Cahaya Beranda
Oleh : Asih Prasetiyawati
Mungkin ketika ayah masih hidup, beliau tidak akan
membiarkan anak semata wayangnya melakukan hal seperti ini. Tapi bagaimana
lagi, this is life, inilah realita
hidup yang harus kujalani setelah kepergian ayah. Ketika uang tabungan sebagai
pegawai BUMN telah habis untuk biaya operasi jantung, kami harus menelan
mentah-mentah kepahitan yang dilakukan oleh adik ayahku. Dengan alasan harta gono-gini harus segera
diselesaikan, paman menjual rumah kami. Kukubur keinginanku untuk menjadi
pendidik. Kuliah semester 4 di keguruan kutinggalkan dengan terpaksa, untuk
membantu ekonomi keluarga.
Namun jiwaku terpanggil ketika kususuri kampung halamanku
yang lama. Jalanan sempit, desa yang padat dan penduduk yang masih belum
mengecap bangku sekolah kembali menyulut semangatku untuk mengajar. Itulah
desaku, desa kelahiranku. Haruskah kubiarkan anak-anaknya tumbuh tanpa bekal pengetahuan?
Suatu malam seusai bekerja muncul ide ketika melihat Lia,
gadis cilik tetangga lamaku belajar di pelataran rumah. Aku tertarik pada
caranya belajar, kuajari bocah 8 tahun itu membaca. Dengan terbata-bata Lia
menyebut kata per kata yang kutunjuk melalui jariku. Hm..miris, dia belum
lancar menyebut kata-kata yang ada di bukunya. Inilah potret anak-anak di desa
tercintaku.
“Sudahlah Nak, kamu akan susah sendiri kalau
mengurusi mereka” ibu nampak pesimis
ketika kuutarakan niatku untuk membuat perpustakaan kecil di desa.
Cukup patah semangat mendengar jawaban ibu. Tapi agh tidak, “Bu, Feesa minta doanya saja. Sungguh doa ibu melancarkan kesulitan Feesa” jawabku meyakinkan ibu.
“Lagipula ibu juga ingin kan tinggal di kampung halaman kita lagi. Ketika ingin mencapai itu semua, Feesa harus bekerja keras Bu, untuk kembali membeli rumah kita sekaligus membuatnya jadi perpustakaan yang bermanfaat.” Beberapa saat ibu diam. Kuusap tangan beliau, lalu beliau menepuk tanganku kembali sambil berkata,“Ibu bangga Nak, tapi ibu kasihan sama kamu kerja siang malam”. “Feesa ndak papa bu, Feesa senang”, Senyuman mantap kutebarkan di depan ibu.
Cukup patah semangat mendengar jawaban ibu. Tapi agh tidak, “Bu, Feesa minta doanya saja. Sungguh doa ibu melancarkan kesulitan Feesa” jawabku meyakinkan ibu.
“Lagipula ibu juga ingin kan tinggal di kampung halaman kita lagi. Ketika ingin mencapai itu semua, Feesa harus bekerja keras Bu, untuk kembali membeli rumah kita sekaligus membuatnya jadi perpustakaan yang bermanfaat.” Beberapa saat ibu diam. Kuusap tangan beliau, lalu beliau menepuk tanganku kembali sambil berkata,“Ibu bangga Nak, tapi ibu kasihan sama kamu kerja siang malam”. “Feesa ndak papa bu, Feesa senang”, Senyuman mantap kutebarkan di depan ibu.
Nyatanya ibu turut pula membantuku dengan menabung
sebagian hasil jualannya untuk cita-citaku.
Kusinggahi segala hal buruk yang men-cap aku sebagai perempuan ngoyo. Beberapa bulan kemudian kucoba
membuat group cinta perpustakaan di media sosial. Dari teman-teman kuliahku
yang lama dan beberapa teman jejaring sosial, aku belajar cara mengelola
perpustakaan kecil. Great, beberapa
orang berminat dan menyumbangkan beberapa buku yang layak baca!
Tidak semua ideku berjalan dengan mulus. Saat ingin
merangkul teman-teman satu kotaku, beberapa hanya merespon datar bahkan.. “Jangan terlalu
tinggi Fee, kamu kan cewek, mending uangmu kamu tabung untuk masa depan kamu,
untuk menikah misalnya...”
Salah seorang temanku tidak sepaham denganku. Menolak dengan nada sinis .Teman-teman di kantor ikut mengangguk setuju dengan ucapannya.
Salah seorang temanku tidak sepaham denganku. Menolak dengan nada sinis .Teman-teman di kantor ikut mengangguk setuju dengan ucapannya.
“Tapi aku setuju
Fee,” Lanjut Risa temanku yang lain. Dia memang karyawan baru di tempat
kerjaku. Sungguh terharu mendengar
ucapannya. Kurangkul tangannya, dan dialah yang menjadi partnerku sampai saat
ini.
Disaat sulit seperti ini sungguh sangat berharganya
dukungan seorang teman. Seperti memikul beban yang berat, uluran tangan Risa
mampu meringankan kerjaku.
“ Anak-anak..coba baca ini..” Tangan Risa memegang
bolpoin sembari mengarahkan ke papan tulis. “Aku anak.. pintar..” Risa, atau Bu Risa Nampak asik mengajar. Kulihat ruang
tamuku yang dulu. Oh Tuhan, syukur, sekarang aku mampu melihatnya menjadi ruang
perpustakaan yang disekat sebagai ruang belajar anak-anak di desaku. Suasana
malam memang dingin, tapi semangat anak-anak belajar di ruangan ini memberikan
atmosfer kesegaran bagiku, pada Risa, juga pada ibuku.
“Bu Guru.. ini
tugasnya...” Gadis kecil
memberikan sebuah buku. “Iya terimakasih...” Kutatap mata
bocah kecil itu. Lia, si kecil yang memberiku inspirasi. Dua tahun sudah
berjalan perpustakaan Cahaya Beranda ini. Kutangkap senyum kegembiraan dari
mata-mata polos mereka. Lelahku jadi
luntur melihat semangat mereka. “Terimakasih
Tuhan”, ucapku dalam hati. Malam ini aku bahagia!
*Anggota Perpustakaan
bisa gak ya dikirim bulletin pustaka untuk TBM RUMAH CERDAS?
BalasHapuswww.duniacerdas.blog.com/donasi
kalau ambil di perpusttakaan bgaimana?
BalasHapus