Oleh : Rudi Wachid
El Khwarizm
”Tuhan Jangan
Tinggalkan Aku”
Apakah kita pernah menghitung nikmat
yang telah Tuhan berikan kepada pada kita? Mulai dari bangun tidur sampai tidur
lagi. Mulai dari nafas sebagai penanda hidup kita…? Saya yakin hampir semua
dari kita tidak ada yang mampu menghitung-Nya.
Lho… untuk apa kita menghitung nikmat-Nya?
Jawabannya adalah untuk membandingkan dengan seberapa banyak kita mengeluh atas
pemberian-Nya.
Sebagian dari kita menganggap bahwa
kekurangan yang ada pada diri kita adalah ketidaksempurnaan yang diberikan
oleh-Nya. Jarang sekali kita berpikir tentang apa hikmah dari semua itu.
Mengeluh adalah hal yang sering kita lakukan. Ketahuilah bahwa tidak ada
sesuatupun yang Dia ciptakan itu sia-sia.
Kalimat paling atas adalah salah satu
judul novel best seller. Taukah Anda, siapa pengarangnya? Beliau adalah Etty
Hadiwati Arief atau lebih dikenal dengan nama pena Pipit Senja. Beliau lahir di Sumedang, 16 Mei 1956 dari pasangan
Hj.Siti Hadijah dan SM. Arief (alm) seorang pejuang’45. Novel yang telah
ditulisnya ratusan, tapi yang telah diterbitkan sebagai buku baru sekitar 80.
Pipiet Senja harus ditransfusi darah secara berkala seumur hidupnya karena
penyakit kelainan darah bawaan. Memiliki dua orang anak yang selalu
membangkitkan semangat; Haekal Siregar , Adzimattinur Siregar. Aktivitasnya
saat ini sebagai anggota Majelis Penulis Forum Lingkar Pena, sering diundang
seminar kepenulisan ke pelosok Tanah Air dan mancanegara, ngepos di Penerbit
Jendela.
Awalnya dia produktif menulis adalah
karena kebutuhan mendasar yang menyangkut hidup dan matinya dia, tiap bulan dia
harus transfusi darah untuk kelangsungan hidupnya dan itu butuh biaya,
sementara orangtuanya hidup cukup sederhana. Maka jalan keluarnya adalah dia
berusaha untuk membuat karya dan rutin mengirimnya ke berbagai media dengan
harapan dimuat dapat honor, dan honornya untuk membiayai transfusi darah
tersebut. Kisah hidupnya begitu membekas di hati karena sungguh indah hikmahnya.
Pipit Senja aktif berkarya di Forum
Lingkar Pena. Menulis buku untuk anak-anak, menulis Novel, Antologi Cerpen
Bersama serta jadwal seminar kepenulisan ke seluruh pelosok Indonesia. Dari
sebuah ketidak sempurnaan itulah tercipta berbagai karya.
Selain itu siapa tak kenal novel seperti Balada Si Roy,
Kupu-Kupu
Pelangi, Kepada-Mu
Aku Bersimpuh, Biarkan
Aku Jadi Milik-Mu, Lewat Tengah Malam. Yup, Gola
Gong nama pengarangnya. Terlahir dengan nama asli Heri
Hendrayana Harris. Dia
dilahirkan di Purwakarta
pada 15 Agustus
1963
dari ibu bernama Atisah dan ayah bernama Harris. Gola Gong adalah anak kedua
dari lima bersaudara. Bapaknya adalah guru olahraga sedangkan ibunya seorang
guru di sekolah keterampilan putri, Serang.
Pada umur 11 tahun Heri (Gola Gong) kehilangan
tangan kirinya. Itu terjadi saat dia dan teman-temannya bermain di dekat
alun-alun Kota Serang. Saat itu sedang ada tentara latihan terjun payung.
Kepada kawan-kawannya dia menantang untuk adu keberanian seperti seorang
penerjun payung. Uji nyali itu dilakukan dengan cara loncat dari pohon di
pinggir alun-alun. Siapa yang berani meloncat paling tinggi, dialah yang berhak
menjadi pemimpin di antara mereka. Kecelakaan yang menyebabkan tangan kirinya
harus diamputasi itu tidak membuatnya sedih. Bapaknya menegaskan kepadanya:
“Kamu harus banyak membaca dan kamu akan menjadi seseorang.”
Bersama istrinya Tias Tatanka (seorang
penulis juga) dari Solo, Gola Gong mengelola Rumah Dunia. Impiannya sejak
remaja untuk memiliki gelanggang remaja terwujud dengan didirikannya komunitas
kesenian Rumah Dunia. Komunitas ini berada di atas tanah 1000 meter persegi di
belakang rumahnya di Komplek Hegar Alam, Ciloang Serang, Banten. Komunitas
semacam ini adalah impiannya beserta temannya Toto ST Radik, dan (alm) Rys
Revolta. Bangunannya berupa dua buah perpustakaan anak dan
remaja (pelajar/mahasiswa), panggung pertunjukan, plaza, mushola, toilet, ruang
bermain, dan toko buku. Koleksi buku yang Rumah Dunia miliki sekarang lebih
dari 5.000 judul.
Gola Gong selain sebagai penulis, dia juga
bekerja di RCTI, dengan jam terbang tinggi. Puluhan novel dan skenario telah
lahir dari imajinasi kreatifnya. Tidak sedikit novelnya diangkat menjadi serial
sinetron. Salah satunya PadaMu Kubersimpuh, pernah diputar RCTI sepanjang
Ramadhan 2001. Tidak berbeda jauh.. Seperti Pipit Senja, Gola Gong juga sering
diundang untuk seminar kepenulisan di seluruh Indonesia (yang terbaru di
Magelang). Sekali lagi ketidak sempurnaan tidak menghalanginya untuk tetap
berkarya.
“Barang siapa
bersyukur, maka niscaya akan Ku tambah nikmat-Ku padamu, dan barang siapa kufur
maka sesungguhnya azab Allah sangat pedih.” (QS. Ibrahim : 7).
“Lalu nikmat-Ku yang mana lagi yang kau
dustakan.” Ayat ini disebut berulang-ulang di dalam surat Ar Rahman mengisyaratkan
betapa kita seringkali lupa atau sengaja melupakan hal yang bahkan sekecil apa
pun yang berkenaan dengan diri kita, itu sebenarnya adalah nikmat-Nya untuk
kita. Ayat ini diletakkan di akhir setiap ayat yang menjelaskan nikmat Tuhan
yang diberikan kepada manusia. ‘Seolah-olah’ Tuhan. mempertanyakan kepada kita:
“Nikmat-Ku yang mana yang kamu dustakan?”
Dua tokoh diatas adalah beberapa
inspirator yang bisa kita contoh walaupun hidup dalam ketidak sempurnaan fisik.
Mungkin masih banyak lagi yang bisa menjadi contoh. Namun itu saja sudah cukup
untuk kita instropeksi diri bahwa ada hikmah yang telah Tuhan ciptakan semua
ini.
Semoga kita
bisa menjadikan ketidak sempurnaan yang ada pada diri kita sebagai suatu
kelebihan yang diberikan Tuhan kepada kita. Amin.
---Dari berbagai sumber --- Pengelola TBM
Nurul Fatah Gemawang
nice info makasih banget kak
BalasHapusberita china