Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Jumat, 11 Juni 2010

Perjuangan Membangun Budaya Membaca


Perjuangan Membangun Budaya Membaca
(Catatan yang tertinggal namun patut untuk disimak)
 Oleh : Esti Afiarini

Negeri ini semakin terpuruk setiap harinya, ketika semua yang diinginkan dapat diraih dengan mudah alias serba instant, masyarakat tak lagi menyukai sebuah proses yang membutuhkan waktu lebih lama. Mulai dari pemrosesan makanan hingga budaya belajar dapat dilakukan secara instant. Budaya serba instan membuat generasi muda tak lagi mau belajar apalagi membaca, sebuah ancaman serius bagi masa depan sebuah bangsa.
Siti Nuraini ketua harian Family Education Series (FEDus) mengungkapkan bahwa "Wajah anak bangsa saat ini begitu mengkhawatirkan, menurut data diknas tahun 2004-2005, sekitar setengah dari 85 juta jumlah anak Indonesia tidak bersekolah. Dan peringkat pendidikan menurut Human Deviasi Index termasuk dalam nomor urut 112 dari 157 negara dan anak-anak tidak memiliki pemahaman apa yang mereka baca" . (Semoga tahun ini sudah berkurang).
Hampir seluruh anak-anak saat ini memiliki sifat senang membentak,
mampu melawan, menyukai hal-hal instant, tidak peduli terhadap orang
lain dan yang mencemaskan adalah mereka tidak menyukai sebuah proses.
Hal ini disebabkan karena banyak orang tua yang juga suka membentak di rumah, dan sebagian besar dari orang tua tersebut mempunyai anak usia 7 tahun. Usia dimana anak-anak mulai belajar untuk mengikuti kebiasaan yang mereka pelajari dilingkungannya.
"Oleh karena hal tersebut diatas dibutuhkan orangtua yang smart, orangtua yang mampu bertindak sebagai guru yang cerdas, teman yang mengetahui perkembangan lingkungan, pemimpin di rumah dan orang tua yang konsisten dan disiplin. Hal ini diperlukan agar anak dapat memiliki bekal yang baik bagi masa depannya." jelas ibu Nur lebih lanjut.
Fakta-fakta tersebut menjadi salah satu pendorong timbulnya perpustakaan- perpustakaan atau taman-taman baca masyarakat berbasis komunitas. Sebuah upaya menyelamatkan bangsa dengan meningkatkan budaya membaca dan menulis untuk anak-anak yang dilakukan oleh orang-orang yang peduli akan masa depan bangsa ini.
Keinginan dan cita-cita yang luhur tanpa pamrih dalam mencerdaskan
anak bangsa ternyata bukanlah hal yang mudah dan tanpa halangan. Tantangan dan benturan dengan masyarakat sekitar dimana mereka mencoba membuat taman baca untuk anak-anak. Mulai dari sindiran yang berhubungan dengan pribadi hingga tuduhan menjadi misionaris atau unsur-unsur sara lainnya adalah tantangan-tantangan yang harus mereka lalui. Melakukan hal-hal baik untuk masyarakat tak selamanya mudah.
Beruntung mereka bukanlah pejuang yang pantang menyerah, orang-orang terpilih yang mempunyai semangat dan pengabdian tinggi untuk masyarakat. Pahlawan sebenarnya yang tak pernah terucapkan dalam pidato-pidato kenegaraan.
Pembuatan Taman Bacaan Masyarakat oleh sebuah komunitas maupun perseorangan berbasis perpustakaan adalah sebuah perjuangan panjang dalam upaya membangun budaya membaca dan menulis di masyarakat. Sebelum menjadikannya sebuah budaya, banyak tahapan-tahapan perjuangan yang harus dilalui, mengenalkan pentingnya membaca kepada masyarakat, membuat masyarakat untuk mencintai bacaan, membuka wawasan hingga menjadikannya sebuah budaya yang melekat erat dalam masyarakat. Sebuah perjuangan panjang merubah budaya 'pembodohan' dalam masyarakat saat ini.
”Semua orang adalah guru dan semua tempat adalah tempat belajar”, sebuah kutipan yang dipegang teguh oleh salah satu Sanggar Belajar, ”Menabur amal menuai bekal” juga salah satu misi dari sebuah Taman Bacaan Masyarakat di Kabupaten Semarang patut diteladani. Dengan berbagi ilmu dan pengalaman kita bisa menjadi guru bagi satu sama lain dan tempat dimanapun kita berbagi adalah tempat kita untuk belajar. Terus semangat teman-teman!

*/Penulis adalah pengelola TBM Nuruh Fattah dan Pengajar di MIN Jambu Kab. Semarang.







Tidak ada komentar:

Posting Komentar