Habib A Abdullah)*
Banyak yang sadar,
kalau sepinya perpustakaan merupakan salah satu wujud ketakberesan bangsa ini. Sebab,
seperti yang telah diamini bersama, bahwa bangsa berkualitas adalah bangsa yang
banyak tahu sekaligus tahu banyak, dan itu ada pada bangsa yang gemar membaca.
Adapun perpustakaan, diakui atau tidak, telah menjadi tolak ukur minat baca
masyarakat.
Dalam suatu
ketakberesan, idealnya, ada pihak yang (terpaksa) dipersalahkan. Pada kondisi ini,
justru perpustakaan itu sendiri yang dituduh biang dari perkara ini. Melalui
artikel-artikel, seminar-seminar, ianya dinilai tak mahir merawat diri, mulai
dari penataan ruangan yang kaku, suasana yang hambar, koleksi literasi yang ala
kadarnya, dll, dll.
Memang, sikap
dingin perpustakaan seperti itu, jelas menjadi penyebab tak laku keberadaanya.
Bahwa ini perlu dibenahi adalah harus. Namun, pembenahan suasana dan sitem
semanis apapun, ketika tidak dibarengi dengan pembenahan perasaan kita yang
selama ini tidak memiliki rasa keterpanggilan terhadap perpustakaan, maka
dampaknya tak banyak berarti.
Keterpanggilan
memang bahan bakar segala tindak-tanduk. Baik soal positif, maupun negatif.
Namun, dewasa ini keterpanggilan akan suatu kebajikan cenderung menurun. Sebaliknya, keterpanggilan akan
hal-hal tak terpuji, malah meroket. Saya ambilkan permisalan berikut; di masjid
dekat rumah, makin kesini jemaahnya makin mengalami kemajuan. Maksudnya, shaf
yang dulu bisa dua tiga shaf, kini makin maju menjadi cuma satu shaf, itupun
tidak penuh. Artinya, umat yang terpanggil untuk menyambut kebaikan telah
menyusut. Meskipun pada kasus ini, mereka yang tidak ke masjid bukan berarti
pasti orang jahat. Sedangkan keterpanggilan dalam hal kejelekan, rasa-rasanya
kok tidak perlu saya tunjukkan contohnya. Tahu
sendirilah ketika membaca koran dan menonton televisi, lebih banyak mana
berita yang membuat kita marah dan jengkel, atau berita yang membuat kita
tersenyum senang.
Setelah paham
kalau muasal sejati dari sepinya perpustakaan itu adalah tiadanya keterpanggilan
untuk menyambut dampak baik dari membaca, maka solusinya adalah bagaimana
membuat diri kita terpanggil. Lalu siapakah yang memanggil kita? Yang memanggil
kita tentu adalah diri kita sendiri. Orang mengatakan mudah menyemangati orang
lain, namun sulit menyemangati diri sendiri. Begitupun memanggil orang adalah
urusan remeh, namun memanggil diri sendiri, memanggil hati kita, hanya bisa
dilakukan oleh orang yang memang betul-betul tangguh. Sebab di sana, bersemayam
musuh besar manusia, yaitu hawa nafsu.
Keterpanggilan
untuk banyak membaca memang penting. Tapi hal yang penting luntur nilai
pentingnya ketika tak pernah dibicarakan, tak pernah disenggol, dan tak pernah
diulang-ulang.
Dan akhirnya, kepada
yang telah punya kesadaran akan pentingnya membaca. Yuk, tularkan kesadaran ini
kepada orang-orang di sekitar kita dengan membicarakan buku, isi buku, dan
manfaat baik yang telah diperoleh dari buku. Kepada guru dan dosen, perbanyaklah
memberi materi yang banyak besinggungan dengan literasi dan perpustakaan. Tanpa
mengutuki mereka yang sampai sekarang masih sepi gairah untuk membaca. Dengan
seperti itu, mudah-mudahan bangsa ini menjadi bangsa yang membawa kebaikan bagi
sesama, melalui membaca, melalui perpustakaan.
Mahasiswa
Fakultas Bahasa dan Seni UNNES, bergiat di komunitas Penulis Ambarawa,
tinggal di Bedono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar