Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Rabu, 12 Oktober 2011

Belajarlah dari Jepang


*\Didi Ariyanto


Suatu kebiasaan yang ingin saya tumbuhkan adalah kecintaan kepada buku. Tidak hanya diri saya, namun saya juga berharap bahwa orang-orang disekitar kita bisa menyukai kegiatan membaca. Jangan sampai keadaan miris terjadi di perpustakaan. Seperti misalnya pengunjung yang sedikit.
Kadang ada anak SD yang lebih banyak bermain (baca:gojek) di dalam perpustakaan ketimbang duduk membaca. Perpustakaan dengan ribuan judul buku kok sepi pengunjung? Kondisi perpustakaan yang sepi berbanding terbalik dengan tempat-tempat seperti Playstation, kolam renang, bioskop dll. Lebih dari 100 orang, separuhnya anak-anak bermain-main di tempat yang katanya “arena ketangkasan” video game. Untuk bisa menikmatinya, pengunjung harus merogoh kocek kurang lebih Rp 2.000/jam. Bagi yang membawa kendaraan harus membayar parkir. Padahal masuk perpustakaan gratis.
Aneh bin ajaib. Orang lebih senang bermain-main ketimbang menghabiskan waktu dengan membaca. Hemat saya, Membaca buku bisa mengubah pola pikir seseorang untuk meningkatkan wawasan dan pengetahuan. Membaca buku juga bagian dari proses pendidikan bagi pembacanya. Hanya saja, sebagian besar kegiatan membaca selama ini kerap diterima sebagai kewajiban atau keharusan. Hal itu dikatakan pakar pendidikan Arief Rachman. Menurutnya, orang tua dan guru harus terlibat aktif menumbuhkan minat baca di kalangan anak dan siswa.  Jangan biarkan anak menonton tayangan televisi yang tidak jelas.
Menyalahkan anak dan siswa saja tentu tidak bijak, apabila orang tua dan guru tidak memberikan teladan. Sangat indah ketika kita menyaksikan anak-anak sejak dini sudah dibiasakan untuk membaca. Membaca buku erat kaitannya dengan menulis. Keduanya adalah elemen yang saling mendukung dan tidak dapat dipisahkan. Menulis tanpa membaca ibarat orang buta yang sedang berjalan. Artinya, dalam proses penulisan, seseorang akan mengalami banyak kesulitan, tertatih-tatih dan sekali berjalan lantas berhenti karena tidak tahu tujuannya. Sementara itu, membaca tanpa menulis ibarat orang pincang.
Pengetahuan yang kita miliki tidak dimanfaatkan untuk kepentingan banyak orang. Karena ilmu pengetahuan yang tidak dikembangkan dan disampaikan kepada orang lain secara lisan atau tulisan terasa kurang memberikan makna dalam kehidupan.
Membaca tidak lain adalah supplement food atau energy drink bagi para penulis. Kalau ada penulis yang mengaku bisa produktif tanpa membaca sama sekali, hemat saya ada dua kemungkinan. Pertama, ia memang sudah mencapai tahap ‘manusia guru’ atau manusia setengah dewa. Kedua, ia berbohong, dan ini rupanya lebih masuk akal. Menulis bisa gampang kalau suplai informasi ke otak dan batin kita memadai. Proses pemasukan informasi itu berasal terutama dari aktivitas membaca. Membaca berarti memberi makna.
Dengan membaca kita menafsirkan teks sekaligus belajar memahami konteks. Kita mencoba memahami apa yang tersurat sekaligus apa yang tersirat. Ini menjadi bagian pemulihan energi untuk penulis. Buku adalah jendela dunia. Dengan membaca buku, kita menimba banyak manfaat. Membaca itu memperluas wawasan dan memperkaya perspektif kita, memperoleh banyak solusi atas berbagai masalah yang dihadapi, mengatasi trauma atau frustrasi, memadukan kerja pikiran sadar dan tidak sadar. Selain itu, membaca berarti mengolahragakan pikiran dan menimba kesegaran baru.
 Sudah saatnya budaya membaca itu menjadi budaya kita. Anak-anak dilatih untuk membaca dan mencintai bacaan sejak dini. Perpustakaan yang ada di mana-mana bukanlah museum bagi buku-buku bacaan. Itu universitas rakyat, seperti moto perpustakaan umum di daerah-daerah. Ada banyak buku menarik dan berguna di perpustakaan-perpustakaan kita yang ada saat ini.
Namun, tak ada artinya jika tidak dibaca. Benar kata-kata Joseph Brodsky, pengarang asal Rusia: “Ada beberapa kejahatan yang lebih buruk daripada membakar buku. Salah satunya adalah tidak membaca buku.” Bahkan ada anekdot satir untuk kita: “Kalau orang Jepang tidur sambil membaca, sedangkan orang Indonesia membaca sambil tidur.” Kita bisa belajar dari orang-orang Jepang. Budaya membaca di Jepang terkenal di seantero dunia bahkan hingga detik ini cukup banyak orang Jepang yang membaca (entah komik/novel/koran /majalah) di dalam kereta api listrik yang sedang melaju dengan kencang. Pemandangan membaca di dalam kereta api listrik (bahasa Jepang : densha) adalah pemandangan yang tak aneh lagi.
Bahkan sambil berdiri pun mereka tetap membaca tanpa sedikitpun terganggu. Biasanya para penumpangnya jarang mengobrol, mereka sibuk membaca baik koran atau komik, bermain HP, ataupun mendengarkan musik. Itu yang biasa kita lihat, lumrah tidak berlebihan, namanya juga Jepang, budaya membacanya sudah mendarah daging.
Rakyat Jepang sadar bahwa harus mampu bangkit dari keterpurukan (pengeboman Hiroshima & Nagasaki). Jepang memang harus diakui sumber daya alam (SDA) sangat minim, akan tetapi untuk sumber daya manusia (SDM) boleh dibanggakan. Terbukti hampir 99 % rakyat Jepang melek huruf. Tidaklah mengherankan Jepang mampu bangkit kembali dari kehancuran di tahun 1945. Masyarakat membaca (reading society) bisa dimulai dari kebiasaan membaca. Mencintai buku adalah awal dari kebiasaan gemar membaca.
Akhirnya pertanyaan terakhir dari saya adalah “Sudahkan Anda membaca hari ini?” Wassalam.
Karyawan PT TKPI Temanggung
Anggota TBM Nurul Fatah Gemawang




Tidak ada komentar:

Posting Komentar