Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Minggu, 19 Mei 2013

Multi level Writing Bagi Pustakawati


Oleh : A. Mahbub Djunaidi*)

Perempuan, Menulislah! Demi keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan kecantikan, demikian penggalan kalimat provokasi dari Feminis Mesir Fatimah Mernissi bagi wanita agar mempunyai kegemaran dalam menulis.

Istilah multi level writing mungkin baru muncul di dunia kepustakawanan. tetapi kalau istilah multi level marketing sudah tidak asing di telinga pustakawan, apalagi pustakawati karena kegiatan ini bersifat bombastis yang mampu mempengaruhi seseorang dalam berbisnis. Secara garis besar multi level marketing diartikan sebagai pemasaran yang mempunyai keuntungan tambahan berdasarkan tingkat tataran orang yang direkrut dalam memasarkan sebuah produk sehingga walaupun tidak beraktivitas kerja kalau orang yang direkrut telah berhasil menjual produknya maka dia akan turut memperoleh keuntungan yang dihasilkannya. Semakin banyak anggota yang direkrut, maka akan semakin banyak pula tambahan insentif yang diraih.
Adapun  multi level writing di sini diartikan perolehan keuntungan dari kegiatan menulis, lebih-lebih kegiatan menulis yang dilakukan oleh pustakawati. Ada fenomena yang menarik di dunia tulis menulis bagi psutakawati dan informasi ini jarang diketahui oleh mereka. Maka tidak heran jika sekarang telah banyak perempuan yang telah berhasil menjadi penulis terkenal. Sebut saja Dewi Lestari / Dee,  Mira W,  Marga T, Djenar Mahesa Ayu’ NH. Dini, Ayu Utami, La Rose, Fira Basuki, Helvy Tiana Rosa, Asma Nadia dan masih banyak lagi. Beberapa manfaat menulis bagi pustakawati antara lain adalah pembuktian rasa keadilan, kesetaraan, kemanusiaan dan menambah kecantikan bagi pustakawati. Paling tidak keempat pilar itu merupakan multi level utama dari kegiatan menulis bagi pustakawati.
Sudah menjadi fitrah kalau perempuan termasuk di dalamnya pustakawati ingin tampil secantik mungkin, anggun, dan berwibawa. Kecantikan itu akan diperoleh jika pustakawati mempunyai kebiasaan menulis. Kegiatan ini sangat efektif karena selain mempertahankan kecantikan secara alami juga tidak perlu mengkonsumsi obat awet muda, tidak perlu lagi mencari obat herbal  dan tidak perlu minum obat anti kerut. Kalau pustakawati mempunyai kebiasaan menulis, maka secara otomatis akan selalu tambil lebih muda dan kulit tidak mudah mengerut. Dalam buku yang berjudul Women's Rebellion and Islamic Memory yang ditulis oleh Fatimah Mernissi (1996) dinyatakan bahwa kegiatan menulis bagi perempuan adalah lebih baik ketimbang operasi pengencangan kulit wajah atau krim pelembab sekali pun. Kalimat ini sekaligus sebagai pembuktian dari keempat pilar multi level kegiatan menulis bagi pustakawati yang dimulai dari kecantikan.  Pustakawati yang biasa menulis akan mempunyai kulit yang berpenampilan segar karena meningkatnya aktivitas sel dalam tubuh dan struktur kulit ari akan menjadi kuat sehingga kulit yang mengerut segera memudar dan wajah tentunya menjadi lembut kembali.
Tiga pilar lainnya yaitu keadilan, kesetaraan dan kemanusian akan terjawab mana kala pustakawati telah menuangkan semua ide dan gagasannya untuk memecah kebiasaan dalam masyarakat kita yang patriarki, dimana dalam sistem tersebut perempuan dikebiri dalam lack of power atau kelangkaan kekuasaan.
Wahidatul Hasanah (2008) mengatakan bahwa perempuan mempunyai hak dan derajad yang sama dengan pria dalam mendapatkan kemajuan, bahkan perempuan pun bertanggung jawab akan keberhasilan keluarga. Maka dari itu perempuan Indonesia harus belajar dan belajar melalui berbagai media seperti pendidikan formal, buku, media massa, dan dialog. Belajar akan menghindarkan diri dari jebakan gosip karena pada dasarnya perempuan bakat untuk bergosip. Selain itu belajar juga membuat perempuan menjadi mampu menjalankan peran setara dengan pria. Dengan tulisan, perempuan telah memperbaiki struktur masyarakat yang lebih adil, dan mematahkan perbedaan status dalam bermasyarakat. Bila pustakawati tidak menulis, berarti diam atau bungkam dan bahkan dapat dikatakan bisu karena tak berbicara. Diamnya wanita akan merangsang tumbuhnya perlakuan tidak adil dan tidak manusiawi.
Nah, dari sinilah arti pentingnya kegiatan menulis bagi pustakawai, tampil sebagai subjek, menyuarakan suara kaum perempuan yang sedang menuntut keadilan, kesetaraan, dan diperlakukan secara manusiawi. Itu semua merupakan keuntungan pokok bagi perempuan maupun pustakawati dari sisi ekstern. Sedangkan keuntungan ekstern lain yang posisinya dibawah keuntungan pokok adalah lahirnya percaya diri, perasaan dibutuhkan orang lain, perasaan telah menolong kaum perempuan dari keterpurukan, mampu mempengaruhi orang lain, membuktikan kesetaraan, dan selalu memgikuti perkembangan informasi. Ketika perempuan-perempuan turut merasakan seperti apa yang dirasakan pustakawati, maka kaum perempuan akan memberikan penghormatan yang lebih dari yang lainnya, juga akan menempatkan posisi pustakawati pada posisi yang terhormat karena telah mengangkat harkat dan martabat kaumnya.
Demikian ini mencerminkap sikap profesional seorang pustakawan juga pustakawati. Perannya dalam menghimpun, mengolah dan menyebarkan informasi merupakan kunci utama yang harus ditunjukkan ketika seseorang sudah menyandang gelar pustakawan. sehingga mampu mengangkat citra perpustakaan dimana dia bekerja. Pustakawati, sebagai mana pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan". (Undang-Undang Perpustakaan No.mor 43 Tahun 2007 pasal 1 ayat 2). Pustakawati bernaung di perpustakaan yang merupakan institusi pengelola koleksi karya tulis, karya cetak, dan/atau karya rekam secara profesional dengan sistem yang baku guna memenuhi kebutuhan pendidikan, penelitian, pelestarian, informasi, dan rekreasi para pemustaka (pasal 1 ayat 1).
Pustakawati dalam pandangan Undang-undang Perpustakaan tersebut diatas lebih banyak berperan sebagai pengelola dokumen / informasi dan pelayan dokumen / informasi bagi masyarakat pengguna perpustakaan, dimana batasan pengguna perpustakaan tidak diikat dengan sistem dan aturan. Dengan demikian kesempatan seluas-luasnya bagi pustakawati untuk berkiprah memperjuangkan kaum hawa menjadi kaum informis dimana informasi sendiri merupakan hasil dari pengolahan data dan fakta menjadi komoditas, informasi yang lengkap, valid, cepat, dan sesuai dengan kebutuhan bernilai tinggi jika dimanfaatkan untuk menghasilkan analisis yang dapat dipakai sebagai dasar untuk mengambil keputusan (Wiji Suwarsono, 2010).
Untuk mewujudkan masyarakat informasi, seyogyanya pustakawati memiliki sikap yang baik dan ramah kepada para pemustaka yang dilayaninya. Kode Etik Pustakawan Indonesia Tahun 2006 pasal (2), dijelaskan bahwa pustakawan (termasuk pustakawati) mempunyai kewajiban untuk membina dan membentuk karakter pustakawan, mengawasi tingkah laku pustakawan dan sarana kontrol sosial, mencegah timbulnya kesalahpahaman dan konflik antara sesama anggota dan antara anggota dan masyarakat, menumbuhkan kepercayaan masyarakat pada perpustakaan dan mengangkat citra pustakawan. Pandangan orang terhadap pustakawan dan pustakawati mungkin belum seperti yang diharapkan. Tentu saja kejadian ini menohok kepada pejabat pustakawan. Tetapi sekaligus membawa hikmah bagi pustakawan bila hal ini dimaknai sebagai cambuk yang membangkitkan kesadaran akan kekurangan pustakawan dalam memahami tugas dan dalam memberikan layanan kepada masyarakat. 
Bila kita mau melihat apa yang dikerjakan oleh pustakawan di negara lain kususnya Negara Barat dan Bangsa Asia Timur, kita akan memahami bahwa tugas pustakawan tidak hanya menunggu orang yang akan pinjam buku saja, tetapi mereka sibuk melayani anak-anak yang minta bimbingan dalam belajar.  Ditunjang dengan keadaan di sana, di mana anak-anak di negara itu mau memanfaatkan perpustakaan sebagai ruang belajar bersama mereka. Jadi, pustakawan di negara tetangga juga berfungsi sebagai guru pembimbing bagi anak-anak yang sedang belajar. Keberadaan perpustakaan benar-benar membawa keberuntungan bagi mereka yang berjiwa maju. Sementara itu, pustakawan kita masih disibukkan dengan kegiatan teknis yang tidak ada habisnya. Untuk itu perlu pembenahan konsep dalam tugas dan fungsi pustakawan. Selain sebagai tenaga teknis, pustakawan dan pustakawati mempunyai tugas untuk mengembangkan minat baca masyarakat.
Ditandai dengan kegiatan ini, rasanya tidak ada bedanya antara tugas pustakawan dengan pustakawati. Ini artinya, posisi pustakawan dan pustakawati tidak ada sekat pemisah lagi dan mempunyai beban yang sama. Dengan kata lain kegiatan yang dilaksanakan dalam perpustakaan telah mampu mewujudkan keadilan, keseteraan, dan kemanusiaan. Pustakawan mempunyai hak untuk menulis, demikian pula pustakawati mempunyai hak yang sama dengan pustakawan. Angka kredit yang dihasilkan dari menulis karya ilmiah antara pustakawan dengan pustakawati juga sama, tidak dibedakan. Dalam Surat Keputusan Kepala Perpustakaan Nasional Republik Insonesia Nomor 10 Tahun 2004 tentang Petunjuk Teknis Jabatan Fungsional Pustakawan dan Angka Kreditnya dinyatakan bahwa kegiatan menulis karya ilmiah, hasil penelitian, pengkajian survei dan atau evaluasi di bidang perpusdokinfo yang tidak dipublikasikan mendapat angka kredit sebesar 12,500 point bila berupa buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional, sedangkan bila dalam bentuk makalah yang diakui oleh instansi yang berwenang setiap naskah mendapat nilai angka kredit sebesar 6 point. Namun bila membuat karya tulis ilmiah,  hasil penelitian, pengkajian survei dan atau evaluasi di bidang perpusdokinfo yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan akan memperoleh angka kredit sebesar 8 point setiap judul (bila berupa buku) sedangkan bila dalam bentuk makalah mendapat nilai angka kredit sebesar 4 point. Di sana tidak disebutkan tabel pilah bila dikerjakan oleh pustakawan dan pustakawati, tetapi diperlakukan sama. Dengan demikian keuntungan yang diperoleh antara pustakawan dan pustakawati pada pekerjaan yang sama akan mempunyai keuntungan yang sama pula. Hanya saja bagi pustakawati akan memperoleh keuntungan yang lebih banyak lagi akibat kegiatan menulis, antara yaitu berupa awet cantik karena kegiatan menulis bagi wanita akan menyegarkan kembali kulit akibat dari kandungan aktif aktivitas sel, dan menguatkan struktur kulit ari sehingga kerutan dalam wajah akan memudar dan wajah menjadi lembut kembali (Fatimah Mernissi, 1996).
Wal hasil, tidak ada keraguan lagi bagi pustakawati untuk menekuni kembali kegiatan menulis agar tetap cantik, berkualitas, tidak direndahkan, dihormati, dibutuhkan orang lain, mempercepat karir, dan juga menambah rejeki penghasilan berupa point ( angka kredit ) dan koin ( honor menulis).
*)Mantan Pustakawan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar