DARI KEBATAN HINGGA KRADENAN
Tutur Tinular Sejarah Desa Kradenan
Desa ini tergolong desa yang
cukup tua, ini terbukti dengan sering ditemukannya barang-barang kuno
dibeberapa lokasi. Seperti alat-alat rumah tangga perhiasan dan senjata yang
terpendam. Juga terdapat kuburan 2 yang tidak diketahui siapa yang dimakamkan
disitu, masayarakat setempat menyebutnya “Kuburan Budha”.
Yang jelas, ketika masa berpindahnya ibu
kota Kerajaan Mataram dari Pleret (Kota Gede) ke Kartosuro, desa ini sudah ada,
bahkan masyarakat setempat ikut ambil bagian dalam pembangunan Kedaton (Istana
Keraton Kartosuro). Sebagian dari kebutuhan batubata (bata merah) untuk
keperluan pembangunan keraton diambil dari desa ini. Tempat pembuatan batu bata
tadi, masyarakat menyebutnya Kartosuran (Tosuran), yang terletak di dusun
Kluwihan. Sedangkan Tobongan tempat
pembakarannya masih terlihat bekasnya. Penduduk setempat menyebutnya dengan
nama Secandi, dan menganggapnya
tempat itu tempat keramat. Tidak seorangpun yang berani mengambil batu-batu
bata yang masih tersisa disitu walau jumlahnya cukup banyak.
Ada cerita unik yang berkembang
dimasyarakat, bahwa konon cara membawa batubata dari Secandi sampai Kartosuro
dengan cara ulung-ulungan tidak
dengan diusung atau dimuat dalam pedati, kuda beban atau alat angkut-angkut
yang lain. Barangkali maksud sebenarnya dari kata ulung-ulungan tadi adalah diusung secara estafet, dari desa satu ke
desa sebelahnya, kemudian orang-orang didesa sebelah tadi membawanya sampai ke
desa berikutnya, begitu seterusnya, sehingga akhirnya sampai di Kartosura.
Ada cerita lain tentang batu
bata tersebut. Di desa sebelah (Dusun Kadisongo) terdapat batu bata ytang
tercecer/ tertinggal dann anehnya sampai saat ini tidak ada seorangpun yang
berani mengambil ataupun memindahkannya, apalagi menganggunya.
Sebagai hadiah atas jasanya
(berpartisipasi dalam pembangunan Kedaton) kemudian dinyatakan sebagai tanah
perdikan atau Siti Mardiko yaitu
daerah yang dibebaskan dari kewajiban membayar pajak/upeti, dengan nama Kebatan (sumber yang lain, sejak semula
desa ini sudah bernama Kebatan).
Selain nama Tosuran nama-nama
lain seperti Pringgoloyo, Rangsangpati merupakan pertanda bahwa desa Kebatan
banyak berhubungan dengan kerajaan, atau setidaknya sering/pernah dikunjungi
pejabat-pejabat dari Keraton. Setelah selesainya pembangunan Keraton Kartosuro
tidak banyak diketahui tentang Desa Kebatan, barangkali tidak ada
peristiwa-peristiwa penting yang perlu diingat-ingat dan diceritakan selain
kejadian-kejadian rutin dalam masyarakat seperti yang kebanyakan terjadi di
desa-desa lainnya. Hingga kemudian datang serombongan bangsawan.
Konon kedatangan mereka di desa
ini karena melarikan diri setelah terdesak dalam perang (perang Diponegoro).
Sebagian dari mereka kemudian menetap di Kebatan dan sebagian yang lain
melanjutkan perjalanannya. Ada diantara mereka yang menetap di desa Udanwuh dan
sebagian lagi tinggal di Boyolali. Salah seorang dari mereka yang menetap di
desa Kebatan adalah RM. Wiryo Widjoyo yang kemudian diangkat menjadi Demang
/Lurah di Kebatan/ Beliau adalah putra dari RM. Tjokro Nagoro, Bupati Lasem.
RM. Tjokro Nagoro adalah menantu dari KGPAA Mangku Nagoro I atau yang terkenal
dengan Julukan Pangeran Sambernyowo yang dimasa mudanya bernama RM. Said. Dalam
buku silsilah yang diterbitkan putra Mangkunegaran disebut bahwa RM. Wiryo
Widjoyo adalah Demang Siti Mardiko Kebatan. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada
saat itu desa Kebatan masih merupakan tanah perdikan.
Sejak kapan Desa ini termasuk
daerah jajahan Belanda tidak diketahui persisnya. Kebatan merupakan Wilayah Guberment. Hal itu dapat dilihat dengan
adanya tempat yang disebut dengan nama Pelandan
karena dahulu merupakan tempat tinggal /rumah orang belanda (sekarang di:
komplek SDN Kradenan 01). Diperkirakan wilayah Kebatan dahulu hanya meliputi
dusun-dusun/dukuh Kulon, Jurang, Tengahan, Kluwihan, Karang, Kebatan Kidul, dan
Gender. Baru setelah diadakannya pembagian wilayah penarikan pajak dusun-dusun
Kedesen dan Kalikendang gabung atau digabungkan dengan Kebatan. Kedesen semula
merupakan kelurahan sendiri, sedangkan Kali Kendang selain tempatnya berdekatan
juga namanya ada kemiripan dengan nama-nama pedukuhan yang lain yang berdekatan
seperti Kalisat, Kalipanggang, Kaliwungu. Adapun Dusun Penturan merupakan tanah
pemukiman baru (Pentur artinya tegal) jadi Penturan semula adalah tanah
tegalan.
RM. Wiryowidjoyo dan keluarganya
tinggal disebuah komplek diwilayah Desa Kebatan dan orang menyebutnya Kradenan
dari kata Kra-Raden–an (tempat para
raden/bangsawan). Bahkan sampai sekarang keturunan dari RM. Wiryowidjoyo biasa
menyebut beliau dengan sebutan Mbah Raden sedangkan orang lain menyebutnya Kyai
Raden.
Dari sebutan tersebut, lama-lama wilayah dusun
krajan yang meliputi Penturan, Kulon Jurang, Tengahan, Kluwihan, dan Karang
terkenal dengan nama Kradenan, yang selanjutnya menjadi nama kelurahan (desa)
tinggal Kebatan Kidul saja yang sampai sekarang masih tetap bernama Kebatan,
namun tidak ada Kebatan yang lain seperti Kebatan Lor, Kebatan wetan ataupun
Kebatan Kulon dan tinggal beberapa orang tua disekitar desa Kradenan saja yang
sampai saat ini menyebut Desa Kradenan dengan nama Kebatan.
Ada beberapa peristiwa penting
pada awal-awal kemerdekan yang perlu dicatat antara lain:
1. Pada saat jatuhnya kota Salatiga
ke tangan Kompeni Belanda (1947), desa Kradenan kebanjiran pengungsi yang
terdiri dari orang-orang Tiong Hoa/Cina.
2. Tahun 1948 ketika terjadi
peristiwa pemberontakan PKI Muso (Madiun) desa Kradenan didatangi sejumlah
tentara dari Divisi Siliwangi. Maksud kedatangan mereka untuk mencari sisa sisa
dari anak buah Muso yang diperkirakan sembunyi di Kradenan atau di desa-desa
sekitar.
3. Pada saat agresi militer Belanda
yang ke-2 (1948-1949) bupati Semarang (Soemardjito) beserta staf dan jajarannya
semula mengungsi di Desa Pager karena merasa kurang aman kemudian pindah ke
Dusun Gumukredjo (Desa Udanwuh) pada saat itu Bupati Soemardjito mondok dirumah
Simun baru beberapa hari berada di Gumuk redjo kemudian pindah lagi ke Desa
Kradenan.
4. Cukup lama mereka tinggal di
Kradenan hampir selama 1 tahun. Setelah keadaan benar-benar aman mereka kembali
ke Semarang. Sayangnya tidak banyak yang diketahui siapa saja para pejabat yang
ada di desa ini, kecuali Bupati Soemardjito yang kala itu mondok di Rumah
Soekromo (P.Jimun) dan dua orang anggota polisi Rahmad dan Mandono yang berada
di rumah RM. Martodisastro, barangkali mereka sengaja merahasiakan nama dan
kedudukannya karena alasan keamanan terutama anggota tentaranya. Atau mungkin
karena banyaknya pengungsi yang berada di daerah ini sehingga sulit untuk dikenali.
Selain itu, kecuali peristiwanya
sudah berlangsung cukup lama juga penduduk Kradenan yang diperkirakan banyak
berhubungan dengan mereka banyak yang sudah meningggal seperti RM. Wirosoekarto
lurah desa Kradenan pada saat itu dan mendiang Marto Hardjono yang rumahnya
dipergunakan menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten. Dengan keberadaan Bupati dan
Staf beserta dengan jajarannya dalam waktu yang cukup lama maka pusat
pemerintahannyapun untuk sementara berada di Desa Kradenan, adapun yang
dijadikan sebagai Kantor Kabupaten adalah rumah Almarhum Marto Hardjono yang
konon juga sebagai tempat tinggal Komandan Tentara dan sejumlah tentara.
Itulah tadi beberapa peristiwa
diantara banyak peristiwa-peristiwa yang terjadi di masa Revolusi fisik. Dari
berbagai peristiwa tersebut menunjukkan betapa besar dan loyalitas kesetiaan
warga kepada Pemerintah/Negara. Bahkan hal itu telah dibuktikan sejak jaman
kerajaan (Karatosuro hingga Jaman kemerdekaan NKRI)
Tidak semua pengungsi suka
tinggal di rumah orang-orang terpandang
dan berada. bahkan banyak diantara mereka yang lebih suka tinggal di
rumah penduduk biasa dan miskin, barangkali karena alasan keamanan juga
terutama orang- orang penting. Seperti almarhum Soikromo bukan orang yang
tergolong berkecukupan, masyarakat sekitar dengan sukarela mengumpulkan bahan
–bahan makanan sumbangan dari tertangganya, kemudian diserahkan kepada beberapa
orang yang rumahnya ketempatan pengungsi.
Sebenarnya masih banyak
peristiwa-peristiwa lain yang terjadi di Desa Kradenan pada saat itu seperti pernah dibukanya
sekolah darurat SMP yang diprakarsai oleh almarhum Soemanro
(dari Desa Pagar) bersama rekan rekannya sesama mahasiswa yang kebetulan saat
itu tidak ada kegiatan perkuliahan karena keadaan tidak memungkinkan.
Belum sempat menikmati hidup
tenang karena perang telah selesai masyarakat sudah dibuat ketakutan oleh
gerombolan MMC (Merapi Merbabu Complex) pimpinan Maryunani, seorang tentara
yang terkena rasionalisasi.
Baru saja kekacauan yang
ditimbulkan oleh segerombolan MMC lewat, kemudian disusul kekacauan baru oleh
anggota DI/TII. Selain merampok dan merampas harta penduduk, mereka juaga
membakar serta merusak rumah dan apa saja. Walaupun tingkat kerusakan yang
ditimbulkan tidak separah yang terjadi
di desa Papringan tetapi keadaan tersebut membuat penduduk menjadi sangat
ketakutan. Perbuatan anggota DI/TII sama sekali tidak sesuai dengan nama mereka
yang mengaku sebagai pejuang yang berbasis agama
Dari berbagai pengalaman diatas
ternyata ada juga hikmahnya bagi warga desa Kradenan. Karena merasa senasib dan
sepenanggungan, peristiwa-peristiwa tersebut semakain mempertebal unsur
kebersaman mereka. Bahwa betapapun besarnya kesulitan yang dihadapi akan dapat
terselesaikan apabila diatasi bersama sama. Demikian juga dalam membangun desanya.
Unsur keberagaman itulah yang
menjadi modal dasar dalam pembangunan yang dilaksanakan. Baik keberagaman dalam
bertindak maupun kebersamaan dalam kepentingan yang positif. Selain sejak awal
mudah tertanam sifat kesetiaan terhadap
Negara dan pemerintah, warga Desa Kradenan juga tergolong taat kepada fatwa
leluhurnya.
Mereka cukup kuat dalam memegang
adat, walaupun disana sini sudah diadakan perubahan-perubahan untuk disesuaikan
dengan kondisi yang ada sekarang. Upacara-upacara yang bersifat pribadi seperti
upacara menyambut kelahiran anak, khitanan/tetesan, perkawinan kematian dan lain-lain masih tetap
dilaksanakan oleh sebagian besar warga setempat. Selain itu upacara-upacara
lainnya yang bersifat umum seperti Merti Desa (bersih Desa), Sadranan dan lain-lainnya
juga masih dilaksanakan
Upacara-upacara ritual tersebut
merupakan upaya permohonan keselamatan kepada Tuhan bagi desa dan penghuninya.
(BM)-Dari berbagai sumber.
Di artikel ada Rangsangpati itu siapa nya pangeran Diponegoro? Mohon jawabannya
BalasHapusTanah kelahiran, Rumah ku pas belakang Almarhum mbah jono
BalasHapusYang disebut tosuran itu area rumahQ. Makhluk astral dari jaman kerajaan sampai sekarang juga masih ada di area rumahQ.
BalasHapusTinggal anak cucu yang bermukim *Jiwa patriot dan loyalitas pada negara dari buyut kita😊
BalasHapus