Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Minggu, 04 November 2012

Mendesain ulang Komik anak-anak sebagai sarana perangsang minat baca


Oleh: Santoso Mahargono

Cerita bergambar atau yang sering disebut komik hingga saat ini masih menjadi bahan bacaan yang setengah hati bagi anak-anak. Dalam keluarga, orang tua masih banyak yang beranggapan bahwa komik adalah bacaan bodoh, tidak ilmiah, serta membuat kecanduan. Hampir setali tiga uang, demikian pula terjadi di Perpustakaan, rupanya banyak Perpustakaan masih menganggap Komik bacaan yang kesekian di sajikan kepada pemustaka. Sah saja memang menganggap demikian, karena tidak dipungkiri banyaknya komik yang membanjiri toko buku saat ini memang tidak semuanya layak dinikmati secara isi oleh anak-anak. Terutama karya terjemahan yang masih banyak ditemui kalimat kasar dan vulgar. Ditambah pula dengan gambar yang kadang aman-aman saja di awal, tetapi di tengah ada sisipan yang tidak pantas bagi anak-anak.
Namun, kenikmatan membaca komik tidak dapat dipungkiri oleh penikmat komik sebagai surga imajinasi mereka. Kalau Jorge Luis Borges (1899-1986) sebagai sastrawan Argentina menganggap Perpustakaan sebagai surga, maka penikmat komik menganggap bacaan komik sebagai surga yang nyata. Bagaimana tidak, pembaca dapat dibawa kedalam gambar, turut serta merasakan adegan demi adegan yang tergambar di dalamnya. Konon, melambungnya imajinasi itulah yang mengakibatkan kecanduan di kalangan pembaca komik, khususnya anak-anak, sehingga cenderung melupakan bacaan tekstual.
Memang sangat beralasan jika akhirnya banyak yang melontarkan pendapat akan “ketabuan” bacaan komik bagi anak-anak. Terlebih karakteristik komik yang didominasi visualisasi, dimana visualisasi adalah sarana penyampaian pesan yang sangat mudah dipahami, mudah ditiru dan tak akan luntur walau menginjak usia dewasa. Kekuatan yang sedemikian hebatnya inilah mesti diarahkan pada rel minat baca. Materi komik bukan sebagai entitas tunggal yang dapat mewakili materi komik lainnya, sehingga jika ditemukan materi yang berisi sarkasme, adegan pornografi, ungkapan vulgar lainnya tidak serta merta bisa diperlakukan bagi komik yang lainnya. Agaknya mitos dan pendapat tentang negatifnya komik sebaiknya saat ini mulai digeser. Khususnya komik yang memiliki materi ilmiah, sains, ketrampilan serta subyek yang bersifat praktis lainnya. Bukan hanya melihat sebelah mata tentang ketabuannya saja, tetapi bagaimana mengupayakan bahwa apa yang terkandung dalam pesan komik tersebut dapat tersampaikan dengan baik, dan memiliki bobot materi yang dapat dipertanggungjawabkan.
Lalu, apakah hal ini berakibat pada menghambat karya komik terjemahan? tentu tidak, karena sebenarnya yang disasar adalah minat bacanya. Dengan menggiring minat baca, tentu penekanan pada materi/isi komik sangat menentukan. Pangsa komik terjemahan biarkan pada golongan usia dewasa, sedangkan anak-anak perlu pendekatan khusus. Banyak komponen yang mestinya terlibat, disana ada orang tua, pendidik, budayawan, seniman dan tentu Pustakawan, tidak ketinggalan penerbit dan toko buku. Membentuk dan menghantarkan anak-anak pada kegiatan membaca dapat tertolong dengan bacaan komik. Stimulan dari visualisasi pada komik diharapkan dapat mengarahkan anak-anak tidak hanya pada bacaan yang bersifat visual, tetapi juga pada bacaan tekstual. Sehingga pergerakan minat baca juga dilampui sesuai level usia anak-anak.
Berat memang mengarahkan bacaan, karena minat adalah aspek psikis pada setiap manusia. Apalagi minat manusia tumbuh setelah melalui proses mengetahui, mendengar, melihat dan merasakan. Secara sederhana minat baca adalah potensi untuk membaca secara sukarela. Pada anak-anak, potensi pembentukan minat baca dapat didampingi orang tua, namun jika sebaliknya, lepas dari pendampingan orang tua, maka ada sisi lain yang seharusnya dapat didesain ulang pada bacaan komik, sehingga secara sukarela dan mandiri membaca komik sebagai kemudahan dalam memahami pesan yang diwakili visual dengan tetap tidak melupakan bacaan tekstual. Tentu dengan tetap berpedoman bahwa pendampingan orang tua adalah yang disarankan dalam kegiatan membaca untuk anak-anak. Materi komik dapat diarahkan bukan hanya pada khayalan tokoh tertentu ataupun kisah fiksi sebagaimana selama ini banyak ditemukan. Peran penerbit, seniman komik dan pengarang dalam menerbitkan komik mulai dituntut kesana. Banyak hal yang dapat di kemukakan dalam materi/isi komik, misalnya tentang Sains, Ketrampilan, Komputer, Akhlak, Lingkungan, Sejarah dan Budaya.
Variasi materi komik untuk anak-anak yang tidak bertumpu pada ketokohan fiksi belaka sudah seharusnya mulai dipikirkan ulang, seperti di negara Jepang, materi komik anak-anak sudah berkembang pada ranah pelajaran, misalnya komik matematika, fisika, kimia, biologi dan kondisi lingkungan sekitar. Harapannya para pembaca yang masih anak-anak tersebut selain memiliki minat baca juga mendapatkan informasi yang benar-benar menunjang kegiatannya, yaitu belajar. Praktis dengan demikian secara perlahan pergeseran ke arah bacaan tekstual tidak memberatkan anak-anak. Jika dirasa beratpun masih ada pilihan bacaan yang 50% tekstual dan 50% bergambar untuk mengantisipasi beratnya beralih dari bacaan visual ke tekstual. Semoga peluang yang masih besar ini mampu ditangkap oleh beberapa komponen diatas, pengarang, seniman komik, penerbit dan pustakawan sebagai tantangan membentuk bacaan yang sehat dan membentuk pembaca yang tidak “kecanduan” pada fiksi belaka.  
Pustakawan Kantor Perpustakaan Umum dan Arsip Daerah Kota Malang

1 komentar: