Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Minggu, 04 November 2012

Satu Rumah, Satu Rak Buku


Oleh. AGUS M. IRKHAM

Berdasarkan riset lima tahunan Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS), yang melibatkan siswa SD, Indonesia berada pada posisi 36 dari 40 negara yang dijadikan sampel. Indonesia hanya lebih baik dari Qatar, Kuwait, Maroko, dan Afrika Selatan.
Artinya kemampuan membaca dan memahami bacaan pada anak-anak SD di Indonesia masih sangat rendah. Akibatnya kemampuan berkomunikasi (menggunakan bahasa) baik lesan maupun tulisan pun sama rendahnya. Itu sebab, saat ini mendapati anak-anak SD yang mampu menggunakan bahasa Indonesia secara baik dan benar, entah dalam bentuk lesan, terutama tulisan bak mencari jarum di tumpukan jerami.
Apa pasal kemampuan membaca dan memahami bacaan anak-anak SD di Indonesia masih sangat rendah?
Salah satunya adalah karena mereka sejak mula tidak akrab dengan bacaan, khususnya yang dalam bentuk buku. Pengalaman pra membaca tidak diperkenalkan pada mereka sejak usia dini. Perkenalan pertama mereka dengan buku adalah berupa buku pelajaran. Pengalaman yang justru membuat mereka “trauma”, lantaran jumlah halaman yang tebal dan isi yang melulu tulisan.
Pertanyaan pentingnya, kapan dan dimana anak-anak baiknya diperkenalkan dengan pengalaman pra membaca tersebut?
Jawabannya tentu saja sejak dini. Sejak anak berusia 0 (nol) tahun. Bahkan sebelum itu, yakni saat di dalam kandungan. Caranya dengan membacakan isi bacaan. Lazim disebut dengan metode read aloud (membaca lantang). Setelah si bayi lahir, langkah memperkenalkan pengalaman pra membaca berikutnya adalah dengan mendekatkan buku pada anak dari sisi fisiknya.
Buku diakrabkan kepada anak sebagai melulu benda, layaknya mainan. Tak soal kalau akhirnya buku menjadi rusak, banyak halamannya yang rusak, dan di tiap pojok halaman geripis, lantaran sering dicecap. Harapannya saat sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, anak-anak akan lebih mudah dipersuasif untuk mencintai buku. Keterampilan membaca, memahami dan menceritakan kembali isi bacaan menjadi sesuatu yang mudah buat mereka. Hampir-hampir bersifat taken for granted (alamiah) belaka.
Pengalaman pra membaca itu sudah barang tentu harus dilakukan mulai dari dalam rumah tiap-tiap keluarga. Maka kehadiran perpustakaan rumah/keluarga (home library) menjadi sesuatu yang tidak bisa diandaikan lagi.
Apa sebab, kehadiran home library penting untuk melancarkan program pengenalan pra membaca pada anak-anak?
Kegiatan (memperkenalkan pengalaman pra) membaca harus dibuatkan rumah yang nyaman, ungkap Yasraf Amir Piliang dalam esei panjang berjudul Dunia Menulis dan Menulis Dunia (2011). Artinya, harus diciptakan ruang-waktu untuk aktivitas membaca(kan) buku. Bila ruang-waktu untuk membaca itu sangat terbatas, disebabkan berbagai kesibukan maka harus diciptakan ruang-waktu tersebut. Diperlukan ruang (rumah) untuk membaca, dan diperlukan waktu untuk melakukannya.
Properti dan literasi
Studi Bank Dunia menyebutkan, kelas menengah Indonesia saat ini (sensus 2010) 56,5 persen dari 237 juta penduduk. Kalau pada 2003 berjumlah 81 juta jiwa, kini menjadi 134 juta jiwa atau secara agregat, selama tujuh tahun tumbuh 65 persen.
Masih berdasarkan studi Bank Dunia, kaum menengah baru di Indonesia telah menyumbang sekitar 70 persen pertumbuhan ekonomi nasional. Pertumbuhan itu didorong oleh konsumsi yang tergolong sangat besar. Untuk belanja pakaian dan alas kaki saja sudah mencapai Rp 113,4 triliun, rumah tangga dan jasa—termasuk di dalamnya adalah membeli rumah—Rp 194,4 triliun, dan belanja luar negeri, terutama di Singapura Rp 59 triliun.
Besaran statistik di atas merupakan potensi (pasar dan keuntungan) tersendiri buat pebisnis. Terutama pengembang perumahan (developer-property). Kesempatan dan peluang buat pengembang untuk membangun hunian yang tidak saja ramah lingkungan tapi juga peka terhadap perkembangan kebutuhan penghuninya. Salah satu bentuk kebutuhan tersebut adalah berupa keinginan agar rumah yang dihuni dapat menjadi tempat pertama memperkenalkan pengalaman pra membaca pada anak-anak.
Untuk itu, pengembang bisa membangun rumah yang dilengkapi dengan fasiitas ruang untuk perpustakaan keluarga. Paling kurang satu rumah, satu rak buku, lengkap dengan buku-buku kepengasuhan (parenting) dan buku bacaan anak yang bisa dijadikan modal koleksi awal. Fasilitas perpustakaan keluarga ini sangat dibutuhkan, wabilkhusus oleh golongan menengah yang masuk ketegori The Aspirator. Berdasarkan hasil riset Center for Middle Class Consumer (Majalah SWA edisi 08/XXVIII/12-25 April 2012), The Aspirator dideskripsikan sebagai kelas menengah yang idealis, memiliki tujuan, serta menjadi influencer terhadap komunitasnya. Kalangan ini umumnya hadir dari kalangan profesional mapan yang sangat melek terhadap informasi, serta peduli terhadap kondisi sosial, budaya, ekonomi dan politik.
Jika ada yang mengatakan bahwa perubahan sosial digerakkan oleh kelas menengah, maka kelas menengah ketegori The Aspirator inilah yang memiliki pontensi besar menjadi agen sekaligus pelaku perubahan tersebut.
Kepedulian dan pelaku perubahan itu—dalam konteks peningkatan reading literacy—adalah kesediaan mereka untuk membuka akses yang selebar-lebarnya pada komunitas dan masyarakat luas untuk bisa membaca dan meminjam buku yang mereka punyai. Meminjamkan buku yang menjadi koleksi perpustakaan keluarga untuk dijadikan para orangtua lainnya memperkenalkan pengalaman pra membaca pada anak-anaknya.
Jadi upaya masif meningkatkan kemampuan membaca, memahami bacaan dan menggunakan bahasa (reading literacy) pada anak-anak, selain melalui program satu rumah satu rak buku, adalah dengan mengetuk pintu kesadaran kelas menengah agar mereka mau berbagi bacaan. 
Kepala Departemen Penelitian dan Pengembangan Pengurus Pusat Forum TBM

1 komentar: