Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Kamis, 10 September 2009

WAJAH YANG BERDEBU

WAJAH YANG BERDEBU
*Uswatun Hasanah

Criiiing…criiiiing…. Ku dengar bunyi benturan logam berkali-kali bersamaan dengan jatuhnya berkeping-keping benda bulat pipih memenuhi ruangan ini. Ruangan yang terbuat dari seng berbentuk tabung berukuran sedang. Kurasakan udara semakin pengap dengan kedatangan mereka. Parahnya lagi, mereka jatuh tepat di atas tubuhku yang tipis dan telah renta ini. Kurang ajar!!! apakah mereka tidak tahu sopan santun? Tidak tahu tata krama? Tidak menghormatiku yang sudah tua dan lusuh? Gerutuku dalam hati. Kurasakan tubuhku tak bisa bergerak. Berat badan mereka yang jauh melebihiku telah memenuhi seluruh ruangan ini. Entah dari mana mereka, yang jelas kehadirannya sangat menyiksaku. Aku mencoba menarik bagian bawah tubuhku. Tak bisa. Ku coba lagi mendorong keeping-keping yang menindih badanku. Tapi… terlalu berat.
“Ya Tuhan, apa yang harus ku perbuat?” Ku coba lagi untuk berteriak, meminta bantuan pada tangan-tangan raksasa dari makhluk bernama manusia yang sering mengambil, menaruh, bahkan mengacak-acak penghuni ruangan ini. Namun, rupanya tangan raksasa itu tak bisa mendenar teriakanku. Pasrah, ya…aku hanya bisa pasrah.
“Hai, kawan! Apakah kau sudah lama di tempat ini?” ku dengar suara dari kepingan berwarna emas yang di tubuhnya ada ukiran yang sama dengan tubuhku. Manusia memanggil kami dengan “lima ratus rupiah”. Wajahnya bersih dan mengkilap. Ia menatapku sinis.
“Hai, kawan! Apakah kau mendengarku?” ia bertanya lagi. Tubuhnya yang berada tepat di depanku, mungkin dapat membaca penderitaanku.
“Ya, kira-kira sudah dua bulan.” Jawabku dengan menahan rasa sakit. Bukannya kasihan dengan keadaanku yang terjepit, dia malah tertawa terbahak-bahak memperlihatkan giginya yang juga berwarna emas sambil berkata
“Dua bulan? Sungguh kasihan. Ku rasa dunia ini memang sudah tidak menghendaki kehadiran kalian. Para makhluk yang tidak berharga. Sudah tua, jelek, lusuh, kusam, dan tidak berguna.”
“Jangan sombong, bukankah nilaimu sama denganku? Hanya dapat ditukarkan dengan segelas Aqua, sebungkus nasi kucing, atau bahkan hanya diberikan kepada pengemis secara cuma-cuma.”
“Nilai kita memang sama, tapi perlakuan yang kita terima sangat berbeda. Para manusia itu lebih menyukai hal-hal yang baru, modern, dan praktis. Bukan barang kuno sepertimu. Coba pikir berapa banyak teman-temanmu di luar sana. Pasti dapat dihitung dengan jari. Tapi teman-temanku? Tak terhingga jumlahnya. Dan manusia semakin banyak melahirkan kami,” Ia berkata dengan bekacak pinggang, sangat angkuh.
“Ya, itu benar. Tapi setiap hal pasti ada masanya. Sekarang kau boleh bangga dengan kegagahanmu. Tapi, suatu saat kau pasti akan berada di posisiku.”
“Oh, itu masih lama. Dan sekarang adalah saatnya untuk bersenang-senang.”
Aku begitu marah melihat tawanya, tawa di atas penderitaanku. Aku ingin sekali mengumpat-umpatnya, tapi sesuatu menarikku dengan paksa. Tangan manusia! Akhirnya aku terbebas dari tempat terkutuk itu. Aku sangat gembira, seolah-olah baru terlahir kembali.
            Ku lihat tangan itu terus memegangku dan menaruhku di atas plastik kecil berbentuk seperti gelas. Di sana terdapat tiga keping logam perak dengan ukiran garis tegak dan dua lingkaran. “Seratus rupiah”, ya itu nama mereka. Muka mereka lusuh sepertiku, aku terkejut. Di mana ini? Ku lihat sesosok wajah manusia yang kotor, rambut yang tak teratur, pakaian yang sudah tidak layak, serta bau badan yang sangat menusuk. Tangannya memegang sebuah kayu kecil yang berisi sederetan tutup botol minuman, dan sebelah tangannya lagi memegang gelas plastik di mana aku berada. Mungkin ia tidak lebih dari 12 tahun. Dengan suaranya yang cempreng, anak laki-laki itu menyanyi tanpa nada yang jelas. Deg……! Sesaat ku dengarkan syair lagu itu. Dan, ya! Syair yang sama yang ku dengar lima tahun lalu di trotoar. Seorang pengamen menyanyi di bawah panasnya terik mentari. Saat itu aku melihatnya dari balik dompet.
Jo dumeh dadi cewek
Karo pengamen sajake ngenyek
Ngelingano yen wis tuwek
Untune entek ngguyune elek
Ngguyune elek irunge pesek
Lagu yang sama ketika pertama kali aku melihat isi dunia. Gedung, mobil, jalan, juga manusia. Lima tahun memang waktu yang cukup lama namun aku masih ingat bagaimana orang-orang memperlakukan aku. Saat itu aku masih muda, perkasa, dihormati, dan sangat berharga. Nilaiku saja sebanding dengan roti keju di supermarket. Tempatku pun tidak sembarangan, di dalam dompet, begitulah manusia menyebutnya.
            Hingga suatu hari ketika udara begitu panas seolah-olah ingin membakar tubuhku, sebuah tangan terulur ke arahku dan mengangkatnya. Seketika aku tahu bahwa ia akan memberikanku pada seorang laki-laki gemuk yang memegang botol minuman. Hup….. ! Aku pun bersiap-siap untuk berpindah tempat. Namun, tiba-tiba wussss…….! Angin besar menerbangkan tubuhku yang ringan. Aku terkejut, aku takut, aku berteriak meminta tolong. Tapi kedua manusia itu hanya memandangku saja, tanpa berbuat apa-apa. angin memang kejam! Apakah ia tidak kasihan padaku? Kepalaku terasa pusing karena terlalu lama berputar-putar bersama angin. Hingga aku merasa dunia semakin samar…..gelap…..dan hilang.
            Ku buka mataku perlahan-lahan. Bau yang tak karuan segera mampir di hidungku. Amis, anyir, dan busuk. Perutku terasa mual dan ingin muntah. Namun saat aku sadari, di sekelilingku tampak sangat kotor. Kulit pisang busuk, sobekan kain, plastik yang tak berbentuk, dan……lumpur hitam. Oh Tuhan, di mana aku? Kurasakan tubuhku semakin lama semakin berat. Lumpur ini semakin menguasai tubuhku. Aku menjerit, meronta agar tak semakin terbenam. Tapi tidak berhasil. Pasrah, hanya itu yang bisa kulakukan. Tiba-tiba kudengar suara-suara manusia. Ku dongakkan kepalaku mencari sumber suara. Benar! Manusia! Dan dia melihatku.
“Tolong……tolong aku.” Syukurlah mereka melihatku atau mungkin mendengarku. Yang pasti salah satu dari mereka mengulurkan tangannya. Mereka membawaku dan membersihkan tubuhku. Aku sangat bersyukur karena bisa melihat dunia luar yang sangat indah dan tidak terjebak di dalam lumpur yang busuk itu.
            Tetapi itu bukanlah akhir dari kemalangan hidupku. Dengan bentuk tubuh yang kusut, coklat kehitaman, dan kumuh, membuatku dipandang sebelah mata oleh teman-temanku apalagi oleh manusia. Ditambah lagi dengan semakin bertambahnya uang berjenis logam. Walaupun nilainya sama tapi dengan jaman yang berbeda, menurunkan nilaiku di mata manusia. Itulah sebabnya kenapa aku begitu lama berada di tabung seng berukuran sedang itu. Dan sekarang aku telah berada di dalam perangkap manusia yang haus akan uang yang biasa disebut pengamen. Aku tidak tahu apakah aku mampu menghilangkan rasa hausnya.
(*\Mahasiswi-Anggota Perpustakaan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar