Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Senin, 05 November 2012

LEGENDA MRANAK


Oleh : Dwi Hartanto

Tersebutlah di Daerah Timur pulau Jawa sedang terjadi kekacauan, akibat mulai mundurnya kekuasaan majapahit di tanah Jawa, banyak orang-orang dari Timur yang mengungsi mencari tempat yang aman, menghindari kekacauan yang terjadi, di Majapahit sendiri tengah terjadi perang saudara.
Diantara mereka yang mengunsi ke barat (Jawa tengah) ialah Mbah Bening. seorang kepala kampung di daerah timur. Beliau mengajak warga kampungnya untuk mengungsi mencari tempat yang aman, tujuannya adalah daerah Jawa Tengah.
Setelah melakukan perjalanan selama 2 hari sampailah mereka di suatu tempat yang telah ramai, rumah-rumah telah teratur, Mbah Bening sebagai kepala rombongan akhirnya mampir ke Kapala kampung daerah tersebut, dan mengutarakan maksud kedatangannya meminta ijin untuk bermalam di daerah itu. Kepala Kampung tersebut. Saat berbincang-bincang itulah, Kapala Kampung tersebut mengarahkan Mbah Bening untuk terus berjalan sekitar 2 hari lagi ada suatu daerah subur terletak di perbukitan daerah tersebut belum terjamah. Kepala Kampung tersebut meminta Mbah Bening untuk membuka kampung di sana, karena tempatnya yang subur dan airnya yang melimpah. Mbah Bening pun menyetujui saran dari kepala kampung tersebut.
Setelah 2 malam menginap, kemudian melanjutkan perjalanan ke tampat yang disarankan oleh kepala kampung tersebut, sebelum pamit, Mbah Bening meminta Kepala Kampung tersebut untuk menamakan kampungnya “Sumberlawang” yang artinya pintu pembuka untuk Mbah bening mencari daerah baru yang diinginkan..
Mbah Bening pun melakukan perjalanan lagi melewati hutan dan sungai-sungai, dan di beberapa tempat mereka beristirahat untuk memulihkan tenaga dan mengobati mereka yang sakit dalam perjalanan.
Setelah berjalan selama 2 hari sampailah mereka di suatu perbukitan yang subur dan terdapat mata air yang sangat jernih.
 Maka Mbah Bening beserta warga pun segera membuka hutan tersebut, membabati dan mendirikan pemukiman, setelah 3 hari membabat hutan dan mendirikan beberapa pemukiman maka Mbah Bening pun menamakan derah tersebut dengan nama Desa Ngancar, dan Mbah bening kembali dipercaya untuk memimpin kampung tersebut. Kampung tersebut semakin berkembang menjadi kampung yang terkenal.
Tahun demi tahun desa tersebut berkembang penduduknya dan semakin ramai, maka oleh Mbah Bening, Desa tersebut diubah namanya dari Desa Ngancar menjadi desa Mranak, berasal dari kata Moro-moro kepenak. Untuk menjaga agar desa tidak dimasuki oleh orang yang hendak berbuat onar dan rasa syukur Desa Mranak telah berkembang maka Mbah Bening pun mengadakan upacara sedekah bumi dengan menggunakan burung Glatik dan bajing sebagai symbol.
Suatu ketika, ada sekelompok orang dari selatan yang dipimpin oleh Gopang berbuat onar di Desa Mranak, mereka merampas harta dan menganiaya warga, banyak yang ketakutan. Dengan menggunakan keris sakti Mbah Bening bertarung melawan Gopang Mbah Bening dan berhasil mengalahkan serta mengusir mereka keluar dari Mranak. Sampai sekarang konon bekas pertempuran antara Mbah Bening dengan Gopang masih ada.
Setelah memimpin desa selama puluhan tahun, Mbah Bening pun semakin tua umurnya, maka ia merencanakan untuk menyerahkan kepemimpinan kepada anaknya yang pertama bernama Goprak, banyak penduduk desa yang sedih dengan rencana itu, tapi Mbah Bening berusaha memberitahu kepada warga bahwa dirinya telah lanjut, bahwa ia tidak mungkin selamanya memimpin desa itu maka perlu ada pengganti dirinya, ia berencana untuk menepi ke lereng Gunung Ungaran.
Maka sesuai dengan rencana maka Mbah Bening pun menyerahkan kepala desa kepada anaknya Goprak, yang di panggil oleh warga desa menjadi mbah lurah Goprak. Mbah Bening pun memilih menepi ke lereng gunung Ungaran, di sana ia mendirikan sebuah rumah sederhana dan tinggal berdua dengan istrinya.
 Mbah Goprak ini dapat melanjutkan kepemimpinan Mbah Bening, rakyat pun semakin hidup tenteram. Setelah beberapa tahun menjadi kepala desa Mbah Goprak, menderita sakit dan ia berencana menyerahkan kekuasaan kepala desa kepada anaknya Jebuk atau Mbah Jebuk, tapi sebelum menyerahkan kekuasaan, Mbah Goprak meninggal, maka sesuai rencana jabatan kepala desa beralih ke Mbah Jebuk.
Sementara itu Penduduk desa semakin banyak, dan supaya penduduk tidak terlalu banyak, sedangkan tanah untuk bercocok tanam terbatas,  maka di pikirkan untuk membuka pemukiman baru di sebelah selatan Mranak, yang pada saat itu masih berupa hutan belantara. Maka dengan gotong royong maka dibukalah hutan di sebelah selatan Mranak, daerah tersebut kemudian dinamakan Gowong (artinya Gowo Uwong), akhirnya beberapa penduduk desa Mranak pindah ke daerah Gowong, Gowong pun mulai berkembang tapi tetap merupakan daerah di dalam Desa Mranak, akhirnya hutan-hutan di tepi daerah Gowong, mulai dibabati untuk pemukiman dan untuk daerah keamanan. Pemukiman baru ini menjadi berkembang, dan akhirnya dirubah namanya dari Gowong menjadi Dusun Wonorejo (hutan yang makmur),
Setelah berkuasa kurang lebih selama 10 tahun, dan Desa Mranak semakin berkembang dan semakin makmur, akhirnya Mbak Jebuk karena usianya yang telah sepuh akhirnya diganti oleh Anaknya Mbah Tholo. Mbah Tholo ini memiliki kesaktian, dimana ia berhasil membunuh 2 orang harimau yang datang menganggu desa tersebut, kemudian di buang ke tepi jurang, yang sampai sekarang jurang tersebut diberi nama jurang macan. Mbah Tholo sendiri tidak memiliki keturunan, dan pada saat itu di Desa Mranak datang seorang bangsawan dari Keraton Mataram, pada saat itu kekuasaan Jawa mulai pindah ke Mataram, bangsawan ini sangat bijaksana dan merupakan utusan dari Raja Mataram yang datang ke Desa Mranak, dan utusan yang bernama Singowijoyo ini diperintahkan untuk tinggal di Mranak membantu Mbah Tholo memimpin Desa Mranak. Datangnya Singowijoyo ini sangat membantu terutama keamanan desa Mranak menjadi lebih terjamin, dan ia pun dianggap sebagai warga Mranak. Sementara itu Dusun Wonorejo semakin berkembang dan penduduknya pun semakin banyak pendatang banyak berdatangan, bahkan mulai melebihi desa Mranak, bahkan ada beberapa tokoh Dusun Wonorejo mengusulkan agar Mbah Tholo pindah ke Wonorejo, dan menjalankan pemerintahan dari Wonorejo, tapi ditolak oleh Mbah Tholo, menurutnya cikal bakal Wonorejo adalah dari Desa Mranak.
Setelah beberapa tahun memimpin Desa Mranak akhirnya Mbah Tholo meninggal, dan karena tidak adanya keturunan, maka para sesepuh desa berembuk untuk menentukan siapa pengganti Mbah Tholo, dan akhirnya dipilihlah Singowjoyo untuk menggantikan Mbah Tholo, walaupun bukan orang asli Mranak, tetapi karena beliau adalah utusan kerajaan dan sifatnya yang bijaksana dan pandai memimpin, maka dipilihlah Singowijoyo sebagai Kepala Desa Mranak. Jaman kepemimpinan Mbah Singowijoyo inilah pernah terjadi beberapa kejadian, yaitu terjadi gagal panen, dan kekeringan, namun karena pengaturan irigasi yang baik, maka Mbah Singowijoyo berhasil mengatasi masalah tersebut., Juga adanya gangguan dari kelompok begal dari Tlompokan yang selalu mencegah penduduk desa yang akan keluar desa, Pimpinan kelompok tersebut bernama Wirobo menantang Singowijoyo untuk berduel, Mbah Singowijoyo pun menerima tantangan itu, dan terjadilah duel seru antara keduanya, konon duel ini berlangsung selama 2 hari,  maka Singowijoyo dengan tombak saktinya berhasil mengalahkan Wirobo dan kelompoknya,  setelah mengatasi masalah tersebut, penduduk Desa Mranak semakin percaya penuh kepada Mbah Singowijoyo, bahkan setelah ia menjadi kepala Desa, Desa Mranak menjadi desa yang aman, dan makmur, penduduknya pun hidup dengan tenang.
Kepemimpinan Mbah Singowijoyo inilah yang merupakan akhir dari kejayaan Mranak, karena setelah Mbah Singowijoyo wafat, pengganti-penggantinya ternyata kurang berhasil mengelola Desa Mranak, Desa Mranak menjadi mundur, banyak penduduk yang mulai berpindah ke Wonorejo, yang membuat Desa Mranak akhirnya menjadi sepi, maka terjadilan perpindahan pemerintahan desa dari Mranak ke Wonorejo, Maka Wonorejo akhirnya menjadi desa, sedangkan Mranak akhirnya menjadi dusun Mranak sampai sekarang. Sampai sekarang orang Mranak meyakini bahwa meraka adalah keturunan asli dari Mbah Bening, Mbah Goprak, Mbah Jebuk, Mbah Tholo dan Mbah Singowijoyo, dan mempercayai bahwa asal muasal Desa Wonorejo adalah dari Dusun Mranak. Sedangkan mata air yang pertama ditemukan oleh Mbah Bening diyakini sekarang menjadi sendang untuk mandi masyarakat Dusun Mranak yang terletak di pojokan desa menuju Desa Penawangan.
Upacara sedekah desa di Dusun Mranak ini sangat unik, dan jarang dilakukan di desa-desa lain di Kabupaten Semarang. Dalam upacara ini rakyat beramai-ramai mencari bajing dan burung glatik sebagai kelangkapan jalannya  upacara sedekah bumi.
Sedekah Bumi di Dusun Mranak dipercaya telah diadakan semenjak jaman kepemimpinan Mbah Bening yang merupakan cikal bakal pendiri Dusun Mranak. Upacara ini diselenggarakan pada senin Pon, dahulu bulan yang dipakai adalah bulan Jawa yaitu bulan sya'ban, bulan sebelum puasa. Upacara sedekah bumi di Dusun Mranak memeiliki keunikan tersendiri, karena sesajen untuk upacara ini adalah seekor burung Glatik dan bajing, dan keduanya harus dicari pada hari pelaksanaan.
Burung Glatik dalam upacara sedekah bumi di Mranak adalah perlambang pusaka, sedangkan Bajing adalah perlambang dari orang-orang yang berbuat tidak baik atau berbuat onar (bajingan), jadi dengan adanya upacara sedekah bumi adalah untuk mengusir hal-hal yang tidak baik, yaitu dengan adanya Glati (pusaka) yang digunakan mengusir orang jahat (bajing/Bajingan). Hal ini telah dilaksanakan Mbah Bening saat mulai berdatangan orang-orang luar ke Mranak, agar orang-orang yang datang tidak membuat onar.
Pamong Budaya Pringapus

10 komentar:

  1. Padahal ak dr solo berasal dr lasem rembang keturunan mbah bening,,, cerita itu ada sedikit benarnya. Ada pusaka keris mbah bening dr jangkar dampuawang yg masih sisa yg dbawa di solo, yg jaman dulu dibagi2kan 7 bupati jawa timur

    BalasHapus
  2. Nembe ngertos sejarahipun kampung kelahiran...

    BalasHapus
  3. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  4. Hehe baru tau ternyata mranak ada sejarahnya.. ahh kampung halamannya ibu yg selalu bkin kangen.. tiap taun balik ke sini 😁
    Btw, sendang yg di maksud itu yg deket masjid itu bukan sih? Itu kan sendangnya ada banyak yg mana yg sendang pertama?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sendang yg di maksud sendang deket masjid itu.. Dulu sendang itu sumber air satu satunya di desa mranak sebelum ada sendang lainya dan di sendang itu juga pusat kegiatan masyarakat desa mranak. Thks

      Hapus
  5. Kampung tempat aku dilahirkan dan dibesarkan.
    Baru tau sejarahnya dari blog ini.
    Matur nuwun Pak Tri pencerahannya...

    BalasHapus
  6. hemm... layak utk divalidasi cerita ini. suwun.

    BalasHapus
  7. Jenenge mbahku kok rak ono Yo... Mbah sampen garwone Mbah Mustawi kepala desa mranak ayo..... Dicritake to

    BalasHapus
  8. Aku keturunan asli dari desa meranak krna kedua orang tua asli sana sedulur2 masih adaa, cuman saya dari kecil hidup di jakarta. Saya ingin menulusuri nasab keluarga saya apakah ketemu nasab nya sampai mbah bening..

    Mhon admin bantu untuk menelusuri scara mendalam tentang sejarah ini

    BalasHapus