Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Minggu, 19 Mei 2013

Mari Panggil Diri Sendiri


Habib A Abdullah)*

Sudah menjadi pemakluman masal bahwa perpustakaan, dimana saja termasuk sektor paling lesu. Jika perpustakaan itu ada di sekolahan, geliatnya tak segegap gempita kantin, ruang TU, dan tempat parkir.  Bahkan, presentasi lalu lintas pengunjungnya  masih sekian tingkat di bawah toilet. Jika perpustakaan itu berdiri di suatu saerah, berdirinya tak segagah mall, terminal,  bahkan kedai rental game online. Perpustakaan menjadi daftar paling buncit tempat-tempat yang layak kunjung, utamanya kaum muda.
Banyak yang sadar, kalau sepinya perpustakaan merupakan salah satu wujud ketakberesan bangsa ini. Sebab, seperti yang telah diamini bersama, bahwa bangsa berkualitas adalah bangsa yang banyak tahu sekaligus tahu banyak, dan itu ada pada bangsa yang gemar membaca. Adapun perpustakaan, diakui atau tidak, telah menjadi tolak ukur minat baca masyarakat.
Dalam suatu ketakberesan, idealnya, ada pihak yang (terpaksa) dipersalahkan. Pada kondisi ini, justru perpustakaan itu sendiri yang dituduh biang dari perkara ini. Melalui artikel-artikel, seminar-seminar, ianya dinilai tak mahir merawat diri, mulai dari penataan ruangan yang kaku, suasana yang hambar, koleksi literasi yang ala kadarnya, dll, dll.
Memang, sikap dingin perpustakaan seperti itu, jelas menjadi penyebab tak laku keberadaanya. Bahwa ini perlu dibenahi adalah harus. Namun, pembenahan suasana dan sitem semanis apapun, ketika tidak dibarengi dengan pembenahan perasaan kita yang selama ini tidak memiliki rasa keterpanggilan terhadap perpustakaan, maka dampaknya tak banyak berarti.
Keterpanggilan memang bahan bakar segala tindak-tanduk. Baik soal positif, maupun negatif. Namun, dewasa ini keterpanggilan akan suatu kebajikan cenderung   menurun. Sebaliknya, keterpanggilan akan hal-hal tak terpuji, malah meroket. Saya ambilkan permisalan berikut; di masjid dekat rumah, makin kesini jemaahnya makin mengalami kemajuan. Maksudnya, shaf yang dulu bisa dua tiga shaf, kini makin maju menjadi cuma satu shaf, itupun tidak penuh. Artinya, umat yang terpanggil untuk menyambut kebaikan telah menyusut. Meskipun pada kasus ini, mereka yang tidak ke masjid bukan berarti pasti orang jahat. Sedangkan keterpanggilan dalam hal kejelekan, rasa-rasanya kok tidak perlu saya tunjukkan contohnya. Tahu  sendirilah ketika membaca koran dan menonton televisi, lebih banyak mana berita yang membuat kita marah dan jengkel, atau berita yang membuat kita tersenyum senang.
Setelah paham kalau muasal sejati dari sepinya perpustakaan itu adalah tiadanya keterpanggilan untuk menyambut dampak baik dari membaca, maka solusinya adalah bagaimana membuat diri kita terpanggil. Lalu siapakah yang memanggil kita? Yang memanggil kita tentu adalah diri kita sendiri. Orang mengatakan mudah menyemangati orang lain, namun sulit menyemangati diri sendiri. Begitupun memanggil orang adalah urusan remeh, namun memanggil diri sendiri, memanggil hati kita, hanya bisa dilakukan oleh orang yang memang betul-betul tangguh. Sebab di sana, bersemayam musuh besar manusia, yaitu hawa nafsu.
Keterpanggilan untuk banyak membaca memang penting. Tapi hal yang penting luntur nilai pentingnya ketika tak pernah dibicarakan, tak pernah disenggol, dan tak pernah diulang-ulang.
Dan akhirnya, kepada yang telah punya kesadaran akan pentingnya membaca. Yuk, tularkan kesadaran ini kepada orang-orang di sekitar kita dengan membicarakan buku, isi buku, dan manfaat baik yang telah diperoleh dari buku. Kepada guru dan dosen, perbanyaklah memberi materi yang banyak besinggungan dengan literasi dan perpustakaan. Tanpa mengutuki mereka yang sampai sekarang masih sepi gairah untuk membaca. Dengan seperti itu, mudah-mudahan bangsa ini menjadi bangsa yang membawa kebaikan bagi sesama, melalui membaca, melalui perpustakaan.
Mahasiswa Fakultas Bahasa dan Seni UNNES, bergiat di komunitas Penulis Ambarawa, tinggal di Bedono. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar