Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Kamis, 02 Juni 2011

Buku, Perpustakaan dan Pendidikan Bencana



Buku, Perpustakaan dan Pendidikan Bencana
*\Heri Abi Burachman Hakim

Menarik sekali ketika membaca salah satu  artikel di Harian Kompas, pada tanggal 17 November 2010 dengan judul “Tembang Merapi Masa Lalu”. Artikel ini menyebutkan bahwa dalam naskah kuno Babad Nanyogyokarta yang tersimpan dalam Perpustakaan Pura Pakualaman diceritakan bahwa Gunung Merapi pernah mengalami letusan yang lebih parah dibandingkan dengan letusan Merapi yang saat ini terjadi. Letusan ini terjadi pada tahun 1822, di mana Merapi meletus selama 3 bulan dan diikuti oleh letusan Gunung Bromo, Kelud, Slamet dan Gunung Guntur (Kompas, 19 November 2010). Bahkan dalam artikel ini disebutkan ada berapa literatur lain yang menceritakan tentang letusan Gunung Merapi, antara lain Babad Panembahan Senopati dan Journal of Vulcanology and Geotermal Research.
Menariknya artikel ini adalah karena dengan membaca artikel berjudul “Tembang Merapi Masa Lalu” maka  pembaca kompas atau masyarakat dapat mengetahui bahwa Merapi pernah meletus dan letusannya lebih parah dibanding dengan letusan Merapi saat ini terjadi. Jika masyarakat pernah membaca berbagai literatur tentang sejarah letusan merapi ini, tentu banyaknya korban yang jatuh akibat letusan Merapi saat ini tidak akan terjadi. Masyarakat akan lebih siap serta tidak panik ketika menghadapi erupsi atau letusan merapi sehingga jumlah jatuhnya korban dapat diminimalkan. Masyarakat tidak akan mudah percaya dengan mitos atau pernyataan yang keluarkan oleh tokoh figur. Masyarakat akan berpikir rasional serta mematuhi anjuran atau ajakan pemerintah dalam mensikapi letusan Merapi.
Kehadiran artikel ini mengejutkan sekaligus memberikan pengetahuan baru tentang merapi dan potensi lutusannya. Apabila masyarakat telah mengetahui bahwa merapi peluang letusan merapi dapat terjadi lebih dahsyat dan mengetahui dampak dari letusan tersebut maka  masyarakat tentu akan berpikir ulang untuk tidak mematuhi instruksi yang dikeluarkan oleh pemerintah. Apabila pemerintah mengintruksikan untuk meninggalkan pemukiman maka dengan segera masyarakat akan meninggalkan pemukiman dan korban jiwa tidak akan berjatuhan.
Sayangnya sebelum artikel ini muncul, masyarakat dan penulis sendiri tidak pernah mengetahui keberadaan berbagai litaratur yang membahas tentang letusan Merapi. Terutama berbagai literature tersebut merupakan literature langka. Kegiatan membaca berbagai literatur yang memuat tentang letusan merapi sama fungsi dengan kegiatan pendidikan bencana. Kegiatan pendidikan bencana yang dapat dilakukan oleh semua orang tanpa melihat status. Pelajar, masyarakat umum, pegawai dapat membaca yang artinya dapat melakukan atau mengikuti kegiatan pendidikan bencana. Berbeda jika pendidikan bencana hanya dimasukkan dalam kurikulum pendidikan maka hanya meraka yang berstatus sebagai pelajar yang dapat mengikuti kegiatan pendidikan bencana tersebut. Padahal pendidikan bencana ini seharusnya dapat diakses oleh seluruh masyarakat dari berbagai lapisan masyarakat sehingga jatuhnya korban baik jiwa maupun materi dapat diminimalkan jumlahnya.
Dari artikel berjudul “Tembang Merapi Masa Lalu”, penulis mencoba menarik benang merah antara buku, perpustakaan dan pendidikan bencana. Buku dan perpustakaan merupakan sarana yang efektif dalam kegiatan pendidikan bencana sepanjang hanyat tanpa mengenal perbedaan status dan golongan. Buku-buku yang memuat isu atau cerita tentang gunung merapi dan bencanya lainnya perlu dihimpun kemudian dikelola oleh perpustakaan dengan tujuan dapat diakses oleh masyarakat umum. Dengan tersedianya buku-buku tentang gunung merapi atau buku tentang bencana lainnya di perpustakaan maka peluang masyarakat untuk membaca tentang bencana semakin terbuka lebar. Apabila masyarakat telah membaca berbagai buku tentang bencana secara tidak langsung kegiatan ini merupakan praktek dari pendidikan bencana secara mandiri. Pendidikan bencana semacam ini  yang memberikan peluang besar kepada masyarakat untuk memperoleh informasi tentang bencana lengkap dengan dampaknya, bahkan mungkin solusinya. Kegiatan pendidikan bencana seperti ini dapat melengkapi konsep pendidikan bencana yang sedang di rancang oleh pemerintahan.
Untuk mewujudkan buku, perpustakaan sebagai ujung tombak kegiatan pendidikan bencana maka ada berberapa langkah yang perlu diambil. Berbagai langkah tersebut antara lain pertama, melakukan transliterasi berbagai naskah kuno yang memuat berbagai cerita tentang merapi sehingga mudah dipahami oleh masyarakat umum. Saat ini litaratur yang menyimpan informasi tentang merapi  tapi masih dalam format naskah jawa atau bahasa daerah lainnya. Dengan kegiatan literasi ini memungkinkan masyarakat memahami secara tentang merapi atau bencana lainnya lengkap dengan berbagai solusi yang dapat diambil jika bencana alam terjadi atau dikenal dengan kearifan lokal.
Kedua, Menerbitkan hasil tranliterasi dalam media yang mampu menarik minat pemustaka atau pengguna perpustakaan untuk membacanya. Setalah melakukan transliterasi berbagai naskah yang memuat tentang merapi atau bencana lainnya , selanjutnya perpustakaan perlu mempublikasikan hasil transliterasi tersebut ke dalam format buku, poster, brosur dan publikasi lainnya. Penerbitan ini hendaknya juga memperhatikan nilai estitika atau desain yang menarik dari setiap publikasi  sehingga dapat menarik perhatian pengguna untuk membacanya.
Ketiga, langkah yang selanjutnya adalah promosi berbagai publikasi atau buku yang memuat informasi tentang bencana. Pustakawan atau pengelola perpustakaan dapat meletakkan buku-buku atau publikasi yang memuat topik-topik tentang bencana pada rak pajang (display) atau mungkin perpustakaan dapat membangun bencana corner yang berisi berbagai koleksi yang memuat informasi tentang bencana.
Keempat, pendidikan pemakai tentang kebencanaannya. Dalam dunia perpustakaan dikenal istilah pendidikan pemakai. Pendidikan pemakai biasanya berisi materi tentang perpustakaan dan bagaimana memanfaatkan perpustakaan. Terkait dengan pendidikan bencana maka perpustakaan dapat mengganti materi pendidikan pemakai dengan materi kebencanaan seperti bencana gunung berapi, gempa bumi, tsunami dan banjir. Perpustakaan dapat menyelenggaraan kegiatan pendidikan pemakai yang memuat materi tentang kebencanaan secara reguler. Dengan usaha terakhir ini maka akan semakin banyak orang yang sadar akan bencana.
Perpustakaan merupakan lembaga pendidikan yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat. Sebagai lembaga pendidik yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat sebenarnya lembaga ini merupakan salah satu lembaga ideal bagi penyelenggaraan pendidikan bencana. Apabila perpustakaan melalui koleksi dan berbagai kegiatan yang dilaksanakannya mampu menjadi lembaga yang mampu berpartisipasi dalam kegiatan pendidikan bencana maka korban yang ditimbulkan akibat bencana dapat diminimalisir.
*\ Staf Perpustakaan ISI Yogyakarta

Tidak ada komentar:

Posting Komentar