oleh : MUFTI F.
“Pinjam
buku apalagi kali ini, Ki?” tanya Mas Hadi, salah satu penjaga perpustakaan
yang sering dikunjungi Kiki.
“Ini, nih, dari kemaren pengen
banget pinjem bukunya Dewi ‘Dedew’ Rika yang judulnya Anak Kos Dodol, Mas!”
jawab Kiki sembari menyodorkan buku yang ia maksud.
“Tumben banget pinjemnya buku-buku
karya penulis Indonesia. Biasanya kamu lebih suka pinjem buku-buku terjemahan.”
Mas Hadi menatap judul-judul buku yang dipinjam Kiki dengan tampang heran.
“Kiki emang jarang pinjem buku
karya penulis-penulis Indonesia, tapi bukan berarti Kiki alergi trus ‘gak mau
nyentuh buku-buku itu,” kilah Kiki sewot.
Hadi menyibukkan dirinya dengan
computer di hadapannya. Cukup sulit baginya untuk tidak tersenyum atau
melontarkan kata-kata yang bisa membuat wajah pengunjung perpustakaannya itu
membara karena malu.
“Sebenernya anak-anak di sekolah
pada bahas buku ini, Mas! Kata mereka bukunya bagus, lucu, gokil, de el el deh
pokoknya.” Hadi melirik Kiki sewaktu gadis enam belas tahun di hadapannya itu
melanjutkan, “Karena keseringan baca bukunya Sherlock Holmes daripada buku-buku
karangan anak negeri Kiki jadi satu-satunya kambing congek di kelas.”
“Oh, jadi intinya kamu ‘gak pengen
jadi satu-satunya orang primitive di sekolah!?”
Kiki mendengus sebal, tapi tidak
membantah.
“Yah, apapun lah alasanmu, tapi
yang pasti jangan sampe lupa mengembalikan bukunya tepat waktu, ya?” ujar Hadi
mewanti-wanti. “Seminggu dari sekarang. Tanggal 18 Januari 2012.”
“Sip!” Kiki mengacungkan kedua ibu
jarinya sebelum memasukkan kedua buku yang ia pinjam ke dalam tasnya.
Sesampainya di rumah, Kiki membuang
tasnya ke atas sofa dan tanpa melepas seragamnya, kaos kakinya dan bahkan
sepatunya masih membalut kakinya, gadis itu langsung masuk ke ruang makan
karena terpancing bau harum yang ditimbulkan oleh nasi goreng lezat favoritnya.
Tidak sampai lima menit, Kiki sudah menyodorkan piringnya yang kosong untuk
diisi ulang.
“Jangan lupa hari ini kamu les
bahasa Inggris!” ujar Bunda sembari mengisi kembali piring Kiki.
“Capek, Bunda!” keluh Kiki.
“Mandi pasti bisa menyegarkanmu
lagi, Sayang!” rayu Bunda sembari mendaratkan sebuah ciuman penuh kasih di
kening putri semata wayangnya itu.
Berhari-hari kemudian.
“Ki, nih buku yang Kak Dewi pinjem
kemaren.” Dewi ngeloyor masuk ke dalam kamar Kiki tanpa mengetuk pintu dulu.
Sebagai tanda protes, Kiki tidak menggubris kakak perempuannya itu dan terus
melanjutkan kegiatannya menjadwal ulang buku-buku pelajarannya esok hari.
“Tumben banget kamu baca buku-buku
kayak gitu. Duh, adeknya kakak udah dewasa rupanya.” Sembari mengatakan itu
Dewi mencolek dagu Kiki.
“KAK DEWIIIIII!” jerit Kiki
mengikuti suara ribut ketepak-ketepuk sandal rumah Dewi yang dibawa berlari
menjauhi Kiki.
Kiki masih sewot sewaktu memandang
buku yang baru saja dikembalikan kakaknya. Kiki membaca judul buku itu dalam
hati. “Cara membuat cupcake enak dan lezat.”
“Inikan buku perpus?!” Secara
otomatis Kiki membuka sampul bagian belakang buku itu, tempat dimana secarik
kertas bertuliskan, ‘TANGGAL PENGEMBALIAN’ tertempel di sana. “Tanggal 18.
Masih sehari lagi. Tapi, ngomong-ngomong buku yang satu lagi mana, ya?” gumam
Kiki sembari celingukan.
“Pasti dipinjem Mas Riko, nih!”
ucap Kiki yakin. Riko adalah kakak laki-lakinya. Umurnya tiga tahun di bawah
Dewi dan dua tahun di atas Kiki. Serta merta Kiki keluar dari kamarnya dan
menuju kamar sebelah, kamar kakak laki-lakinya.
“Mas Riko balikin ‘gak buku Kiki!”
todong Kiki tanpa ampun selewat satu langkah dari ambang pintu kamar Riko, yang
harus dibayar dengan menyakitkan di wajah Kiki. Tanpa Kiki sadari ia telah
menabrak punggung Ayahnya yang tengah berdiri di ambang pintu kamar Riko
sembari mengawasi putranya itu membersihkan kamarnya.
“Mas Riko sedang ngapain, Yah?”
tanya Kiki sembari melongok ke dalam kamar kakak laki-lakinya itu.
“Sekali-kali Ayah pengen lihat
kamar Masmu bersih dan rapi. Kamar, kok kayak kapal yang baru diterjang ombak
sama angin ribut saja!” sungut Ayah Kiki dengan logat Jawanya.
Kiki menaikkan sebelah alisnya,
kaget sekaligus bingung. “Biasanya kan Ayah yang selalu ngebelain Mas Riko kalo
bunda nyuruh Mas Riko beresin kamarnya! Kenapa sekarang tiba-tiba Ayah pengen
Mas Riko bersihin kamarnya?” celetuknya.
“Gara-gara kamarnya yang berantakan
itu, leher Ayah hampir patah!” ujar Ayah Kiki garang ke arah Riko yang ikut
mendengarkan omelan ayahnya sembari mencibir. “Rapikan sampai bersih, kalo
perlu sampai pagi!” sembur Ayah Kiki, melempar buku ke tengah ruangan sebelum
pergi meninggalkan kamar Riko.
Saat itulah mata Kiki tertumbuk
pada buku yang baru saja dilempar ayahnya. Kiki merenggut buku itu dan lari
membabi buta ke arah kamarnya sebelum dijadikan asisten bersih-bersih kakaknya.
Keesokan harinya, dengan wajah
tanpa beban Kiki berjalan masuk ke dalam gedung perpustakaan daerah. Ia duduk
di hadapan Hadi dengan wajah penuh senyum. “Mas, mau balikin buku yang
kemaren!”
“Boleh, dendanya 10.400 Rupiah,
ya!?” ucap Hadi dengan tampang biasa pula.
Kiki langsung mengerenyitkan
dahinya, bingung. “Kok didenda, sih, Mas? Kan, Kiki balikinnya tanggal 18!”
sungut Kiki tak terima.
“Apa,
18 Januari? Itu, sih, bulan kemaren! Sekarang udah 18 Februari, Ki!” ujar Hadi
sembari menyodorkan kalendernya.
*Anggota Perpustakaan tinggal di
Mapagan Ungaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar