Oleh : Asih
Winarto, S.I.Kom.
Undang-undang
Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, terutama Pasal 22
mengisyaratkan bahwa setiap penyelenggara pemerintahan wajib hukumnya untuk
menyelenggarakan perpustakaan. Penyelenggara pemerintahan dimaksud adalah mulai
dari pemerintah pusat sampai pada tingkat pemerintah terendah, yaitu pemerintah
desa/kelurahan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005, desa adalah
kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang
untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan
asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem
Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perpustakaan Desa
yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa memiliki peranan yang sangat
strategis untuk mengembangkan minat baca dan juga gerakan literasi di
masyarakat. Mengapa demikian? Karena Pemerintah Desa merupakan unit
pemerintahan terkecil bersinggungan langsung dengan rakyat. Selain itu, lebih
dari 60 % masyarakat tinggal di pedesaan. Keberadaan Perpustakaan Desa yang
cukup strategis ini merupakan sarana yang efektif untuk membumikan budaya
literasi. Perpustakaan Desa yang selama ini kurang diperhatikan, meski telah
diatur penyelenggaraannya dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 28
Tahun 1984 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun
2001 harus diposisikan sebagai penggerak budaya baca dan literasi informasi
yang utama. Perpustakaan desa sebagai institusi informasi memiliki tugas dan
peluang besar untuk berperan serta aktif dalam upaya mencerdaskan kehidupan
bangsa. Dengan koleksi bahan pustaka yang dikelola dan fasilitas yang tersedia,
perpustakaan dapat mendorong masyarakat untuk meningkatkan akses informasi
dalam rangka peningkatan kecerdasan religi, intelektual, kognisi, afeksi, dan
kinetik masyarakat desa.
Gerakan Literasi Informasi
Literasi
dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan
masyarakat, literasi informasi mempunyai arti kemampuan memperoleh dan
menggunakan informasi untuk kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kepala
Perpustakaan Nasional Hj. Sri Sularsih dalam Rakor dengan tema “Menuju Desa
Cerdas : Optimalisasi Pemberdayaan Perpustakaan Desa”, menyampaikan bahwa salah satu ukuran kemajuan
suatu bangsa adalah bagaimana tingkat kecerdasan masyarakat sampai di pelosok
desa. (Berita Pustaka, 4/9/2012). Masyarakat yang cerdas informasi mampu menjawab tantangan zaman. Sebaliknya,
yang tidak literate menjadi lemah. Masyarakat yang lemah tidak akan mampu
merespon tantangan dan rintangan di masa depan. Arnold J Toynbee dalam buku A Study of History menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban
diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku peradaban untuk merespon tantangan yang
sedang berkembang. Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban
terhadap tantangan yang berkembang, maka
bisa dipastikan akan mengalami kemunduran atau bahkan akan kembali lagi ke zaman
kegelapan. Peradaban yang berliterasi selalu ditandai dengan kepedulian yang
tinggi terhadap perpustakaan. Perpustakaan menjadi sarana transportasi literasi
ketika suatu peradaban mencapai puncak keemasan. Sejarah telah mencatat,
bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang peradaban manusia
tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perpustakaan.
Membudayakan
literasi informasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu
keniscayaan. Proses pembangunan dapat diartikan juga sebagai proses membangun
literasi bangsa. Hal ini dapat ditempuh dengan membangun literasi dalam
berbagai bidang kehidupan, termasuk juga literasi informasi di dunia pendidikan.
Literasi informasi di dunia pendidikan menghendaki adanya proses belajar
mengajar yang berorientasi pada peningkatan minat baca peserta didik. Peningkatan
minat baca peserta didik dengan mengajak peserta didik berpikir dan memahami
materi pelajaran, bukan sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat.
Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian
rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel
lama dalam pikiran. Dalam hal ini Marion Lawrence mengemukakan hasil
penelitiannya bahwa anak hanya mampu mengingat 10 % dari yang didengarnya, 50 %
dari yang dilihat/baca, 70 % dari yang dikatakannya, dan 90 % dari yang
dilakukannya. Dengan demikian, peserta didik dan guru didorong untuk memiliki
minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan.
Membaca dan
melek informasi memang belum menjadi prioritas utama masyarakat kita. Mereka
lebih senang bertanya dan mendengarkan daripada membaca dan berpikir dalam
menghadapi persoalan tertentu. Menurut Douglas Mc Gregor, Teori X yang
merupakan teori tradisional dapat diasumsikan bahwa masyarakat umumnya tidak
suka membaca. Mereka umumnya mau membaca jika ada momentum tertentu seperti
musim ujian sekolah, membuat skripsi, ataupun lomba karya ilmiah. Membaca bagi
mereka merupakan beban tersendiri dan belum menjadi kebutuhan pokok. Mereka
lebih suka mendapatkan informasi dari media non baca seperti radio dan
televisi.
Peran Perpustakaan Desa
Perpustakaan
desa sebagai garda terdepan gerakan literasi informasi dapat kiranya mengambil
peran melalui berbagai kegiatan yang dikemas dalam bentuk pengembangan layanan
yang diberikan kepada masyarakat. Layanan tidak sebatas pada layanan meminjam
dan mengembalikan buku, yang terkesan seperti rental buku akan tetapi dapat
diarahkan pada pengembangan layanan yang lain, misalnya saja melalui kegiatan
keaksaraan fungsional dalam bentuk produk layanan bimbingan menulis, membaca,
dan kursus keaksaraan dalam upaya ikut serta mensukseskan pemberantasan buta
aksara.
Selain itu,
dapat juga melakukan kegiatan pelatihan ketrampilan yang diperoleh dari
aktivitas membaca buku di perpustakaan desa. Dalam hal ini, Perpustakaan desa
perlu didesain sebagai pusat pembelajaran dan ketrampilan, sehingga dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk menambah ketrampilan dan kemampuan
untuk beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang tahan
dalam menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan zaman. Perpustakaan desa juga
dapat dikembangkan sebagai pusat seni budaya. Aktivitas tradisi budaya
lokal, seperti kegiatan pranoto coro, menari, dan kesenian yang lainnya dapat dilakukan
di perpustakaan desa dalam upaya ikut serta melestarikan budaya daerah.
Kemudian,
dalam upaya mengenalkan literasi sejak dini kepada anak-anak generasi penerus
bangsa dapat dilakukan kegiatan layanan kelompok bermain yang juga dapat
dipadukan dengan layanan kesehatan ibu dan anak di perpustakaan. Dengan
demikian seorang anak akan mengenal perpustakaan dengan segala koleksi yang
dimiliki termasuk didalamnya yaitu buku. Melalui aktivitas ini diharapkan anak
akan memiliki ketertarikan, dan juga kecintaan terhadap buku sejak masih kecil.
Bukankah menumbuhkan minat baca jauh lebih penting dari pada mengajarkan anak
membaca di usia yang masih terlalu dini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar