Oleh
: Ardie Tyastama
Setiap
kali pulang dari anjangsana ke teman-temannya sesama penggiat buku, jantung Rakai berdebar-debar tak menentu.
Biasanya akan terjadi pertengkaran mulut dengan istrinya. Bagai prajurit
Palestina yang sedang melintas jalur Gaza ia berjingkat-jingkat menghampiri
ambang pintu rumahnya sendiri.
“Biasa
Bu, tadi ada salah satu Pengelola yang curhat lama ke Ayah tentang ragam kegiatan untuk Bulan
Ramadhan.” jawab Rakai mencoba menurunkan tensi pasangannya.
“Lho
Yah, apa Ayah akan begini terus ? Hanya jalan mutar-muter tak ada hasil jelas.
Malah keluar duit terus”, komentar istrinya pantang mundur.
“Gara-gara
obsesi Ayah yang sok pahlawan, berlagak intelek, anak kita malah jadi korbannya.
Uang jajannya selalu Ayah pakai untuk jalan-jalan” semprot istrinya.
“Percayalah,
kalau kita di jalan yang benar, yang hilang akan diganti Tuhan” nasehat Rakai.
“Diganti
Tuhan, diganti Tuhan. Bosan Tuhan mendengarnya” tangkis istrinya.
“Hai,
Yah!” sambungnya “Hidup kita jadi semrawut ini, bukan karena salah Tuhan, tahu?
Tetapi gara-gara kau tidak gubris masukan-masukan saya. Rasain akibatnya!”
***
Obsesi Rakai jauh-jauh hari sebelum
menempuh hidup dalam bahtera keluarga adalah bikin perpustakaan. Dan obsesi
tersebut maujud ketika anak pertamanya lahir. Konon ini dianggapnya sebagai
berkah. Anaknya lahir dengan selamat dan perpustakaan keluarga pun berdiri. Kiranya
berkah tidak berhenti sampai disitu. Selang tiga tahun kemudian anak keduanya
lahir, Rakai pun dipercaya oleh koleganya para penggiat buku dan perpustakaan
serta Dinas Pendidikan Kabupaten untuk menduduki jabatan sebagai Ketua Forum TBM—sebuah
organisasi mitra Dinas Pendidikan yang menjaring komunikasi antar penggiat
Taman Baca dan Perpustakaan Keluarga.
Pertama kali
menjamah jabatan sebagai Ketua Forum, Rakai terperangah melihat berjubel deretan
masalah yang tiada putus-putusnya memenuhi laci mejanya. Sempat terlintas di
hatinya bahwa TBM itu ternyata bukanlah sebutan Taman Baca Masyarakat,
melainkan Tempat Banyak Masalah. Tempat para penganggur yang enggan dan gagal
berwirausaha menumpahkan uneg-uneg yang sudah kadung menggumpal dalam batok
kepalanya. Jelas dalam perkara ini sulit baginya untuk memahami bagaimana
kehidupan yang demikian itu bisa diselenggarakan dalam waktu yang panjang tanpa
pernah kecapaian.
Setelah
membaur beberapa bulan dengan para pengelola TBM dan aktif berselancar di group
facebook Forum Taman Bacaan Masyarakat, ia baru menyadari bahwa sekian masalah
yang simpang-siur itu senyatanya sebagai upaya mati-matian para pengelola TBM
untuk memperkokoh keberadaannya. Tentu saja di antara mereka terdapat sejumlah
orang yang gagal menemukan pijakannya di
altar jagad literasi, tetapi malu berat untuk mengakui kekalahannya.
Tidak
mengherankan ada sejumlah TBM yang hanya papan nama saja sementara isi
ruangannya tak satu pun buku yang terpajang. Ada lagi pengelola TBM yang
bernyali tinggi suka menjaring proyek sana sini untuk menaikkan citranya di
tengah masyarakat, sementara isi otak kepalanya kosong. Namun demikian yang
lazim ditemui oleh Rakai adalah para pengelola yang masih terbata-bata secara
budaya. Pijakan ekonominya minim. Mereka inilah para idealis yang masih setia
dan kokoh memelihara obsesinya untuk meningkatkan minat baca masyarakat, meski
pijakan sosialnya lemah. Mereka cinta buku, cinta pengetahuan dan hendak
sama-sama berbagi buat lingkungan. Sajadah yang mereka gelar adalah
pengabdiannya pada ilmu pengetahuan.
Kalau sudah
sampai disini, hati Rakai tak tahan dan geram dengan para pelancong proyek.
Lebih ngilu lagi kala bersinggungan dengan aparat Pemerintah (Dinas Pendidikan).
Dinas yang menaungi dan paling bertanggung jawab pada upaya mencerdaskan
kehidupan bangsa ini seakan menutup mata dan telinga dengan kegigihan para
penggiat literasi. Rakai sering berselisih paham perihal kuantitas dan kualitas
TBM dengan Dinas. Rakai menilai Dinas kurang adil dalam menjalankan tugas
pembinaan terhadap TBM. Baginya Dinas hanya kenal TBM yang dibentuk oleh PKBM
ketimbang TBM-TBM bentukan para aktivis buku dan pecinta ilmu.
Suatu saat
Rakai ada kesempatan untuk beraudiensi dengan Perpusda Kabupaten. Meluncur
pertanyaan yang cukup mengganggunya dari lisan Perpustakaan ketika itu, “sejauhmana andil Dinas Pendidikan terhadap
kinerja dan perjalanan TBM selama ini?” Pertanyaan itu jelas mengganggunya,
karena ia merasa Dinas Pendidikan tidak pernah atau memang belum berbuat untuk
kelangsungan TBM.
Program TBM
makin kesini memang makin diminati masyarakat, tetapi sekali lagi apalah arti
sebuah program kalau tanpa didukung dengan pembangunan infrastruktur. Rakai
berkeyakinan hasilnya hanya akan menghambur-hamburkan uang rakyat. Program TBM
yang dikeluarkan oleh Dinas Pendidikan, penyelenggara dan pengelolaannya
diserahkan kepada masyarakat. TBM rata-rata dikelola oleh masyarakat yang masih menyisakan rasa peduli pada
pengembangan belajar. Individu atau kelompok masyarakat yang hendak mengambil
“proyek” TBM mengajukan diri ke Pemerintah melalui Dinas Pendidikan. Ijin
penyelenggaraan TBM turun, sang individu atau kelompok ini lantas mengelola
kegiatan perpustakaan.
Lantas apa
peran Pemerintah? Kemana Dinas Pendidikan yang mestinya peka dengan pembodohan
masal di masyarakat? Sementara Individu atau kelompok masyarakat berjibaku
melayani dahaga masyarakat lantaran
keringnya wawasan tanpa patah arang. Pejabat publik hanya asyik
menyelenggarakan festifal, karnaval, maupun lomba TBM kreatif yang hanya
tertuju pada para pengelola yang sudah kadung akrab. Tetapi para pengelola yang
jauh dari akses informasi, hanya bisa gigit jari. Rakai menyebut mereka-mereka
ini sebagai relawan sejati, karena siang malam tanpa batasan waktu setia
melayani masyarakat untuk mendapatkan kemudahan
mengakses buku. Lagi-lagi pejabat publik
jarang mengetuk pintu rumah
mereka. Sehingga bisa dipastikan para pemangku jabatan itu tidak tahu menahu
kondisi keseharian sang relawan yang mesti terus-menerus memperbarui bahan
bacaan. Kucuran dana yang pernah dijanjikan tak kunjung datang, sementara
kebutuhan pasokan buku tak bisa ditunda. Padahal jelas yang bakal memetik nama
harum adalah para pemegang kendali ini, bukan individu atau kelompok masyarakat
yang saban hari mesti pintar-pintar berhitung dan berbagi dengan kebutuhannya
sendiri.
Terlepas
adanya pengelola-pengelola “nakal” yang hanya memperebutkan “piala bergilir”
dana bantuan rintisan, fakta di lapangan, tidaklah sedikit jumlah para relawan
yang masih teguh dan setia pada hati nurani. Merekalah yang kiranya layak
menyandang gelar sebagai sang pengabdi kehidupan. Ketimbang para penyelenggara
eksekutif yang kurang menyentuh nurani masyarakat.
Pendek kata,
proyek Taman Bacaan Masyarakat hanya akan menjadi isapan kosong, sekiranya
pemerintah tidak serius. Anggapan sebagian kalangan bahwa budaya membaca
masyarakat kita masih rendah, kebutuhan akan gagasan dan wawasan masyarakat
relatif minim, kiranya hanya akan memelihara keadaan dimana pemerintah akan
terus-menerus memboroskan uang negara. Rakai meyakini bahwa sesungguhnya masyarakat
kita ini tidak malas untuk mengais wawasan. Justru para pejabat yang acapkali
abai dengan pentingnya belajar. Sekali lagi, Pemerintah hanya akan memubadzirkan
miliaran rupiah, jika belum ada perubahan pola pikir, paradigma, tabiat dan
perilaku, baik di tingkat elit maupun massa. Pola pikir bahwa buku adalah ruh
atau spirit bangsa. Buku merupakan kebutuhan pokok dalam rangka menjaga
kesinambungan gagasan. Nah, moga kita cepat insaf untuk tidak memelihara
kekeliruan sejarah.
***
Akhirnya Rakai
hanya ngungun berdiam seorang diri. Hatinya luruh kalau musti terus-terusan
berselisih paham dengan istrinya. Sembari menatap langit, benaknya berseliweran
pertanyaan “mungkinkah akan ada
dana insentif untuk menghidupi keseharian Pengelola Taman Baca ?” Entahlah
!?
Ketua Forum TBM Kab.
Semarang 2013 – 2018
Pemilik Rumah Baca Ken Maos
Lerep Ungaran
Tidak ada komentar:
Posting Komentar