Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Senin, 05 November 2012

SYA’BANAN


 Oleh : Mafud Fauzi

Menurut sahibul hikayat, sekitar abad ke 15, konon ada Seorang Pangeran dari Kerajaan Mataram yang ke dua, bernama Danang Sutawijaya yang berkelana (Dolan/Sobo)
Setelah menempuh perjalanan jauh dan berbulan-bulan lamanya, sampailah Sang Pangeran di sebuah hutan lebat. Karena dianggap sebagai tempat yang cocok, Sang Pangeran memutuskan untuk bertapa, bermunajat memohon petunjuk kepada Tuhan Yang Maha Kuasa. Kelak di kemudian hari, tempat pangeran untuk bertapa dinamai dengan sebutan “PROJO” (Bhs Jawa-Projo=sebuah singgasana untuk seorang raja). Saat ini tempat tersebut  menjadi pasar dan dinamai Pasar Projo, terletak di Kecamatan Ambarawa.
   Demikianlah Sang Pangeran mulai menyiapkan diri, mensucikan diri dengan harapan dalam pertapaannya mendapatkan petunjuk dari Sang Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Kuasa. Setelah genap pertapaannya, Sang Pangeran mendapatkan apa yang diinginkannya. Dalam petunjuk itu, Sang Pangeran diharuskan untuk mencari dan mandi di “Tuk Pitu” (Tujuh Sendang/sungai)
   Dengan kesaktiannya, Sang Pangeran mencari keberadaan tuk pitu tersebut. Mulailah Sang Pangeran mencari tuk pitu ke utara. Dalam pencarian ke utara tersebut,  Pangeran menemukan satu sendang yang jernih. Pangeranpun kemudian mandi diri di sendang tersebut. Karena sudah lama sejak bertapa Pangeran belum membersihkan diri, terlihat kotoran dan debu di kulitnya yang mengelupas (Jawa-nglotok=mengelupas). Oleh Sang Pangeran, sendang pertama yang dijumpai tersebut diberi nama SENDANG KLOTOK (terletak di Bawen). Dari cerita di atas terkandung sebuah ajaran bahwa kalau kita sudah membulatkan tekad  mencari sebuah harapan, kita harus siap untuk mensucikan diri membuang semua keburukan  yang ada dalam fikiran maupun  jiwa kita.
   Setelah cukup membersihkan diri, Sang Pangeran meneruskan perjalanannya untuk mencari sendang yang kedua. Dari sendang yang pertama, Sang Pangeran berjalan  ke arah selatan. Setelah beberapa saat dilalui, terlihatlah mata air yang memancar tiada pernah berhenti. Mulailah Sang Pangeran merendamkan tubuhnya ke dalam sendang, menenangkan diri di dalam hasrat dan harapannya. Sambil berendam, Sang Pangeran merenung, mereka-reka, memahami arti dari semua yang dijalani. Akhirnya terbukalah jalan fikiran Sang Pangeran. Karenanya sendang tempat Sang Pangeran berendam diberi nama SENDANG SUMBER (terletak di Ambarawa). Sumber apabila diterjemahkan adalah merupakan cikal bakal, awalan, pertanda bahwa manusia dalam hidupnya harus selalu memiliki tujuan, karena tanpa tujuan dan harapan, manusia pada dasarnya telah tiada atau mati.
   Setelah sekian lama berendam di Sendang Sumber, Sang Pangeran memutuskan melanjutkan perjalanan menuju arah barat. Dalam perjalanannya, Sang Pangeran melihat dua buah sendang dengan mata air yang berlimpah ruah tiada batasnya sampai-sampai airnya tumpah kesana-kemari. (Dua sendang yang berbeda yang teraliri sumber mata air yang tak terbatas memberikan sebuah gambaran  apabila manusia mendasari sebuah tujuan dengan tidak ada batasnya, maka manusia tersebut akan menjadi serakah, tamak, dan tidak bisa mengendalikan diri. Dua buah mata air yang terpisah menggambarkan lelaki dan perempuan yang memiliki ego dan tujuan yang berbeda). Oleh Sang Pangeran kedua sumber mata air tersebut ditutup dan dikendalikan dengan Gong agar airnya tidak sampai kemana-mana. (terkandung maksud, ego dan tujuan yang tanpa batas dari manusia baik laki-laki maupun perempuan yang disimbolkan dengan dua mata air yang terpisah ditutup, dan ditahan agar semua nafsu, ketamakan dan keserakahan bisa dikendalikan). Sendang tersebut oleh Sang Pangeran diberi nama SOCO LANANG dan SOCO WEDOK (Jawa-soco = mata, lanang=laki-laki, wedok=perempuan)
   Setelah mandi di Kali Soco, Sang Pangeran meneruskan perjalanannya. Sampailah Sang Pangeran pada sendang ke empat, yaitu dua buah sungai yang bermuara dan menuju satu arah. Pangeranpun kembali   membersihkan   diri  di  sendang  tersebut.  Oleh  Sang   Pangeran, sendang tersebut diberi nama KALI PETUK (Bhs Jawa-kali=sungai, petuk=bertemu/nyambung). (Adapun makna tersirat dari hal tersebut adalah adanya dua perbedaan, dua buah individu, dua buah karakter laki-laki dan perempuan apabila telah menemukan arah yang sama dan diikat dalam satu mahligai pernikahan maka  tujuan bersama menuju sebuah kebahagiaan akan tercapai).
   Setelah dirasa cukup, Sang Pangeran melanjutkan perjalanan lagi menuju ke Sendang ke lima. Singkat cerita Sang Pangeran sampai di suatu tempat yang sangat tenang dengan sebuah mata air tertutupi pohon Bulu yang besar. Pohon Bulu tersebut begitu besarnya sehingga daunnya pun sangat rimbun menaungi sendang tersebut. Segera Sang Pangeran melaksanakan niatnya membersihkan tubuhnya di sendang tersebut. Sesuai dengan pohon yang melindungi sendang tersebut, Sang Pangeran akhirnya menamai sendang tersebut dengan SENDANG BULU. (tempat yang tenang dengan Pohon Bulu yang rimbun menaungi sendang bisa dimaknai bahwa dalam hidup manusia, sifat melindungi, dan mengayomi antar sesama dengan tanpa pamrih akan membuat kehidupan manusia menjadi lebih tenang dan bahagia).
   Tak berapa lama setelah Sang Pangeran mandi, Sang Pangeran akhirnya melanjutkan perjalanannya untuk mencari sumber mata air yang ke enam. Setelah sekian lama berjalan, Sang Pangeran mendapati seorang laki-laki  yang sedang  membersihkan kudanya yang terlihat begitu besar, kekar, dan kuat di sebuah sungai. Tak beberapa lama, kuda lelaki gagah tersebut sakit dan akhirnya mati. Betapa sedih dan berdukanya laki-laki tersebut. Setelah laki-laki pemilik kuda tersebut pergi, Sang Pangeranpun memutuskan membersihkan tubuhnya yang sudah kotor. Untuk mengingat peristiwa yang baru saja terjadi, Sang Pangeran memberi tetenger sungai tersebut dengan KALI AJI. (Jawa-aji=kekuatan/mukjijat). Adapun intisari dari perjalanan Sang Pangeran ke Sendang/kali Aji dapat disimpulkan bahwa betapapun kuat, gagah dan hebatnya seseorang, seseorang tersebut tidak akan kuasa melawan takdir dari Sang Hyang Widi, Tuhan Yang Maha Kuasa. Hari demi hari Sang Pangeran melaksanakan petunjuk sesuai dalam pertapaannya. Dari sendang pertama sampai sendang ke enam sudah dilaluinya. Sampailah  Sang  Pangeran  pada mata air ke tujuh.
Tak terbayangkan betapa bahagianya Sang Pangeran melihat sungai ketujuh yang ditemuinya. Rasa capek dan badan yang lelah berusaha dihilangkan Sang Pangeran dengan mandi dan merendamkan tubuhnya di sungai yang sangat jernih tersebut. Tak terasa Sang Pangeran terlelap. Dalam tidurnya Sang Pangeran melihat putri cantik dengan memakai kemben dan klenting, mempesona dan kharismanya memikat hati. Sang Pangeranpun tak kuasa menahan diri dan memberanikan diri mendekati putri tersebut.  Belum sempat mendekati, Sang Pangeran terjaga. Walau dalam mimpi, Sang Pangeran merasa begitu jelas dan nyata peristiwa yang baru saja ia lalui. Segera saja Sang Pangeran menyelesaikan mandinya. Sesuai dengan petunjuk mimpinya, Sang Pangeran berusaha menemukan sang putri dengan berjalan ke arah utara. Berkat kegigihan dan keuletan Sang Pangeran, sang putri berhasil ditemukan. Karena pesona dan kharisma yang begitu memikat dan perasaan yang telah bertaut, sang putri dipersunting Sang Pangeran dan menjadi ISTRI AMPEAN. Adapun tempat asal putri tersebut lama kelamaan seiring dengan perjalanan waktu oleh penduduk sekitar dinamai NGAMPIN  (berasal dari kata ampean).
 Adapun sungai terakhir yang merupakan sungai atau mata air ke tujuh tempat Sang Pangeran mandi di beri nama KALI CONDONG (Bhs Jawa-kali = sungai,  condong=terikat=tertarik). Sang Pangeran memberi nama nama Condong karena ketertarikannya akan seorang putri dan men-condong-kan dirinya untuk menghabiskan waktu lajangnya menuju ke jenjang pernikahan.
Seiring dengan perjalanan waktu, dari mulut ke mulut, akhirnya masyarakat mulai mempercayai bahwa Kali Condong (Sungai Condong) adalah suatu tempat yang bisa menjadi sarana pembersihan diri bersuci bagi kawula muda-mudi untuk menuju ke jenjang pernikahan. Adapun lelaku yang harus dilalui oleh pemuda ataupun pemudi adalah membersihkan diri lewat mata air Condong dan diakhiri dengan membuang pakaian dalam ke Sungai Condong. Setelah ikhtiar di Sungai Condong tersebut selesai, pemuda atau pemudi yang menginginkan supaya cepat mendapatkan pasangan tersebut mengakhiri ikhtiarnya dengan membeli dan makan kue SERABI/SRABI di Ngampin. (Jawa-Serabi=dibersihkan, Srabi/Rabi=menikah) Adapun  makna yang terkandung dari ritual ini adalah bahwa untuk mencapai maksud yang diinginkan dalam hal ini menuju jenjang pernikahan, seseorang dalam mencapai tujuannya harus mensucikan hati dan jiwanya dengan tulus, berharap kepada Tuhan agar maksud mulia tersebut bisa terkabul. Adapun ritual Sya’banan ini masih sering dilakukan setiap tahunnya, terutama pada tanggal ke 13, 14, dan 15 di Bulan Sya’ban. 
Demikian sekelumit cerita tentang Sya’banan yang berkembang di Kecamatan Ambarawa dan Kecamatan Jambu. Sampai saat ini   masyarakat sekitar sendang maupun sungai di tujuh mata air tersebut diatas selalu menjaga dan merawatnya. Setiap saat masyarakat sekitar selalu menggunakan air di sendang maupun sungai tersebut untuk kebutuhan sehari-hari, baik untuk mandi, mencuci, maupun untuk kebutuhan ternaknya. Setiap tahunnya masyarakat selalu mengadakan ritual adat dengan cara mengeluarkan sedekah berupa uncetan dan doa bersama kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan dilanjutkan dengan membersihkan sendang dan sungai. Kegiatan ini telah menjadi bagian dari upaya menjaga kearifan lokal budaya yang ada Kabupaten Semarang. Adapun kue Serabi, kini telah menjadi sumber kehidupan sebagian  masyarakat Ngampin Ambarawa dan menjadi kuliner khas yang dapat diperoleh setiap saat.
*Pamong Budaya Kab Semarang

1 komentar: