Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Sabtu, 18 Desember 2010

PERPUSTAKAAN DI TENGAH SOLIDARITAS BENCANA


PERPUSTAKAAN DI TENGAH SOLIDARITAS BENCANA
*\  Supardi Pranatyastama

Tanyakan pada rumput yang bergoyang”, demikian lirih Si Ebiet. Lantunan lagu dari Ebiet G. Ade, Iwan Fals dan Si Tombo Hati Opick, terus mengalun mengiring pemberitaan bencana di televisi. Bencana terus beruntun menimpa negeri ini. Tercatat di Bulan Oktober 2010 telah terjadi 3 (tiga) bencana besar yang menyita keprihatinan dunia.  Tanggal 4 Oktober 2010 terjadi banjir bandang di Wasior. Belum tuntas penanganan banjir di Wasior, tanggal 25 Oktober 2010 ada bencana tsunami di Mentawai, dan sehari kemudian tanggal 26 Oktober 2010 Merapi menunjukan keganasannya.
Negeri gemah ripah loh jinawi  seolah mendadak sunyi seiring musibah menerpa wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Tengah. Kawasan wisata Borobudur ditutup untuk kegiatan wisata, karena abu vulkanik. Komando awas bencana terus-menerus siaga memberi tanda kepada masyarakat agar segera meninggalkan tempat tinggalnya dan menetap sementara di pos pengungsian. Kawasan zona bahaya diperluas dari mulai radius 5 km, menjadi 15 km, dan meningkat menjadi 20 km. para pengungsi terus membanjiri wilayah-wilayah yang dianggap zona aman. Sekolah-sekolah pun terpaksa ikut libur, karena ditinggalkan peserta didik dan secara darurat menjadi pos pengungsian. Sebagai pecinta buku, lantas apa sumbang tenaga yang bisa kita ulurkan?
Awan panas yang setiap saat datang dalam hitungan waktu yang tak terduga, mengakibatkan  kondisi para pengungsi menjadi terkatung-katung. Nasib mereka jadi tidak menentu. Jenuh, bosan dan frustasi sangat jelas terlihat di guratan wajah-wajah lelah mereka. Di pos-pos pengungsian, mereka sekadar duduk, tidur dan menunggu antrian makan, hal yang jauh dari kebiasaan mereka sebagai masyarakat bawah. Masyarakat kita ini biasa bekerja keras, bangun pagi-pagi lantas pergi ke sawah dengan perut kosong. Sebab tak terbiasa dengan sarapan pagi. Kemudian menjelang siang, baru mengganjal perut kosongnya dengan sarapan pagi. Itu rutinitas keseharian mereka dan sungguh luar biasa.  Mereka tetap segar bugar, meski hidup dalam kebersahajaan. Sehingga logis, begitu berada di kamp pengungsian, rasa bosan jelas terpampang pada wajah mereka.
Lantaran kondisi yang tidak menentu, dan rasa jenuh yang terus-menerus menghinggapi mereka, telah mengundang rasa solidaritas dari setiap kalangan. Termasuk para penggerak perpustakaan dan komunitas pecinta buku. Ketika saya bersama Ibu Tirta Nursari –pengelola TBM Warung Pasinaon—ke pos pegungsian TPA Tanjung Muntilan, terlihat disana ada Mobil Perpustakaan Keliling Kabupaten Magelang yang dikerubuti anak-anak pengungsi. Hal yang menggembirakan, betapa buku dan perpustakaan tidak hanya berhubungan dengan waktu senggang dan orang “sekolahan”.
Sebagai insan buku dan pegiat Taman Bacaan Masyarakat, kita bisa menghadirkan buku-buku pelepas jenuh ke tengah-tengah mereka. Terutama untuk anak-anak yang sudah terbiasa dengan suasana belajar. Meski serasa sederhana dan amat remeh, tapi bisa melupakan sesaat kenyataan yang menghimpit. Yakni kenyataan Merapi yang tak kunjung selesai memuntahkan lahar, dan kenyataan hidup yang hanya menunggu uluran belas kasihan orang lain. Kehadiran buku-buku yang kita sediakan, sedikit banyak bisa menjadi oase yang sanggup membuat sejuk suasana. Buku juga bisa menjadi mitra dialog mereka yang sedang dirundung duka.  Buku menjadi peredam emosi mereka yang sedang dihinggapi rasa sepi meski berada di tengah keramaian.
Perpustakaan yang selama ini hanya berada di tempat-tempat nyaman nan aman sentosa, seperti di gedung perpustakaan; di taman kota; di rumah-rumah mapan; di kantor Kepala Desa; di rumah sakit; dan di sekolah-sekolah, kini hadir di tengah suasana duka bencana berperan aktif melalui dengan pengadaan pos-pos baca di setiap pos pengungsian. Bantuan kemanusiaan yang hampir berkisar urusan logistik dan kesehatan, tidaklah cukup meredam emosi duka dan rasa sepi hati. Sehingga kehadiran bahan bacaan ke tengah-tengah mereka yang sedang menangisi nasib, bisa mejadi obat pelipur lara. Buku-buku adalah alternatif bagi para relawan yang kebingungan mencari solusi  untuk membuat para pengungsi ceria.
Kegiatan-kegiatan yang dikerjakan oleh para pegiat perpustakaan dan taman baca seperti kegiatan membaca; bercerita; menggambar; dan bimbingan belajar, yang selama ini sebatas dilakukan di daerahnya masing-masing, kini bisa diusahakan dalam jalinan kerjasama untuk turut meringankan duka bencana. Jaringan komunikasi pengelola perpustakaan dan taman baca yang, kalau pun ada, hanya berkutat di tempat nyaman dan pokok bahasan yang dibahas seputar pengembangan perpustakaan dan minat baca rendah, di tengah-tengah solidaritas yang tinggi atas bencana, bisa menjadi kebajikan yang luput dari perhatian. Egoisme pengelola yang kerap kali muncul, bisa lumer dalam kebersamaan menghapuskan duka sesama.
Duhai para komunitas pecinta buku dan pengelola perpustakaan, tidaklah cukup kita mencintai buku dan berlaku sebagai pekerja sosial karena melayani ilmu lewat buku, kalau belum kita buktikan ke tengah-tengah bencana. Biarlah Merapi terus menaburkan abu vulkanik, namun kita akan terus menebar buku kepada anak-anak pengungsi, menebar kegiatan belajar kepada para pengungsi. Semoga…
Pengelola Pondok Baca “lerengpena“ Ungaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar