunyai hak dan derajad yang sama
dengan pria dalam mendapatkan kemajuan, bahkan perempuan pun bertanggung jawab
akan keberhasilan keluarga. Maka dari itu perempuan Indonesia harus belajar dan
belajar melalui berbagai media seperti pendidikan formal, buku, media massa,
dan dialog. Belajar akan menghindarkan diri dari jebakan gosip karena pada
dasarnya perempuan bakat untuk bergosip. Selain itu belajar juga membuat
perempuan menjadi mampu menjalankan peran setara dengan pria. Dengan tulisan,
perempuan telah memperbaiki struktur masyarakat yang lebih adil, dan mematahkan
perbedaan status dalam bermasyarakat. Bila pustakawati tidak menulis, berarti diam
atau bungkam dan bahkan dapat dikatakan bisu karena tak berbicara. Diamnya
wanita akan merangsang tumbuhnya perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi.
Nah, dari
sinilah arti pentingnya kegiatan menulis bagi pustakawai, tampil sebagai subjek,
menyuarakan suara kaum perempuan yang sedang menuntut keadilan, kesetaraan, dan
diperlakukan secara manusiawi. Itu semua merupakan keuntungan pokok bagi perempuan
maupun pustakawati dari sisi ekstern. Sedangkan keuntungan ekstern lain yang
posisinya dibawah keuntungan pokok adalah lahirnya percaya diri, perasaan
dibutuhkan orang lain, perasaan telah menolong kaum perempuan dari keterpurukan,
mampu mempengaruhi orang lain, membuktikan kesetaraan, dan selalu memgikuti
perkembangan informasi. Ketika perempuan-perempuan turut merasakan seperti apa
yang dirasakan pustakawati, maka kaum perempuan akan memberikan penghormatan
yang lebih dari yang lainnya, juga akan menempatkan posisi pustakawati pada
posisi yang terhormat karena telah mengangkat harkat dan martabat kaumnya.
Demikian ini
mencerminkap sikap profesional seorang pustakawan juga pustakawati. Perannya
dalam menghimpun, mengolah dan menyebarkan informasi merupakan kunci utama yang
harus ditunjukkan ketika seseorang sudah menyandang gelar pustakawan. sehingga
mampu mengangkat citra perpustakaan dimana dia bekerja. Pustakawati, sebagai
mana pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh
melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan
tanggung jawab melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan".
(Undang-Undang Perpustakaan No.mor 43 Tahun 2007 pasal 1 ayat 2). Pustakawati
bernaung di perpustakaan yang merupakan institusi pengelola koleksi karya
tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang
baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi,
dan rekreasi para pemustaka (pasal 1 ayat 1).
Pustakawati
dalam pandangan Undang-undang Perpustakaan tersebut diatas lebih banyak
berperan sebagai pengelola dokumen / informasi dan pelayan dokumen / informasi
bagi masyarakat pengguna perpustakaan, dimana batasan pengguna perpustakaan
tidak diikat dengan sistem dan aturan. Dengan demikian kesempatan
seluas-luasnya bagi pustakawati untuk berkiprah memperjuangkan kaum hawa
menjadi kaum informis dimana informasi sendiri merupakan hasil dari pengolahan
data dan fakta menjadi komoditas, informasi yang lengkap, valid, cepat, dan
sesuai dengan kebutuhan bernilai tinggi jika dimanfaatkan untuk menghasilkan
analisis yang dapat dipakai sebagai dasar untuk mengambil keputusan (Wiji
Suwarsono, 2010).
Untuk mewujudkan
masyarakat informasi, seyogyanya pustakawati memiliki sikap yang baik dan ramah
kepada para pemustaka yang dilayaninya. Kode Etik Pustakawan Indonesia Tahun 2006
pasal (2), dijelaskan bahwa pustakawan (termasuk pustakawati) mempunyai
kewajiban untuk membina dan membentuk karakter pustakawan, mengawasi tingkah
laku pustakawan dan sarana kontrol sosial, mencegah timbulnya kesalahpahaman
dan konflik antara sesama anggota dan antara anggota dan masyarakat, menumbuhkan
kepercayaan masyarakat pada perpustakaan dan mengangkat citra pustakawan.
Pandangan orang terhadap pustakawan dan pustakawati mungkin belum seperti yang
diharapkan. Tentu saja kejadian ini menohok kepada pejabat pustakawan. Tetapi
sekaligus membawa hikmah bagi pustakawan bila hal ini dimaknai sebagai cambuk
yang membangkitkan kesadaran akan kekurangan pustakawan dalam memahami tugas
dan dalam memberikan layanan kepada masyarakat.
Bila kita
mau melihat apa yang dikerjakan oleh pustakawan di negara lain kususnya Negara Barat
dan Bangsa Asia Timur, kita akan memahami bahwa tugas pustakawan tidak hanya
menunggu orang yang akan pinjam buku saja, tetapi mereka sibuk melayani
anak-anak yang minta bimbingan dalam belajar.
Ditunjang dengan keadaan di sana, di mana anak-anak di negara itu mau memanfaatkan
perpustakaan sebagai ruang belajar bersama mereka. Jadi, pustakawan di negara
tetangga juga berfungsi sebagai guru pembimbing bagi anak-anak yang sedang
belajar. Keberadaan perpustakaan benar-benar membawa keberuntungan bagi mereka yang
berjiwa maju. Sementara itu, pustakawan kita masih disibukkan dengan kegiatan
teknis yang tidak ada habisnya. Untuk itu perlu pembenahan konsep dalam tugas
dan fungsi pustakawan. Selain sebagai tenaga teknis, pustakawan dan pustakawati
mempunyai tugas untuk mengembangkan minat baca masyarakat.
Ditandai
dengan kegiatan ini, rasanya tidak ada bedanya antara tugas pustakawan dengan
pustakawati. Ini artinya, posisi pustakawan dan pustakawati tidak ada sekat
pemisah lagi dan mempunyai beban yang sama. Dengan kata lain kegiatan yang
dilaksanakan dalam perpustakaan telah mampu mewujudkan keadilan, keseteraan,
dan kemanusiaan. Pustakawan mempunyai hak untuk menulis, demikian pula
pustakawati mempunyai hak yang sama dengan pustakawan. Angka kredit yang
dihasilkan dari menulis karya ilmiah antara pustakawan dengan pustakawati juga
sama, tidak dibedakan. Dalam Surat Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional
Republik Insonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Jabatan
Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya dinyatakan bahwa kegiatan menulis
karya ilmiah, hasil penelitian, pengkajian survei dan atau evaluasi di bidang
perpusdokinfo yang tidak dipublikasikan mendapat angka kredit sebesar 12,500
point bila berupa buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional,
sedangkan bila dalam bentuk makalah yang diakui oleh instansi yang berwenang
setiap naskah mendapat nilai angka kredit sebesar 6 point. Namun bila membuat
karya tulis ilmiah, hasil penelitian,
pengkajian survei dan atau evaluasi di bidang perpusdokinfo yang tidak
dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan akan memperoleh angka
kredit sebesar 8 point setiap judul (bila berupa buku) sedangkan bila dalam
bentuk makalah mendapat nilai angka kredit sebesar 4 point. Di sana tidak
disebutkan tabel pilah bila dikerjakan oleh pustakawan dan pustakawati, tetapi
diperlakukan sama. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh antara pustakawan
dan pustakawati pada pekerjaan yang sama akan mempunyai keuntungan yang sama
pula. Hanya saja bagi pustakawati akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak
lagi akibat kegiatan menulis, antara yaitu berupa awet cantik karena kegiatan
menulis bagi wanita akan menyegarkan kembali kulit akibat dari kandungan aktif
aktivitas sel, dan menguatkan struktur kulit ari sehingga kerutan dalam wajah
akan memudar dan wajah menjadi lembut kembali (Fatimah Mernissi, 1996).
Wal hasil,
tidak ada keraguan lagi bagi pustakawati untuk menekuni kembali kegiatan
menulis agar tetap cantik, berkualitas, tidak direndahkan, dihormati,
dibutuhkan orang lain, mempercepat karir, dan juga menambah rejeki penghasilan
berupa point ( angka kredit ) dan koin ( honor menulis).
*)Mantan
Pustakawan.