Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Senin, 21 Mei 2012

PERPUSTAKAAN VS GUDANG BUKU


PERPUSTAKAAN VS GUDANG BUKU
D. Arief .A.P.
Apa yang anda pikirkan ketikan mendengar perpustakaan dan gudang buku????,,,,,,,,,,,,,,,
D. Arief .A.P.
Menurut Random House Dictionary Of The English Language, perpustakaan adalah suatu tempat, berupa sebuah ruangan atau gedung yang berisi buku-buku dan bahan-bahan lain untuk bacaan, studi maupun rujukan. Menurut Encyclopedia Britannica, perpustakaan adalah himpunan bahan-bahan tertulis atau tercetak yang diatur dan diorganisasikan untuk tujuan studi dan penelitian atau pembacaan umum atau kedua-duannya.
Sedangkan menurut kamus istilah perpustakaan dan dokumentasi yang diterbitkan oleh pusat pembinaan dan pengembangaan bahasa, perpustakaan diartikan sebagai (1) koleksi buku, majalah dan bahan kepustakaan lainya yang disimpan untuk dibaca, dipelajari, dan dibicarakan. (2) tempat, gedung, atau ruangan yang disediakan untuk pemeliharaan dan penggunaan koleksi buku. Dan menurut keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 132/KEP/M.PAN/12/2002 perpustakaan (termasuk didalamnya pusat dokumentasi dan informasi) adalah suatu unit kerja yang memiliki sumber daya manusia, ruangan khusus dan koleksi bahan pustaka sekurang-kurangnya 1.000 judul dari berbagai disiplin ilmu yang sesuai dengan jenis perpustakaan yang bersangkutan dan dikelola menurut sistem tertentu.
Perpustakaan merupakan jantung atau urat nadi bagi suatu intansi/ institusi/ universitas/ badan korporasi laniya. Perpustakaan saat ini, tidak lagi hanya menjadi tempat menyimpan dan mencari buku, tetapi lebih dari itu  yaitu menjadi sumber/tempat mencari informasi. Berbagai informasi dapat ditemukan diperpustakaan, mulai dari yang informasi yang bersifat ilmiah, sejarah sampai informasi yang bersifat popular.
Tetapi mengapa sampai saat ini masih ada perpustakaan yang kondisinya sangat memprihatinkan. Pengalaman saya ketika saya berkunjung kesalah satu SD di pinggiran Wilayah Kabupaten Semarang saya mendapati sebuah perpustakaan yang sebenarnya tidak layak disebut perpustakaan, bahkan hampir mirip sebuah gudang buku. Tetapi mengapa pihak sekolah tersebut masih meyebut bangunan itu sebagai perpustakaan. Walaupun tidak ada aktifitas diruangan itu. Apalagi pengunjung, pustakawanya saja jarang masuk ke perpustakaan dan ruangannya pun jarang dibuka, Tanpa ada administrasi hanya ada inventaris koleksi buku itupun tidak lengkap/ baru sebagian, buku dibiarkan berserakan, berdebu, dan bahkan ada salah satu rak yang bukunya menjadi sarang semut.
Kondisi itu sangat menghawatirkan, dengan latar belakang pengelola yang berpendidikan di bidang ilmu perpustakaan mengapa kondisi itu masih terjadi. Mungkin karna hal seperti itu minat baca generasi muda bangsa Indonesia jadi berkurang. Bangsa Indonesia telah merdeka selama 66 tahun dan statusnya masih menjadi Negara berkembang,
Kapan? bangsa ini menjadi Negara maju jika minat baca dan belajar generasi penerus bangsa terhambat cuma karena perpustakaan yang kurang terorganisasi. Contohlah Negara Jepang, dan negara-negara maju lainya. Mereka sudah menjadikan membaca sebagai kebiasaan/ kegemaran. Dengan mencintai buku merupakan awal agar kita terbiasa membaca dan membaca akan menjadi kegemaran. Budaya membaca harus kita ajarkan kepada anak cucu kita agar bangsa Indonesia nantinya bisa lebih maju.
Misalnya dengan cara membelikan mereka buku, mengajak merepa ke perpustakaan, bukan membelikan mereka mainan. Tidak berarti tidak boleh membelian mainan tetapi harus kita imbangi dengan hal-hal yang mendidikan dan dapat meningkatkan minat baca agar perpustakaan dilingkunganya menjadi maju dan berkembang, bukan malah mundur dan menjadi gudang buku, dan hal penting yang harus dilakukan pustakawan adalah melayani pemustaka dengan baik dan ramah agar mereka puas, jika mereka puas dan senang mereka pasti akan datang kembali.
Sesungguhnya syarat sebuah gedung untuk dapat disebut perpustakaan adalah, harus ada:
·         Kumpulan bahan pustaka dalam bentuk tercetak maupun non cetak.
·         Bahan pustaka yang ada harus ditata berdasarkan sistem yang berlaku, diolah dan diproses, baik secara manual atau secara otomatis.
·         Bahan pustaka yang telah diolah dan diproses harus ditempatkan di ruangan tertentu.
·         Ada pengguna perpustakaan, yang memanfaatkan koleksi bahan pustaka untuk kepentingan ilmu pengetahuan, penelitian, informasi, dan hal-hal lainya yang berkepentingan dengan belajar dan menimba ilmu.
Pertanyaan saya terakhir buat para pustakawan apakan perpustaakan anda sudah memenuhi syarat diatas untuk disebut perpustakaan?????
Mahasiswa D2 Ilmu Perpusakaan Universitas Terbuka Pokjar Tengaran
> <�!% �/ � tr style='mso-yfti-irow:4'>
4
Buku-buku tentang Perpustakaan
1 %
5
Bacaan Sehat (fiksi dan Keterampilan)
50 %
6
Bacaan tentang daerahnya
4 %
7
Buku-buku profesi guru
10 %
8
Buku-buku untuk anak luar biasa
5 %
(Dian Sinaga. Mengelola Perpustakaan Sekolah, Bandung, Bejana, 2011)
Dari tabel diatas, jelas terlihat bahwa prosentase koleksi perpustakaan terhadap buku-buku yang bersifat rekreatif atau atau bacaan sehat hendaknya 50 % dari keseluruhan koleksi yang dimiliki perpustakaan. Sedangkan buku-buku teks hanya disyaratkan 10 % dari keseluruhan koleksi yang dimiliki perpustakaan.
Jika mengamati beberapa perpustakaan sekolah saat ini, koleksi yang dimiliki sebagian besar merupakan koleksi buku teks atau buku pelajaran sehingga belum sesuai dengan kebutuhan pemustaka. Hal ini terjadi karena sebagian besar koleksi mereka merupakan koleksi pemberian pemerintah atau biasa dikenal dengan buku drop-dropan pemerintah, sehingga jenis buku, judul buku, pengarang buku, subyek buku sama antar satu sekolah dengan sekolah lain. Ditambah lagi dengan jumlah eksemplar yang berlebihan, misalnya satu judul 50 eksemplar, sehingga terkesan koleksi perpustakaan banyak eksemplar dengan sedikit variasi judul.
Jika hal ini dibiarkan berlangsung terus menerus, maka dalam waktu tertentu perpustakaan akan penuh dengan buku-buku yang tidak terpakai, tidak dimanfaatkan karena tidak sesuai dengan kebutuhan dan akhirnya dana pemerintah untuk peningkatan kualitas pendidikan hanya terbuang sia-sia.   
Kebanyakan sekolah terutama sekolah negeri, mendapatkan koleksi perpustakaan melalui dana proyek pemerintah, baik APBD I, APBD II maupun APBN dan APBNP, dan pemberian dana pemerintah tidak diberikan langsung kepada sekolah untuk mengelola atau membelanjakan sendiri dana yang diberikan oleh pemerintah sesuai kebutuhan sekolah itu sendiri. Namun dalam bentuk buku atau juga sarana prasaran lain yang proses pengadaanya dilakukan oleh pemerintah pusat atau daerah. Tidak salah sebenarnya ketika pemerintah melakukan proses pengadaan buku sendiri untuk menghemat anggaran dan juga meminimalisir kesalahan dalam proses pengadaan. Namun, kesalahanya adalah bahwa pengadaan buku proyek ternyata sebagian besar tidak memenuhi target pemerintah dan tidak disesuaikan dengan kebutuhan sekolah, yang akhirnya buku-buku tersebut tidak digunakan oleh sekolah. Pertanyaannya adalah mengapa bisa terjadi kasus yang demikian?
Pertanyaan ini barangkali seringkali menghinggapi pikiran para pemerhati dan praktisi dibidang perpustakaan.
Masih melekat diingatan kita mengenai kasus pengadaan buku ajar di sebuah kota  yang melibatkan beberapa oknum pejabat dilingkungan Pemerintah Kota Salatiga. Meskipun awalnya kasus tersebut dihentikan, namun akhirnya pada bulan November tahun 2011 para oknum yang awalnya dinyatakan tidak bersalah, namun sekarang para pelaku sudah ada yang dimasukkan ke dalam hotel prodeo.  Belum lagi kasus dana bantuan pendidikan yang melibatkan mantan bupati temanggung dan 6 mantan anggota DPRD temanggung periode 2001-2004 yang tersandung kasus dana bantuan pendidikan putra-putri anggota DPRD Kabupaten temanggung yang berkasnya sudah siap dilimpahkan ke Kejaksaan[1]. Ini sungguh ironi dengan tujuan pemerintah yang ingin meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia, namun ternyata disalahgunakan oleh oknum-oknum dalam pemerintahan.
Kasus-kasus semacam ini sudah menjadi pemandangan yang biasa dan lumrah di negeri kita ini. hal ini menjadi indikator kegagalan pemerintah dalam melaksanakan proyek terutama proyek peningkatan kualitas pendidikan salah satunya proyek pengadaan buku sekolah maupun proyek pendidikan lainnya. Kita patut prihatin terhadap kondisi ini, kita tidak pernah tahu sampai kapan kondisi semacam ini akan berlangsung. Namun kita harus tetap optimis bahwa keadaan ini akan segara berubah bersama dengan kepedulian semua pihak untuk melakukan hal yang baik dan benar untuk kemajuan pemerintah utamanya dalam bidang pendidikan.
Nasib perpustakaan sekolah saat ini memang belum sebaik perpustakaan perguruan tinggi, dimana perpustakaan perguruan tinggi memiliki kewenangan melakukan pengadaan buku-buku sendiri sesuai yang dibutuhkan dan diinginkan oleh para pemustaka sebagai custumer setia perpustakaan. Nasib perpustakaan sekolah saat ini ibarat seperti gudang penyimpan buku proyek pemerintah pusat maupun daerah saja, baik melalui dana APBN maupun APBD, tanpa dapat melakukan penolakan dan penyesuaian dengan kebutuhan sekolah.
Melalui tulisan ini penulis merasa ikut prihatin dengan kondisi beberapa perpustakaan sekolah yang masih belum berfungsi sebagaimestinya. Penulis menghimbau kepada pemerintah, baik daerah maupun pusat agar selektif dan transparan dalam pelaksanaan proyek pengadaan buku yang nantinya akan disalurkan ke sekolah. Proyek pemerintah hendaknya berorientasi pada kebutuhan sekolah, bukan berorientasi yang lain, karena perpustakaan sekolah bukanlah gudang buku proyek yang ketika dilihat saja tidak menarik, apalagi digunakan sebagai literature untuk peningkatan kualitas pendidikan kita. Semoga bermanfaat….
*/Pustakawan di Stain Salatiga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar