Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Kamis, 19 Januari 2012

JANGAN TAKUT KE PERPUS!

JANGAN TAKUT KE PERPUS!
Oleh : Mufti Feranita

Sewaktu pelajaran bahasa Indonesia, Bu Parsih meminta kami membuat sebuah kelompok yang terdiri dari lima orang. Sebagai murid baru di kelas VII-B yang pemalu dan lebih suka menyendiri, tentu saja aku langsung ketakutan.
Saat melihat teman-teman sudah mendapatkan anggota dan membentuk kelompok, aku mulai cemas. Aku tidak keberatan mengerjakan tugas itu sendirian, tapi untuk sekarang ini aku lebih memilih memiliki teman kelompok. Menjadi satu-satunya anak baru di kelas saja sudah cukup buruk bagiku, apalagi dikucilkan!
Untunglah Bu Parsih segera turun tangan. Guru Bahasa Indonesia itu memandang ke sekeliling kelas, menghitung dan langsung menggiringku ke satu kelompok.   
Awalnya, aku senang karena akhirnya aku memiliki teman satu kelompok, tapi aku langsung menyesalinya. Teman sekelompokku adalah anak-anak paling unik di kelas. Dalam konotasi negatif, tentunya!
Atika dan Arisa bukanlah anak kembar, saudara kandung juga tidak! Mereka bersahabat. Ya, memang tidak ada aneh, tapi mereka sangaat cerewet! Mereka seperti dua mesin ATM yang mengeluarkan jutaan kata-kata per detik.
 Dani adalah cowok kutu buku yang tidak tertarik pada apapun juga selain buku. Buku-buku yang dibacanya bahkan lebih membosankan daripada menunggu nenek-nenek mneyebrang jalan.
Kalau Dani suka mantengin buku-buku, Irwan lebih tertarik membaca status Facebook teman-temannya dari hapenya, ber-SMS ria atau menelepon entah siapa. Kuakui, suara Irwan semanis suara Afgan, apalagi kalau mendengarkan suaranya lewat handphone, kalian pasti akan menyangka ditelepon oleh Afgan. Tapi sayangnya, wajahnya lebih mirip wajah Kiwil ditonjokin Afgan.    
Haaaah... Aku hanya bisa  menghela nafas panjang saja.
Setelah yakin semua siswanya telah mendapatkan kelompok, Bu Parsih lalu menugaskan masing-masing kelompok untuk membuat resensi karya sastra. Kelompokku mendapatkan tugas meresensi karya sastra berjudul Salah Asuhan-nya Marah Rusli.
Seperempat jam kemudian, bel istirahat kedua memperdengarkan suaranya yang sumbang. Dan tanpa menunggu lebih lama, aku langsung menyambangi perpustakaan sekolah. Pikirku, untuk membuat resensi, pertama-tama yang harus dilakukan adalah membaca karya sastra itu dulu. Dan di sinilah aku berada. Perpustakaan.
Kamu nyari buku untuk tugas bahasa Indonesia juga?” tanya seseorang. Jantungku hampir saja berhenti berdetak ketika Dani tiba-tiba muncul.
Kau mengagetkanku!” kataku spontan. Dani tersenyum, menungguku menjawab pertanyaannya. “Ya! Aku pikir sebelum buat resensinya, aku harus baca bukunya dulu.”
Tapi, buku-buku itu sudah dipinjam anak-anak kelas lain sejak kemarin!”
Aku mendesis kesal sembari mengumpat dalam hati. Ini situasi yang sama sekali tidak kuinginkan. “Kalau aku ‘gak bisa pinjam di perpustakaan, berarti aku harus beli. Jika, aku harus beli buku itu, artinya aku harus ‘nodong’ Ibu. Bagaimana aku tega meminta uang pada Ibu, ia sudah cukup berat membayar biaya sekolahku!”
Aku masih bergumul dengan pikiranku ketika seseorang bersuara bak Afgan berkata, “Kalau beli, harganya berapa, ya?” Sumpah, aku nyaris menjerit kaget. Aku benar-benar tidak menyadari kedatangan Irwan, yang diikuti Atika dan Arisa. “Tapi, talangin dulu, ya!? Duit gue bulan ini abis buat beli pulsa sama bensin!” imbuh Irwan.
“Huh, yang nyaranin malah ‘gak modal!” cibir Arisa. Tapi, lalu Arisa tersenyum misterius padaku dan Dani. Dengan nada riang membujuk dia berkata, “Tapi, kemaren gue sama Atika habis shopping gila-gilan, jadi...” Arisa menggantung kalimatnya.
Aku paling sebal kalau pembicaraan sudah bergulir ke masalah uang!
Kita ‘gak perlu beli. Pastinya buku yang kita cari ada di perpustakaan Ungaran!” Aku langsung menyetujui usulan Dani. “Tawaran yang menarik!” kataku spontan. Aku tidak ingin membuang-buang uang untuk beli buku yang bahkan hanya akan terpakai sekali saja. Tapi, sepertinya pikiranku itu tidak diamini oleh Irwan, Atika dan Arisa.
***
AYO KE PERPUSTAKAAN
Siang itu juga, aku, Dani, Irwan, Atika da Arisa pergi ke perpus Ungaran. Tempat itu berada di seberang alun-alun Ungaran. Aku benar-benar tidak menyadari sebelumnya kalau di dekat alun-alun ada sebuah perpustakaan. Padahal sudah sejak lima bulan yang lalu aku  melewati tempat itu setiap kali pulang pergi ke sekolah.
Tapi, sejak kami menginjakkan kaki di alun-alun Ungaran sampai seperempat jam kemudian, kami tidak beranjak seinchi pun mendekati bangunan yang kami tuju itu.  
Trauma?” seru Dani dengan nada bingung.
Arisa dan Atika mengangguk dan saling lirik sebelum berkata, “Penjaga perpusnya gualak, sih! Ibu-ibu pake jilbab, kacamataan, terus orangnya kidal.” Irwan mengangguk, menyetujui perkataan kedua cewek itu.
Gue dibentak sama dia hanya gara-gara buku yang gue pinjem ketekuk!?”
Iya, Gue sama Arisa juga pernah dibentak sama dia!” ujar Atika menambahi.
Jadi, kalian dimarahi tanpa alasan?” tanya Dani dengan tatapan menyelidik.
Aku rasa kecurigaan Dani itu beralasan. Aku tidak percaya kalau Atika dan Arisa dimarahi tanpa sebab musabab yang jelas. Kalian harus tahu, kedua cewek itu sangat suka mengobrol di manapun dan kapanpun! Mungkin saja suara keduanya hampir meruntuhkan bangunan tua itu.
Kalian ini lucu sekali!” celetuk Dani, sembari terkekeh geli. Arisa, Atika dan Irwan mengernyit kesal karena kata-kata Dani itu. “Jadi, hanya karena itu kalian ‘trauma’ pergi ke perpustakaan?
Maksud lo apa?
Jangan marah dulu! Kalian dibentak kan karena kalian memang salah!” Dani menoleh ke arah Irwan. “Wajar penjaga perpus itu marah, kamu merusak buku milik umum. Sama saja kalau hape kamu dipinjem orang terus diperlakukan seenaknya. Kamu marah, gak?” tanya Dani yang langsung disambut anggukan kepala Irwan. “Dan kalian!” Dani lalu menoleh ke arah Atika dan Arisa, yang terlonjak kaget karenanya. “Apa kalian tidak sadar kalau suara kalian itu mengganggu?”
Tapi, kan...” Sepertinya Atika ingin mengajukan protes, tapi terlalu takut karena Dani menatapnya dengan wajah serius.
Saat Dani melangkahkan kakinya ke arah perpustakaan, aku, Irwan, Anisa dan Atika mengekorinya dengan patuh. Sepertinya tanpa perlu voting kami tahu siapa ketua kelompok ini sekarang!
Sesampainya kami di dalam perpustakaan, seluruh penjaga perpustakaan yang berjumlah lima orang menyapa Dani dan tersenyum padanya, seolah-olah Dani adalah salah satu dari mereka. “Kau membawa temanmu, Dan?” tanya seorang wanita paruh baya, yang tengah duduk di depan meja peminjaman buku, pada Dani. Aku lihat wanita itu menggunakan tangan kiri untuk mencatat.
Ada tugas, Ma!” jawab Dani yang diikuti wajah terkejut Irwan, Atika dan Arisa.
Anggota Perpustakaan tinggal di Jl. Sadewa IV/16 mapagan Ungaran

Tidak ada komentar:

Posting Komentar