Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Kamis, 30 Mei 2013

ASAL MULA DESA PLEDOKAN KEC.SUMOWONO

*/Mediarso Tri Soelistyo, SS.

Pada jaman dahulu kala ada sebuah ladang luas yang subur dan ditumbuhi dengan berbagai pohon besar. Namun pada waktu itu tidak satu orangpun yang berani menebang pohon-pohon besar tersebut. Karena masyarakat percaya bahwa pohon-pohon besar itu yang menyimpan air untuk menyuburkan tanah di ladang luas tersebut. Selain itu, di ladang itu merupakan tempat bersemayam roh para leluhur masyarakat setempat. Suatu waktu datang beberapa orang pribumi yang mengaku Vereenigde Oost Indische Compagnie (VOC). Rombongan ini dipimpin oleh Ratu Kedok. Mereka berpendapat daerah ladang luas yang subur itu merupakan hak kepemilikan dari VOC.
Mendengar VOC akan menguasai ladang sumber hidup masyarakat, warga yang dipimpin oleh tokoh masyarakat setempat bersama-sama melakukan perlawanan fisik kepada pasukan Ratu Kedok. Anak buah Ratu Kedok berhasil di luluh lantakkan oleh masyarakat setempat, namun sang pemimpin Ratu Kedok berhasil melarikan diri dengan liciknya. Setelah peristiwa itu, masyarakat memperkuat penjagaan di kampung selama sehari semalam. Hal ini dilakukan untuk berjaga-jaga bila kampung mendapat serangan balasan yang tiba-tiba dari pasukan VOC dan Ratu Kedok yang ingin balas dendam akibat kematian anak buahnya tempo hari.
Berselang 35 hari atau selapan sejak pertempuran masyarakat dengan pasukan Ratu Kedok, Ratu Kedok kembali menyambangi kampung itu. Kali ini Ratu Kedok tidak hanya bersama pasukan pribumi VOC, melainkan dengan tentara dari Belanda yang diperkuat dengan senapan mesin.yang dapat memuntahkan 20 peluru dalam sekejap mata. Melihat kedatangan pasukan Belanda yang ingin membalas dendam, masyarakat kali ini mempunyai persiapan yang lebih matang dalam menghadapi serangan dari pasukan Belanda. Masyarakat yang dipimpin oleh Harjo Mitro Kusumo melakukan perlawanan untuk mempertahankan tanah mereka agar tidak dikuasai oleh Ratu Kedok.
Saat terjadinya pertempuran melawan tentara Belanda terjadi keanehan pada kubu pasukan masyarakat. Secara tiba-tiba jumlah pasukan yang dibentuk oleh masyarakat jumlahnya menjadi banyak. Lebih banyak dari jumlah penduduk kampung itu sendiri. Masyarakat percaya itu disebabkan oleh kekuatan sakti yang dimiliki oleh Harjo Mitro Kusumo. Harjo


Mitro Kusumo ternyata dibantu oleh penguasa lelembut lereng Gunung Ungaran. Harjo Mitro Kusumo mendapat bantuan dari pasukan lelembut ini karena Harjo Mitro Kusumo sangat rajin melakukan samadi di Gunung Ungaran. menggunakan strategi perang pengepungan dengan taktik supit urang. Taktik supit urang adalah taktik dimana musuh dikepung dari tiga arah yang berbeda. Lalu musuh diarahkan pada tempat yang sudah dipersiapkan terlebih dahulu. Dimana pasukan Ratu Kedok berhasil disudutkan di sebuah cekungan dan tebing yang  ditutup oleh sebuah sungai tidak memungkinkan untuk melarikan diri lagi.
Dalam pengepungan itu, pasukan Ratu Kedok kembali dapat di luluh lantakan. Dalam pertempuran itu, sekali lagi pasukan Belanda yang dipimpin oleh Ratu Kedok dapat dikalahkan oleh pasukan masyarakat yang dipimpin oleh Harjo Mitro Kusumo,bahkan ratu Kedok tewas dalam pertempuran itu. Sebagai orang yang memiliki jiwa kesatria, Harjo Mitro Kusumo meminta sisa pasukannya jangan hanya menguburkan jasad kawan-kawannya saja, tetapi juga meminta untuk menguburkan mayat pasukan Ratu Kedok. Pasukan Ratu kedok yang meninggal dalam pertempuran itu dikuburkan di dekat sebuah sumur dan diperlakukan seperti makam-makam yang lain.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa Harjo Mitro Kusumo dalam pertempuran mengusir pasukan Ratu Kedok, Harjo Mitro Kusumo diangkat menjadi Ndoro. Ndoro merupakan sebuah jabatan dalam struktur masyarakat setingkat lurah yang dibantu oleh beberapa Bekel. Masa kepemimpinan Harjo Mitro Kusumo sebagai Ndoro berhasil membuat kemakmuran bagi masyarakat.  Banyak penduduk dari luar desa yang ingin tinggal menetap di desa yang dipimpin oleh Harjo Mitro Kusumo. Kampung yang sebelumnya hanya dihuni oleh sedikit penduduk dalam perkembangan selanjutnya para penduduk yang datang dan ingin tinggal di kampung ini semakin banyak. Akhirnya Nama kampung ini diambil dari nama Ratu Kedok dan ledokan ( cekungan tempat pengepungan) sekaligus untuk memperingati dan mengabadikan peristiwa  pertempuran tersebut. Kampung ini selanjutnya disebut dengan kampung Pledokan.
Nama sungai yang digunakan dalam pertempuran dengan pasukan Ratu Kedok ini dinamakan
Sungai Pelem oleh Harjo Mitro Kusumo. Hal ini mengingat di tepi sungai tumbuhlah pohon mangga yang berbuah sangat banyak. Sumur yang di dekatnya terdapat makam pasukan Ratu Kedok berubah menjadi sebuah sungai yang mengakibatkan mayat yang terkubur disitu terapung dan hanyut terbawa arus sungai baru. Oleh masyarakat setempat sungai itu sekarang disebut dengan Sungai Sekembang. Penamaan Sekembang dimungkinkan diambil dari kata kembang atau bunga yang digunakan untuk taburan di atas makam pasukan Ratu Kedok dan dari kata kemambang yang berarti terapung.

Pamong Budaya Kab. Semarang

2 komentar: