Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Selasa, 05 Februari 2013

Cahaya Beranda


Cahaya Beranda
Oleh : Asih Prasetiyawati

Larut malam mengantarkanku pada peraduan mimpi. Cukup melelahkan hari ini, sepulang kerja dari kota, balik menjemput ibu yang berjualan di desa sebelah, kemudian lagi; bekerja shift malam. Menyulam hari dengan kegiatanku seperti ini, beberapa orang menyebutku gadis yang ngoyo. Entahlah, kuanggap serba-serbi komentar orang adalah bumbu hidup. Nyatanya aku, Nafeesa, gadis 22 th asal desa pinggiran kota tetap saja melakoni ini; dengan senang hati.
Mungkin ketika ayah masih hidup, beliau tidak akan membiarkan anak semata wayangnya melakukan hal seperti ini. Tapi bagaimana lagi, this is life, inilah realita hidup yang harus kujalani setelah kepergian ayah. Ketika uang tabungan sebagai pegawai BUMN telah habis untuk biaya operasi jantung, kami harus menelan mentah-mentah kepahitan yang dilakukan oleh adik ayahku. Dengan  alasan harta gono-gini harus segera diselesaikan, paman menjual rumah kami. Kukubur keinginanku untuk menjadi pendidik. Kuliah semester 4 di keguruan kutinggalkan dengan terpaksa, untuk membantu ekonomi keluarga.
Namun jiwaku terpanggil ketika kususuri kampung halamanku yang lama. Jalanan sempit, desa yang padat dan penduduk yang masih belum mengecap bangku sekolah kembali menyulut semangatku untuk mengajar. Itulah desaku, desa kelahiranku. Haruskah kubiarkan anak-anaknya  tumbuh tanpa bekal pengetahuan?
Suatu malam seusai bekerja muncul ide ketika melihat Lia, gadis cilik tetangga lamaku belajar di pelataran rumah. Aku tertarik pada caranya belajar, kuajari bocah 8 tahun itu membaca. Dengan terbata-bata Lia menyebut kata per kata yang kutunjuk melalui jariku. Hm..miris, dia belum lancar menyebut kata-kata yang ada di bukunya. Inilah potret anak-anak di desa tercintaku.
 “Sudahlah Nak, kamu akan susah sendiri kalau mengurusi mereka”  ibu nampak pesimis ketika kuutarakan niatku untuk membuat perpustakaan kecil di desa.
Cukup patah semangat mendengar jawaban ibu. Tapi agh tidak, “Bu, Feesa minta doanya saja. Sungguh doa ibu melancarkan kesulitan Feesa” jawabku meyakinkan ibu.
Lagipula ibu juga ingin kan tinggal di kampung halaman kita lagi. Ketika ingin mencapai itu semua, Feesa harus bekerja keras Bu, untuk kembali membeli rumah kita sekaligus membuatnya jadi perpustakaan yang bermanfaat.
Beberapa saat ibu diam. Kuusap tangan beliau, lalu beliau menepuk tanganku kembali sambil berkata,Ibu bangga Nak, tapi ibu kasihan sama kamu kerja siang malam”. “Feesa ndak papa bu, Feesa senang, Senyuman mantap kutebarkan di depan ibu.
Nyatanya ibu turut pula membantuku dengan menabung sebagian hasil jualannya untuk cita-citaku.  Kusinggahi segala hal buruk yang men-cap aku sebagai perempuan ngoyo. Beberapa bulan kemudian kucoba membuat group cinta perpustakaan di media sosial. Dari teman-teman kuliahku yang lama dan beberapa teman jejaring sosial, aku belajar cara mengelola perpustakaan kecil. Great, beberapa orang berminat dan menyumbangkan beberapa buku yang layak baca!
Tidak semua ideku berjalan dengan mulus. Saat ingin merangkul teman-teman satu kotaku, beberapa hanya merespon datar bahkan.. Jangan terlalu tinggi Fee, kamu kan cewek, mending uangmu kamu tabung untuk masa depan kamu, untuk menikah misalnya...
Salah seorang temanku tidak sepaham denganku. Menolak dengan nada sinis .Teman-teman di kantor ikut mengangguk setuju dengan ucapannya.
Tapi aku setuju Fee,” Lanjut Risa temanku yang lain. Dia memang karyawan baru di tempat kerjaku.  Sungguh terharu mendengar ucapannya. Kurangkul tangannya, dan dialah yang menjadi partnerku sampai saat ini.
Disaat sulit seperti ini sungguh sangat berharganya dukungan seorang teman. Seperti memikul beban yang berat, uluran tangan Risa mampu meringankan kerjaku.
“ Anak-anak..coba baca ini..” Tangan Risa memegang bolpoin sembari mengarahkan ke papan tulis. Aku anak.. pintar.. Risa, atau Bu Risa Nampak asik mengajar. Kulihat ruang tamuku yang dulu. Oh Tuhan, syukur, sekarang aku mampu melihatnya menjadi ruang perpustakaan yang disekat sebagai ruang belajar anak-anak di desaku. Suasana malam memang dingin, tapi semangat anak-anak belajar di ruangan ini memberikan atmosfer kesegaran bagiku, pada Risa, juga pada ibuku.
Bu Guru.. ini tugasnya... Gadis kecil memberikan sebuah buku. Iya terimakasih... Kutatap mata bocah kecil itu. Lia, si kecil yang memberiku inspirasi. Dua tahun sudah berjalan perpustakaan Cahaya Beranda ini. Kutangkap senyum kegembiraan dari mata-mata polos mereka.  Lelahku jadi luntur melihat semangat mereka. Terimakasih Tuhan”, ucapku dalam hati. Malam ini aku bahagia!
*Anggota Perpustakaan

2 komentar:

  1. bisa gak ya dikirim bulletin pustaka untuk TBM RUMAH CERDAS?

    www.duniacerdas.blog.com/donasi

    BalasHapus
  2. kalau ambil di perpusttakaan bgaimana?

    BalasHapus