Kasih Sayangmu Mbak Nur....
Oleh : Sugito
Sore
itu Sang Surya pun tenggelam tanpa saya ketahui dengan pasti, karena sejak
pagi memang enggan memancarkan sinarnya
alias mendung selalu bergayut. Gema adzan baru saja berlalu dan aku baru saja
menunaikan sholat Maghrib, tiba-tiba
Nita anakku minta ditemani belajar.
Menurut ceritanya ada pekerjaan rumah yang tidak bisa dikerjakan. Pesan ibu
guru kalau tidak bisa disuruh tanya orang tua.
“Bapak
ada PR,.. tapi sulit pak?”, tanya Nita kepadaku manja.
“PR
nya apa ?”, jawabku sambil menghampirinya di meja belajar.
“PR
IPA, disuruh mencari penemu-penemu itu lho Pak, sudah tak cari dalam buku ini
tapi tidak ada”, jawabnya sambil menunjukkan bukunya.
Aku
berusaha menenangkan anakku sambil mencari jawaban atas pertanyaan tersebut.
Dua buku IPA dan satu LKS sudah dibuka beberapa kali, memang nama-nama penemu
tidak ada dalam buku tersebut. Dalam hati aku berkata, “PR anak SD kok ya sulit
temen to ya ya.”
“Bapak
juga tidak menemukan, bagaimana kalau besok kira-kira jam satu siang kita ke tempat
Mbak Nurhayati untuk mencarikan
jawabannya di Perpustakaan Desa itu”, jawabku pelan.
Mendengar
jawaban tersebut Nita hanya menganggukkan kepala tanda setuju. Tidak lama
kemudian ia minta untuk ditemani tidur. Melihat wajahnya yang polos dan lugu
ketika tidur, aku memohon kepada Allah semoga kelak menjadi anak yang berguna bagi bangsa dan negara.
Keesokan
harinya pukul 12.45 aku bersama Nita pergi ke rumah Mbak Nur, panggilan
akrabnya.
“Assalamu’alaikum
Mbak Nur.”
“Wa’alaikumsalam,
mangga-mangga Pak, dengan dik Nita... silakan duduk Pak!”, Mbak Nur dengan ramah
mempersilakan duduk kami berdua.
Setelah
duduk beliau meninggalkan kami dan tidak lama kemudian keluar sambil membawa
dua cangkir teh manis dan ubi bakar.
“Ayo
dik, mangga Pak diminum tehnya, ada apa ya Pak, kok tumben kemari
?”, tanya Mbak Nur.
“Begini
Mbak ceritanya, Nita dapat PR dari ibu guru, disuruh mencari beberapa penemu,
tetapi setelah kami mencari bersama dalam buku, ternyata tidak ditemukan
jawaban, kemudian kami memutuskan minta bantuan Mbak Nur untuk mencarikan
jawaban di Perpustakaan Desa yang Mbak Nur kelola itu”, aku menceritakan maksud
kedatangan kami.
”Inggih
Pak, nanti kita bersama pergi ke Perpustakaan Desa, dicari bersama ya Pak, tetapi sebelum
berangkat, silakan untuk dihabiskan dulu unjukane Pak”, jawab Mbak Nita.
Setelah
ngobrol beberapa saat, kami bertiga pergi ke Perpustakaan Desa yang terletak
kurang lebih lima puluh meter di sebelah utara dari rumah Mbak Nur. Hampir
bersamaan dengan Mbak Nur membukakan pintu, dari tikungan jalan tampak mobil Perpustakaan
Keliling menuju Perpustakaan Desa kami.
“Kebetulan
Pak mobil Perpustakaan Keliling datang, nanti kita cari saja di mobil itu
karena lebih lengkap”, ajak Mbak Nur.
“Inggih
Mbak”, jawabku sembari masuk perpus.
Walaupun
sudah beberapa lama perpustakaan di desaku berdiri, aku akui bahwa baru pertama kali ini
masuk perpustakaan. Aku berjalan-jalan di ruangan yang berukuran tidak lebih
dari 5 x 7 m ini sambil melihat gambar-gambar yang ada di sampul buku halaman
depan. Nita anakku dan Mbak Nur pergi ke mobil. Saya lihat dari kejauhan Nita
sedang asyik mencari buku, sedangkan Mbak
Nur sedang berbincang-bincang dengan petugas perpustakaan tersebut. Nita dan Mbak
Nur pun kelihatan akrab sekali. Aku tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Tidak
lama kemudian Mbak Nur memanggil,
“Pak...
ke mari..., bukunya sudah ketemu, dicarikan Mas Agus petugas perpustakaan keliling.”
“O
ya Mbak terima kasih”, aku bergegas menjawab.
Melihat
itu semua Nita sangat gembira sekali. Selain menerima buku tentang beberapa
penemu, Nita juga meminjam dua buku yang lain. Buku yang mau dipinjam dicatat
oleh Mbak Nur. Belum selesai mencatat Nita minta ijin untuk membeli cilot
yang dijual oleh penjual makanan keliling. Buku tersebut dibaca-baca sebentar
oleh Nita sambil makan cilot. beberapa menit kemudian aku dan anakku
pulang.
Seperti
biasa ba’da Maghrib Nita belajar minta ditemani. Tidak diduga sama sekali ia
bertanya kepadaku,
“Bapak,
Allah itu tidak adil ya Pak!”, tanya anakku ketus.
Mendengar
pertanyaan tersebut aku kaget bukan kepalang. Sambil memendam rasa kaget aku
menjawab dengan nada menasehati,
”Nitaa...
tidak boleh bicara begitu, Allah itu Maha Adil..., Maha Pengasih..., tanpa
pilih kasih..., hayo apa buktinya kalau Allah tidak adil.”
Dengan
cepat Nita menjawab, “Buktinya mengapa Ibu dibunuh duluan oleh Allah, khan aku
kangen sama Ibu, seandainya Ibu masih hidup aku bisa dikelonin Ibu,
diajari Ibu, kemana-mana bersama dengan Ibu
dan Bapak.”
Mendengar
jawaban dari Nita, tanpa sadar air mataku tak bisa terbendung lagi dan mengalir
membasahi pipiku, bibirku kelu, dan satu kata pun tak terucap dari mulutku. Seribu
perasaan, seribu kenangan manis bersama almarhum istriku tercinta melintas di benakku.
Sambil menahan isak tangis, dalam hatiku memohon kepada Allah, “Ya Allah
berilah kekuatan dalam menghadapi segala cobaan ini, Ya Allah.”
“Lho
kok Bapak menangis, kata Bu guru, laki-laki tidak boleh nangis”, celetuk Nita.
“Ya,
ya bapak tidak nangis kok”, jawabku sambil menciumi pipi Nita, “Ayo belajar lagi bapak
temeni.”
“Bapak...
tadi to di dalam mobil perpustakaan aku
dikasih Mbak Nur cokelat, Mbak Nur kok baik ya sama aku”, Nita bercerita.
"Ya...
Mbak Nur memang baik, bukan dengan Dik Nita saja, tetapi baik kepada semua
orang terutama orang-orang yang senang belajar
dan bekerja keras.”
“Bapak,
bagaimana kalau Mbak Nur tinggal di rumah ini jadi ibunya Nita?”
“Ayo
Nita belajar bapak temani jangan bicara yang tidak ada perlunya. Dibuka bukunya
yang tadi dipinjam dan kerjakan PR nya!”
Nita
mengambil tas mencari buku yang baru saja dipinjam. Sementara itu dalam benak
ini bertanya-tanya dari mana si Nita dapat kalimat seperti itu.
“Bapak,
bukunya yang satu ketinggalan di perpustakaan”, kata Nita.
“Ya
besok diambil”, jawabku datar.
Tak
lama kemudian ada yang mengetuk pintu sambil mengucapkan salam, “Assalamu’alaikum”,
salam dari Mbak Nur.
“Wa’alaikum
salam, mari Mbak masuk, silakan duduk!”, jawabku bergegas membukakan pintu.
Betapa
terkejutnya aku, hatiku berdebar setelah tahu bahwa yang datang adalah Mbak Nur
mengantarkan buku Nita yang tertinggal.
“Dik
Nita, ini bukunya ketinggalan di perpustakaan”, ucap Mbak Nur sambil
menunjukkan buku tersebut.
“Oh
ya Mbak terima kasih”, sahut Nita kegirangan.
“Besok
datang lagi ya ke Perpustakaan Desa, biar dapat ilmu yang baru dan tambah
teman”, saran Mbak Nur pada Nita.
Melihat
Nita dan Mbak Nur ngobrol agak lama, aku merasa senang karena Nita
gembira. “Pak boleh tidak minta sesuatu”, kata Nita.
“Boleh
...”, jawabku santai.
“Bolehkah
Mbak Nur menemani Nita belajar selamanya?”, sahut Nita sambil memandang Mbak
Nur. Beliau menatap bocah centil itu dengan tatapan sendu dan tersungging
senyum manis di bibirnya.
______
* SMP Negeri 3 Bawen
Tidak ada komentar:
Posting Komentar