*/Mediarso Tri Soelistyo, SS.
Pada jaman dahulu kala ada sebuah ladang luas yang
subur dan ditumbuhi dengan berbagai pohon besar. Namun pada waktu itu tidak
satu orangpun yang berani menebang pohon-pohon besar tersebut. Karena
masyarakat percaya bahwa pohon-pohon besar itu yang menyimpan air untuk
menyuburkan tanah di ladang luas tersebut. Selain itu, di ladang itu merupakan
tempat bersemayam roh para leluhur masyarakat setempat. Suatu waktu datang
beberapa orang pribumi yang mengaku Vereenigde
Oost Indische Compagnie (VOC). Rombongan ini dipimpin oleh Ratu Kedok.
Mereka berpendapat daerah ladang luas yang subur itu merupakan hak kepemilikan
dari VOC.
Mendengar VOC akan menguasai ladang sumber hidup
masyarakat, warga yang dipimpin oleh tokoh masyarakat setempat bersama-sama melakukan
perlawanan fisik kepada pasukan Ratu Kedok. Anak buah Ratu Kedok berhasil di
luluh lantakkan oleh masyarakat setempat, namun sang pemimpin Ratu Kedok
berhasil melarikan diri dengan liciknya. Setelah peristiwa itu, masyarakat
memperkuat penjagaan di kampung selama sehari semalam. Hal ini dilakukan untuk
berjaga-jaga bila kampung mendapat serangan balasan yang tiba-tiba dari pasukan
VOC dan Ratu Kedok yang ingin balas dendam akibat kematian anak buahnya tempo
hari.
Berselang 35 hari atau selapan sejak pertempuran masyarakat dengan pasukan Ratu Kedok,
Ratu Kedok kembali menyambangi kampung itu. Kali ini Ratu Kedok tidak hanya
bersama pasukan pribumi VOC, melainkan dengan tentara dari Belanda yang
diperkuat dengan senapan mesin.yang dapat memuntahkan 20 peluru dalam sekejap
mata. Melihat kedatangan pasukan Belanda yang ingin membalas dendam, masyarakat
kali ini mempunyai persiapan yang lebih matang dalam menghadapi serangan dari
pasukan Belanda. Masyarakat yang dipimpin oleh Harjo Mitro Kusumo melakukan
perlawanan untuk mempertahankan tanah mereka agar tidak dikuasai oleh Ratu
Kedok.
Saat terjadinya pertempuran melawan tentara Belanda
terjadi keanehan pada kubu pasukan masyarakat. Secara tiba-tiba jumlah pasukan
yang dibentuk oleh masyarakat jumlahnya menjadi banyak. Lebih banyak dari
jumlah penduduk kampung itu sendiri. Masyarakat percaya itu disebabkan oleh
kekuatan sakti yang dimiliki oleh Harjo Mitro Kusumo. Harjo
Mitro Kusumo ternyata dibantu oleh penguasa lelembut
lereng Gunung Ungaran. Harjo Mitro Kusumo mendapat bantuan dari pasukan
lelembut ini karena Harjo Mitro Kusumo sangat rajin melakukan samadi di Gunung
Ungaran. menggunakan strategi perang pengepungan dengan taktik supit urang. Taktik supit urang adalah taktik dimana musuh dikepung dari tiga arah yang
berbeda. Lalu musuh diarahkan pada tempat yang sudah dipersiapkan terlebih
dahulu. Dimana pasukan Ratu Kedok berhasil disudutkan di sebuah cekungan dan
tebing yang ditutup oleh sebuah sungai
tidak memungkinkan untuk melarikan diri lagi.
Dalam pengepungan itu, pasukan Ratu Kedok kembali dapat
di luluh lantakan. Dalam pertempuran itu, sekali lagi pasukan Belanda yang
dipimpin oleh Ratu Kedok dapat dikalahkan oleh pasukan masyarakat yang dipimpin
oleh Harjo Mitro Kusumo,bahkan ratu Kedok tewas dalam pertempuran itu. Sebagai
orang yang memiliki jiwa kesatria, Harjo Mitro Kusumo meminta sisa pasukannya
jangan hanya menguburkan jasad kawan-kawannya saja, tetapi juga meminta untuk
menguburkan mayat pasukan Ratu Kedok. Pasukan Ratu kedok yang meninggal dalam
pertempuran itu dikuburkan di dekat sebuah sumur dan diperlakukan seperti
makam-makam yang lain.
Sebagai bentuk penghormatan atas jasa Harjo Mitro
Kusumo dalam pertempuran mengusir pasukan Ratu Kedok, Harjo Mitro Kusumo
diangkat menjadi Ndoro. Ndoro merupakan sebuah jabatan dalam struktur
masyarakat setingkat lurah yang dibantu oleh beberapa Bekel. Masa kepemimpinan
Harjo Mitro Kusumo sebagai Ndoro berhasil membuat kemakmuran bagi masyarakat. Banyak penduduk dari luar desa yang ingin
tinggal menetap di desa yang dipimpin oleh Harjo Mitro Kusumo. Kampung yang
sebelumnya hanya dihuni oleh sedikit penduduk dalam perkembangan selanjutnya para
penduduk yang datang dan ingin tinggal di kampung ini semakin banyak. Akhirnya Nama
kampung ini diambil dari nama Ratu Kedok dan ledokan ( cekungan tempat pengepungan) sekaligus untuk memperingati
dan mengabadikan peristiwa pertempuran
tersebut. Kampung ini selanjutnya disebut dengan kampung Pledokan.
Nama sungai yang digunakan dalam pertempuran dengan
pasukan Ratu Kedok ini dinamakan
Sungai
Pelem oleh Harjo Mitro Kusumo.
Hal ini mengingat di tepi sungai tumbuhlah pohon mangga yang berbuah sangat
banyak. Sumur yang di dekatnya terdapat makam pasukan Ratu Kedok berubah
menjadi sebuah sungai yang mengakibatkan mayat yang terkubur disitu terapung
dan hanyut terbawa arus sungai baru. Oleh masyarakat setempat sungai itu
sekarang disebut dengan Sungai Sekembang. Penamaan Sekembang dimungkinkan
diambil dari kata kembang atau bunga
yang digunakan untuk taburan di atas makam pasukan Ratu Kedok dan dari kata kemambang yang berarti terapung.
Pamong Budaya Kab. Semarang
Tumut share nggeh pak. suwun
BalasHapusSejarah.. Harus dilestarikan, jangan hilangvditelan zaman
BalasHapus