Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Rabu, 31 Juli 2013

Peran Perpustakaan Desa dalam Gerakan Literasi Informasi

Oleh : Asih Winarto, S.I.Kom.

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, terutama Pasal 22 mengisyaratkan bahwa setiap penyelenggara pemerintahan wajib hukumnya untuk menyelenggarakan perpustakaan. Penyelenggara pemerintahan dimaksud adalah mulai dari pemerintah pusat sampai pada tingkat pemerintah terendah, yaitu pemerintah desa/kelurahan. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2005, desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Perpustakaan Desa yang diselenggarakan oleh Pemerintah Desa memiliki peranan yang sangat strategis untuk mengembangkan minat baca dan juga gerakan literasi di masyarakat. Mengapa demikian? Karena Pemerintah Desa merupakan unit pemerintahan terkecil bersinggungan langsung dengan rakyat. Selain itu, lebih dari 60 % masyarakat tinggal di pedesaan. Keberadaan Perpustakaan Desa yang cukup strategis ini merupakan sarana yang efektif untuk membumikan budaya literasi. Perpustakaan Desa yang selama ini kurang diperhatikan, meski telah diatur penyelenggaraannya dalam Instruksi Menteri Dalam Negeri  Nomor 28 Tahun 1984 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 3 Tahun 2001 harus diposisikan sebagai penggerak budaya baca dan literasi informasi yang utama. Perpustakaan desa sebagai institusi informasi memiliki tugas dan peluang besar untuk berperan serta aktif dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan koleksi bahan pustaka yang dikelola dan fasilitas yang tersedia, perpustakaan dapat mendorong masyarakat untuk meningkatkan akses informasi dalam rangka peningkatan kecerdasan religi, intelektual, kognisi, afeksi, dan kinetik masyarakat desa.
Gerakan Literasi Informasi
Literasi dapat diartikan sebagai kemampuan membaca dan menulis. Dalam konteks pemberdayaan masyarakat, literasi informasi mempunyai arti kemampuan memperoleh dan menggunakan informasi untuk kesejahteraan hidup bermasyarakat. Kepala Perpustakaan Nasional Hj. Sri Sularsih dalam Rakor dengan tema “Menuju Desa Cerdas : Optimalisasi Pemberdayaan Perpustakaan Desa”,  menyampaikan bahwa salah satu ukuran kemajuan suatu bangsa adalah bagaimana tingkat kecerdasan masyarakat sampai di pelosok desa. (Berita Pustaka, 4/9/2012). Masyarakat yang cerdas informasi  mampu menjawab tantangan zaman. Sebaliknya, yang tidak literate menjadi lemah. Masyarakat yang lemah tidak akan mampu merespon tantangan dan rintangan di masa depan. Arnold J Toynbee dalam buku A Study of History menyebutkan, bahwa kebangkrutan sebuah peradaban diakibatkan oleh ketidakmampuan pelaku peradaban untuk merespon tantangan yang sedang berkembang. Ketika sebuah bangsa tidak mampu lagi memberikan jawaban terhadap tantangan  yang berkembang, maka bisa dipastikan akan mengalami kemunduran atau bahkan akan kembali lagi ke zaman kegelapan. Peradaban yang berliterasi selalu ditandai dengan kepedulian yang tinggi terhadap perpustakaan. Perpustakaan menjadi sarana transportasi literasi ketika suatu peradaban mencapai puncak keemasan.  Sejarah telah mencatat, bahwa perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sepanjang peradaban manusia tidak dapat dilepaskan dari keberadaan perpustakaan.
Membudayakan literasi informasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan suatu keniscayaan. Proses pembangunan dapat diartikan juga sebagai proses membangun literasi bangsa. Hal ini dapat ditempuh dengan membangun literasi dalam berbagai bidang kehidupan, termasuk juga literasi informasi di dunia pendidikan. Literasi informasi di dunia pendidikan menghendaki adanya proses belajar mengajar yang berorientasi pada peningkatan minat baca peserta didik. Peningkatan minat baca peserta didik dengan mengajak peserta didik berpikir dan memahami materi pelajaran, bukan sekedar mendengar, menerima, dan mengingat-ingat. Setiap unsur materi pelajaran harus diolah dan diinterpretasikan sedemikian rupa sehingga masuk akal. Sesuatu yang tidak masuk akal tidak akan menempel lama dalam pikiran. Dalam hal ini Marion Lawrence mengemukakan hasil penelitiannya bahwa anak hanya mampu mengingat 10 % dari yang didengarnya, 50 % dari yang dilihat/baca, 70 % dari yang dikatakannya, dan 90 % dari yang dilakukannya. Dengan demikian, peserta didik dan guru didorong untuk memiliki minat baca yang cukup tinggi dengan memanfaatkan perpustakaan.
Membaca dan melek informasi memang belum menjadi prioritas utama masyarakat kita. Mereka lebih senang bertanya dan mendengarkan daripada membaca dan berpikir dalam menghadapi persoalan tertentu. Menurut Douglas Mc Gregor, Teori X yang merupakan teori tradisional dapat diasumsikan bahwa masyarakat umumnya tidak suka membaca. Mereka umumnya mau membaca jika ada momentum tertentu seperti musim ujian sekolah, membuat skripsi, ataupun lomba karya ilmiah. Membaca bagi mereka merupakan beban tersendiri dan belum menjadi kebutuhan pokok. Mereka lebih suka mendapatkan informasi dari media non baca seperti radio dan televisi.
Peran Perpustakaan Desa
Perpustakaan desa sebagai garda terdepan gerakan literasi informasi dapat kiranya mengambil peran melalui berbagai kegiatan yang dikemas dalam bentuk pengembangan layanan yang diberikan kepada masyarakat. Layanan tidak sebatas pada layanan meminjam dan mengembalikan buku, yang terkesan seperti rental buku akan tetapi dapat diarahkan pada pengembangan layanan yang lain, misalnya saja melalui kegiatan keaksaraan fungsional dalam bentuk produk layanan bimbingan menulis, membaca, dan kursus keaksaraan dalam upaya ikut serta mensukseskan pemberantasan buta aksara.
Selain itu, dapat juga melakukan kegiatan pelatihan ketrampilan yang diperoleh dari aktivitas membaca buku di perpustakaan desa. Dalam hal ini, Perpustakaan desa perlu didesain sebagai pusat pembelajaran dan ketrampilan, sehingga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat desa untuk menambah ketrampilan dan kemampuan untuk beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang tahan dalam menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan zaman. Perpustakaan desa juga dapat dikembangkan sebagai pusat seni budaya. Aktivitas tradisi budaya lokal, seperti kegiatan pranoto coro, menari, dan kesenian yang lainnya dapat dilakukan di perpustakaan desa dalam upaya ikut serta melestarikan budaya daerah.
Kemudian, dalam upaya mengenalkan literasi sejak dini kepada anak-anak generasi penerus bangsa dapat dilakukan kegiatan layanan kelompok bermain yang juga dapat dipadukan dengan layanan kesehatan ibu dan anak di perpustakaan. Dengan demikian seorang anak akan mengenal perpustakaan dengan segala koleksi yang dimiliki termasuk didalamnya yaitu buku. Melalui aktivitas ini diharapkan anak akan memiliki ketertarikan, dan juga kecintaan terhadap buku sejak masih kecil. Bukankah menumbuhkan minat baca jauh lebih penting dari pada mengajarkan anak membaca di usia yang masih terlalu dini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar