Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Kamis, 02 Juni 2011

Perpustakaan Di Rumah, Kenapa Tidak ?


Perpustakaan Di Rumah, Kenapa Tidak ?
Oleh : S. Pranatyastama

Mengutip tulisan almarhum Dr. Kuntowijoyo, bahwa perkembangan pemikiran Indonesia dewasa ini sudah harus bergeser dari ideologi ke ilmu. Hal ini merupakan konsekwensi logis mengingat abad XXI sekarang ini adalah era informasi. Era yang meniscayakan adanya keterbukaan, dan sangat cocok dengan corak ilmu yang menuntut sikap terbuka, mengakrabi perbedaan, dan kebebasan berpikir. Suatu hal yang bertolak belakang dengan corak pemikiran ideologis yang cenderung kaku dan tertutup.
Berkenaan dengan corak keilmuan, aktivitas yang tak bisa ditawar adalah menggalakkan kegairahan belajar, membaca, dan diskusi. Bagi kalangan terpelajar baik yang duduk  sebagai peserta didik, pendidik, dosen, cendekiawan, budayawan, maupun seniman, bukan hal tabu dengan aktivitas membaca, menulis, dan berdiskusi. Lain halnya dengan kebanyakan kalangan awam, pekerjaan membaca, menulis, apalagi berdiskusi belum merupakan aktivitas yang menguntungkan. Tidak menguntungkan karena seolah-olah hanya membuang-buang waktu, pemborosan energi, dan saling ribut satu sama lain.
Barangkali kita patut bersedih dengan minimnya aktivitas membaca di tengah-tengah masyarakat. Namun bisa jadi kita juga harus terpaksa maklum, karena masyarakat kita memang tidak disiapkan menjadi individu pembelajar. Mulai dari bangku sekolah yang mereka kenyam dahulu, sekadar dicetak menjadi kuli pembangunan, buruh pabrik domestik maupun internasional dan manusia subsistem lainnya. Konon saat kita mendapat kesempatan duduk sebagai siswa sekolah, tidak ada tuntutan untuk sanggup mandiri, tidak ada pembiasaan kegiatan-kegiatan penelitian dan juga tidak ada dorongan untuk menjadi individu yang sanggup mengembangkan daya cipta. Sekolah-sekolah yang bertebaran di tanah pertiwi sebatas membenarkan teori dan menghafal banyak pepatah, sehingga gagap begitu selesai sekolah dan mengantongi ijazah pendidikan tinggi.
Keperihatinan betapa rendah mutu pendidikan dan etos pas-pasan guna menggali pengetahuan, mesti bersama-sama kita sikapi dengan kepala dingin. Maraknya budaya desas-desus, ngegosip ria, dan senang mengumpulkan bahan bualan yang minim data dan fakta, harus kita tandingi dengan aktivitas belajar. Budaya tanding yang dimaksud tidak dengan meminta MUI agar menerbitkan fatwa haram acara infotainment TV, fatwa haram menggunakan fasilitas jejaring sosial, dan sebagainya. Hal itu malah akan kontraproduktif, dan tidak tepat sasaran. Sebab hukum yang berlaku dalam kehidupan ini adalah hukum tarik-menarik. Semakin besar energi negatif yang kita lahirkan, sebesar itu pula energi yang kita tuai. Makin latah kita membodoh-bodohkan pihak lain, berarti kita sendiri yang sesungguhnya bodoh.
Fakta adanya kekonyolan di masyarakat memang sebagai data. Masyarakat dan kita sendiri sering lengah terbuai dengan guyonan-guyonan murahan ala “bukan empat mata”, kita sangat kusyu’ menikmati “opera van java”, dan akan terasa kehilangan tatkala ketinggalan jam tayangnya. Kecenderungan yang demikian bukan berarti mesti dimatikan agar lebih produktif, sebab belum tentu kita akan lebih produktif menghasilkan karya adiluhung tatkala seluruh acara di media elektronik dijejali dengan tampilan acara dokumenter pengetahuan. Lantas bagaimana ? Langkah praktis yang bisa kita kerjakan adalah menciptakan suasana belajar dirumah masing-masing. Setiap pojok ruang, kita hiasi dengan tumpukan buku yang tertata rapi. Bahkan diruang tamu yang biasanya hanya kita isi dengan asesoris impor, bisa kita selipkan satu dua buku guna menemani asesoris yang telah ada. Waktu senggang yang tersedia, selain asyik kita habiskan dengan ragam acara TV, bisa sesekali melirik samping kanan kiri ruangan yang telah ada beberapa tumpukan buku. Lambat laun kita akan tersapa oleh buku-buku yang kita tampilkan di setiap sudut ruang, yang akhirnya menjadi hobby terhadap buku.
Memang bukan pekerjaan mudah yang seolah tinggal membalik telapak tangan. Butuh kesiapan mental dan energi yang tidak mudah putus asa guna membangun kegemaran membaca. Kegemaran membaca tidak cukup hanya menunggu dan mengandalkan seruan para pemuka agama atau pun cendekiawan. Melainkan harus lahir dari kesadaran diri sendiri. Dan teknis yang bisa terjangkau  adalah dengan membuat perpustakaan mini dirumah. Keberadaan perpustakaan yang kita ciptakan dengan sendirinya akan menebar aura belajar pada keluarga kita sepanjang hayat dirumah. Meski tidak sampai tuntas mendalami isi satu buku, minimal dalam keseharian kita terbiasa membaca judul-judul buku yang telah kita koleksi.
Suasana belajar yang kita create dengan kehadiran perpustakaan di rumah masing-masing setidaknya dapat menyokong jiwa zaman sekarang yang demen informasi. Buku adalah mitra dialog  yang kaya informasi dan data. Sehingga sanggup menghantar ke masa depan yang ramai akan ide dengan kesiapan yang memadai. Kita tidak bakal buta informasi dan tuna budaya. Buku-buku yang tersusun rapi di rak-rak di setiap pojok ruang yang kita miliki, sesekali kita kupas isinya bersama sahabat handai taulan. Kita adakan acara bedah buku sederhana yang tidak mesti merogoh ratusan recehan di kantong., sehingga kapan saja ada senggang waktu bisa terlaksana. Sederhana acara yang tersaji namun mencerahkan pemikiran. Dan memang dari semua yang tersebut di awal, kita tidak usah keluar biaya besar untuk mewujudkannya. Cuma modal niat dan semangat untuk turut mendukung program belajar seutuh usia.
Dengan usaha sederhana namun serius, moga bisa mengiring nurani zaman dewasa ini yang sedang dilanda kemelut globalisasi. Menghadapi kemelut tersebut, sudah tidak relevan  dengan menghindari arus informasi yang memang kini kian deras arusnya. Tetapi dengan menyiapkan diri menjadi individu terbuka, dan menjunjung kebebasan berpikir. Individu yang tidak alergi dengan ragam pemikiran. Pendek kata, individu yang menjadikan buku sebagai sahabat dekat yang kemana pun berada selalu disisinya, dan perpustakaan adalah rumah keduanya setelah rumahnya sendiri.
Jadi perpustakaan dirumah, kenapa tidak ?   
*\ Pengelola Pondok Baca “lerengpena” Desa Lerep, Ungaran Barat




















Identitas Diri











Nama                              : Supardi Pranatyastama
Tempat, tanggal lahir     : Sragen, 8 Agustus 1978
Alamat                           : Perum. Bukit Asri 2 Blok O/11 RT 08 RW 08 Lerep, Ungaran  Barat Kab. Semarang 50511
Telepon                          : (024) 76914636
Handphone                    : 085742121099
Webblog                         : www.lerengpena.co.cc
Pekerjaan                        : Pengelola Pondok Baca “lerengpena” Desa Lerep,
                                        Kec. Ungaran Barat Kab. Semarang

Tidak ada komentar:

Posting Komentar