Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Rabu, 31 Juli 2013

18 FEBRUARI 2012

oleh : MUFTI F.

“Pinjam buku apalagi kali ini, Ki?” tanya Mas Hadi, salah satu penjaga perpustakaan yang sering dikunjungi Kiki.
“Ini, nih, dari kemaren pengen banget pinjem bukunya Dewi ‘Dedew’ Rika yang judulnya Anak Kos Dodol, Mas!” jawab Kiki sembari menyodorkan buku yang ia maksud.
“Tumben banget pinjemnya buku-buku karya penulis Indonesia. Biasanya kamu lebih suka pinjem buku-buku terjemahan.” Mas Hadi menatap judul-judul buku yang dipinjam Kiki dengan tampang heran.
“Kiki emang jarang pinjem buku karya penulis-penulis Indonesia, tapi bukan berarti Kiki alergi trus ‘gak mau nyentuh buku-buku itu,” kilah Kiki sewot.
Hadi menyibukkan dirinya dengan computer di hadapannya. Cukup sulit baginya untuk tidak tersenyum atau melontarkan kata-kata yang bisa membuat wajah pengunjung perpustakaannya itu membara karena malu.
“Sebenernya anak-anak di sekolah pada bahas buku ini, Mas! Kata mereka bukunya bagus, lucu, gokil, de el el deh pokoknya.” Hadi melirik Kiki sewaktu gadis enam belas tahun di hadapannya itu melanjutkan, “Karena keseringan baca bukunya Sherlock Holmes daripada buku-buku karangan anak negeri Kiki jadi satu-satunya kambing congek di kelas.”
“Oh, jadi intinya kamu ‘gak pengen jadi satu-satunya orang primitive di sekolah!?”
Kiki mendengus sebal, tapi tidak membantah.
“Yah, apapun lah alasanmu, tapi yang pasti jangan sampe lupa mengembalikan bukunya tepat waktu, ya?” ujar Hadi mewanti-wanti. “Seminggu dari sekarang. Tanggal 18 Januari 2012.”
“Sip!” Kiki mengacungkan kedua ibu jarinya sebelum memasukkan kedua buku yang ia pinjam ke dalam tasnya.
Sesampainya di rumah, Kiki membuang tasnya ke atas sofa dan tanpa melepas seragamnya, kaos kakinya dan bahkan sepatunya masih membalut kakinya, gadis itu langsung masuk ke ruang makan karena terpancing bau harum yang ditimbulkan oleh nasi goreng lezat favoritnya. Tidak sampai lima menit, Kiki sudah menyodorkan piringnya yang kosong untuk diisi ulang.
“Jangan lupa hari ini kamu les bahasa Inggris!” ujar Bunda sembari mengisi kembali piring Kiki.
“Capek, Bunda!” keluh Kiki.
“Mandi pasti bisa menyegarkanmu lagi, Sayang!” rayu Bunda sembari mendaratkan sebuah ciuman penuh kasih di kening putri semata wayangnya itu.
Berhari-hari kemudian.
“Ki, nih buku yang Kak Dewi pinjem kemaren.” Dewi ngeloyor masuk ke dalam kamar Kiki tanpa mengetuk pintu dulu. Sebagai tanda protes, Kiki tidak menggubris kakak perempuannya itu dan terus melanjutkan kegiatannya menjadwal ulang buku-buku pelajarannya esok hari.
“Tumben banget kamu baca buku-buku kayak gitu. Duh, adeknya kakak udah dewasa rupanya.” Sembari mengatakan itu Dewi mencolek dagu Kiki.
“KAK DEWIIIIII!” jerit Kiki mengikuti suara ribut ketepak-ketepuk sandal rumah Dewi yang dibawa berlari menjauhi Kiki.
Kiki masih sewot sewaktu memandang buku yang baru saja dikembalikan kakaknya. Kiki membaca judul buku itu dalam hati. “Cara membuat cupcake enak dan lezat.”
“Inikan buku perpus?!” Secara otomatis Kiki membuka sampul bagian belakang buku itu, tempat dimana secarik kertas bertuliskan, ‘TANGGAL PENGEMBALIAN’ tertempel di sana. “Tanggal 18. Masih sehari lagi. Tapi, ngomong-ngomong buku yang satu lagi mana, ya?” gumam Kiki sembari celingukan. 
“Pasti dipinjem Mas Riko, nih!” ucap Kiki yakin. Riko adalah kakak laki-lakinya. Umurnya tiga tahun di bawah Dewi dan dua tahun di atas Kiki. Serta merta Kiki keluar dari kamarnya dan menuju kamar sebelah, kamar kakak laki-lakinya.
“Mas Riko balikin ‘gak buku Kiki!” todong Kiki tanpa ampun selewat satu langkah dari ambang pintu kamar Riko, yang harus dibayar dengan menyakitkan di wajah Kiki. Tanpa Kiki sadari ia telah menabrak punggung Ayahnya yang tengah berdiri di ambang pintu kamar Riko sembari mengawasi putranya itu membersihkan kamarnya.
“Mas Riko sedang ngapain, Yah?” tanya Kiki sembari melongok ke dalam kamar kakak laki-lakinya itu.
“Sekali-kali Ayah pengen lihat kamar Masmu bersih dan rapi. Kamar, kok kayak kapal yang baru diterjang ombak sama angin ribut saja!” sungut Ayah Kiki dengan logat Jawanya.
Kiki menaikkan sebelah alisnya, kaget sekaligus bingung. “Biasanya kan Ayah yang selalu ngebelain Mas Riko kalo bunda nyuruh Mas Riko beresin kamarnya! Kenapa sekarang tiba-tiba Ayah pengen Mas Riko bersihin kamarnya?” celetuknya.
“Gara-gara kamarnya yang berantakan itu, leher Ayah hampir patah!” ujar Ayah Kiki garang ke arah Riko yang ikut mendengarkan omelan ayahnya sembari mencibir. “Rapikan sampai bersih, kalo perlu sampai pagi!” sembur Ayah Kiki, melempar buku ke tengah ruangan sebelum pergi meninggalkan kamar Riko.
Saat itulah mata Kiki tertumbuk pada buku yang baru saja dilempar ayahnya. Kiki merenggut buku itu dan lari membabi buta ke arah kamarnya sebelum dijadikan asisten bersih-bersih kakaknya.
Keesokan harinya, dengan wajah tanpa beban Kiki berjalan masuk ke dalam gedung perpustakaan daerah. Ia duduk di hadapan Hadi dengan wajah penuh senyum. “Mas, mau balikin buku yang kemaren!”  
“Boleh, dendanya 10.400 Rupiah, ya!?” ucap Hadi dengan tampang biasa pula.
Kiki langsung mengerenyitkan dahinya, bingung. “Kok didenda, sih, Mas? Kan, Kiki balikinnya tanggal 18!” sungut Kiki tak terima.
“Apa, 18 Januari? Itu, sih, bulan kemaren! Sekarang udah 18 Februari, Ki!” ujar Hadi sembari menyodorkan kalendernya.
*Anggota Perpustakaan tinggal di  Mapagan Ungaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar