Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Minggu, 19 Mei 2013

MENCIPTA KEGEMARAN MEMBACA


 Oleh : Ardie Tyastama

Sudah lama saya bergumul dengan dunia buku, sudah lama pula saya bertemu dengan berbagai macam tipe orang dalam menyikapi buku. Ada yang cuek sama sekali terhadap buku. Ia sama sekali tidak peduli dengan keberadaan buku. Pada kutub yang berbeda, kita mengenal istilah kutu buku, seseorang yang  diibaratkan seekor kutu, yang  tak pernah diam menghadapi buku. Ia  terus melahap dimanapun buku berada. Ada lagi yang model tanggung. Suka mengoleksi buku, tapi tidak pernah membacanya. Ada lagi yang terpaksa suka baca buku karena ada tuntutan dari pihak eksternal. Seperti tugas kampus, tugas belajar maupun tuntutan dunia kerja.
Saat saya sudah berkeluarga dan sudah mendapat titipan dua orang anak, kecintaanku terhadap buku ingin saya wariskan kepada mereka berdua. Sejak anakku berusia dua tahun, saya membiasakan diri membaca buku dihadapannya. Dan memang berdampak positif. Anak-anakku jadi terbiasa dengan buku. Kemana-mana suka menenteng buku, meski belum bisa membaca. Anakku yang pertama kini telah berusia lima tahun dan sudah mulai lancar membaca. Saya tidak punya kiat khusus buat dia agar dapat membaca, hanya saban hari yang saya lakukan adalah membaca buku dihadapannya dan sesekali membaca lantang (read aloud) buku cerita kegemarannya.
Mengenai Read  Aloud  ternyata dampaknya luar biasa. Anakku dua-duanya lambat dalam segalanya. Anak saya yang pertama baru bisa ngomong ketika sudah menginjak usia 2,5 tahun, itupun masih terbata-bata. Sedangkan yang kedua kini sudah memasuki usia 2 tahun dan belum juga menunjukkan tanda-tanda bisa ngomong lancar. Kini ia baru dapat meneriakkan kata ayah. Read aloud saya katakan luar biasa karena melihat anak saya yang pertama, dari belum bisa ngomong saya telateni membacakannya dengan suara lantang, kini ketika sudah lancar ngomongnya, kosakatanya sudah melimpah. Memasuki usia angka 5 tahun, ia sudah dapat membaca buku cerita sendiri. Tanpa harus saya drill dengan buku “Anak Sholeh Suka Membaca”, dia sudah dapat membaca dengan sendirinya tanpa bimbingan yang berarti.
Read aloud kiranya dapat menjadi terapi bagi para orangtua yang kesulitan mendidik putera-puterinya dalam hal membaca. Dengan read aloud pula kedekatan hati orangtua dengan si buah hati kian lengket dan harmoni. Anak-anak akan menaruh hormat pada orangtua tanpa harus memintanya untuk berlaku hormat pada orangtua.
Sebagai orangtua tentunya saya ingin menularkan virus membaca pada anak-anak saya. Dan metode yang tepat untuk menularkan virus tersebut adalah dengan Read Aloud. Nah melalui media ini saya ingin berbagi pengalaman dalam membangun kebiasaan membaca khususnya untuk anak-anak. Minat baca memang semestinya harus dibentuk dari sel yang terkecil yaitu keluarga. Cara menumbuhkan minat baca dengan Read Aloud ialah cara orang tua sendiri membacakan buku atau bahan bacaan lainnya kepada sang anak minimal selama 20 menit dalam sehari.
Program peningkatan minat baca telah dilakukan pemerintah selama bertahun-tahun. Saya ingat sekali sewaktu kecil ada kampanye minat membaca sehingga dibuka perpustakaan-perpustakaan di mana-mana. Tapi rupanya hal itu tidak membantu meningkatkan minat membaca juga. Jadi kiranya konsep Read Aloud yang sudah lama dipopulerkan Jim Trelease  dapat kita jadikan alternatif pilihan metode untuk membantu pemerintah menggalakkan program minat membaca . Jim Trelease menulis konsep tersebut dalam buku The Read-Aloud Handbook secara sederhana dan ada science-nya. Saya pikir kalau itu ditularkan maka akan bisa mengubah paradigma orangtua, yang sebenarnya mengetahui bahwa membaca itu baik dan selalu mempunyai cita-cita agar anaknya gemar membaca. Namun dia secara knowledge tidak mengetahui apa yang harus diperbuat dan juga tidak mengetahui bahwa kegiatan membacakan cerita bisa membuat anak menjadi gemar membaca.
Ketika kita sudah berencana atau mempunyai komitmen untuk membentuk suatu keluarga, maka seharusnya kita memang sudah siap mempunyai waktu untuk keluarga. Yang kita minta tidak banyak hanya sekitar 20 menit per hari. Mulailah dari satu halaman sebuah buku cerita anak. Itu saja sudah bisa banyak bercerita. Berdasarkan teori yang kita dapat dari buku bahwa sebaiknya kita melakukan scan terhadap buku dan tidak membaca langsung kata per kata lebih dahulu, tapi mulai dengan memperkenalkan gambar dan bercerita melalui gambar. Saya rasa hal itu bisa dilakukan selama dua atau tiga menit sehari ketika anak masih kecil.
Untuk mulai membacakan cerita sebaiknya dari sedini mungkin. Begitu anak lahir, bahkan ketika dia masih di dalam kandungan pada tiga semester kehamilan yang terakhir. Itu karena cara manusia untuk belajar membaca ada dua yaitu melalui mata dan telinga. Nah, melalui telinga ini bisa kita mulai membacakan cerita ketika anak di dalam kandungan. Tujuannya bukan untuk anak bisa membaca tapi untuk memperdengarkan suara kedua orang tuanya karena suara kedua orang tuanya merupakan cara yang ampuh untuk menenangkan anak. Kita mulai dengan membacakan cerita melalui suara kedua orangtuanya.
Dalam metode Read Aloud ini tidak ada kata terlambat, meski anak kita sudah memasuki usia 7 – 8 tahun. Tetapi memang membutuhkan usaha yang lebih kalau anak sudah mulai berusia tujuh tahun. Dia pasti sudah mulai bisa membaca, tapi caranya bisa sederhana. Tentunya anak berusia tujuh tahun juga sudah mempunyai minat tertentu. Misalnya, jika dia suka bola maka bisa mulai dibacakan dahulu cerita seputar bola, tapi orang tuanya yang membacakan. Jadi si anak akan mengetahui ada informasi baik yang bisa didapat dari membaca mengenai bola karena ia menyukai bola. Intinya, jadikanlah materi bacaan sebagai komunikasi dengan anak melalui penggunaan suara orang tuanya. Karena di mana pun anak pasti akan senang mendengar suara orang tuanya dalam suasana yang lain. Bukan dalam suasana yang biasa ia dengar, misalnya suasana kalau si anak melakukan kesalahan saja, cerewet. Nah ini suasana lain sehingga bonusnya adalah kedekatan orang tua dengan anak.
Jadi sekali lagi orang tua musti berperan aktif, bahkan menurut Jim Trelease kegiatan membacakan ini tidak boleh diwakilkan oleh orang lain maupun audio cerita seperti CD dan segala macamnya. Harus orang tuanya karena ketika anak lahir ada bagian otak yang bernama limbic system ( Sistem limbic atau disebut juga sebagai otak emosional yang merupakan pusat otak yang berperan dalam mengendalikan emosi). Sebanyak 60% syaraf yang ada di limbic system ini menghubungkan kepada perasaan. Pintu limbic ini harus ditutup. Waktu penutupan pintu limbic ini sangat sempit yaitu usia 1 - 4 tahun. Jadi, orang tua harus susah payah membacakan cerita karena kita mengharapkan pintu limbic ini tersambung melalui stimulasi dari suara orang tuanya, sehingga nanti ketika dia dewasa dan menemukan masalah maka akan kembali ke bawah sadarnya. Bawah sadarnya itu adalah suara orang tuanya yang membentuk pintu limbic tersambung sehingga dia mempunyai perasaan yang dekat dengan orang tuanya. Ketika mendapati kesulitan, dia pasti akan mencari suara orang tuanya. Dia tidak akan mencari yang lain, katakanlah minuman keras atau narkoba, tapi dia akan mencari suara itu.
Singkat kata, dengan konsep read aloud atau membacakan buku melalui suara orangtuanya akan berhasil menjadikan anak gemar membaca. Pada dasarnya ada dua hal dari sisi manusia. Manusia itu sebenarnya akan mengerjakan sesuatu dengan sukarela kalau dia menyenangi sesuatu. Kita identikkan dengan makanan. Kita akan makan ayam goreng terus menerus, dan datang berkali-kali ke suatu restoran karena kita suka. Kenapa melalui suara orangtuanya? Suara orang tua bisa menenangkan sang anak. Jika pada saat bercerita dia tidak dengan marah-marah tapi dengan penuh kasih sayang, pasti akan berhasil. Yang kedua, membaca itu ternyata suatu keahlian yang harus dilatih. Sama seperti waktu kita belajar naik sepeda. Sempat jatuh, baru bisa dua meter, latihan lagi jadi 10 meter. Jadi orang tua yang cara membacanya datar-datar saja sehingga kedengaran tidak terlalu menarik, harus belajar juga. Kadang-kadang harus cepat, kadang harus berhenti, kadang harus lambat. Mengikuti alur dari cerita yang kita pilih. Akhirnya kita mempunyai rasa buku. Dengan cerita itu, ketika anak menunjuk gambar dengan demikian riangnya otomatis emosi kita juga terbangun di situ. Jadi jangan takut. Tidak ada kata salah karena kita membacakan cerita itu untuk anak kita sendiri.
Nah, jadi jangan pernah berhenti belajar memperbaiki diri, jangan pernah putus asa untuk membangun kebiasaan membaca buat anak-anak kita. Karena gemar membaca lebih utama ketimbang bisa membaca. Untuk menciptakan anak dapat membaca sekarang sudah tidak ada kendala, namun untuk membangun anak agar gemar membaca, nah itu adalah tugas utama orang tua. Wallahu a’lam

Pengelola Rumah Buku dan penghayat semesta diri, tinggal di Lereng Ungaran 
(Ketua Forum TBM Kab. Semarang)



Tidak ada komentar:

Posting Komentar