Slogan kami

Redaksi Buletin Pustaka mengucapkan Selamat Hari Soempah Pemoeda, 28 Oktober 2013

Kamis, 19 Januari 2012

Sayembara Legenda : CURI BUTHAK

CURI BUTHAK

 Di  dataran tinggi suatu wilayah perbukitan, terbentang hamparan sawah yang subur dengan segala tanaman hijau menghiasinya, terdapat sebuah desa yang sangat luas, Plaosan namanya. Desa tersebut  dipimpin oleh seorang Demang (sekarang Kepala Desa) yang adil dan bijaksana. Beliau memimpin rakyatnya dengan hati yang sabar, penuh kasih dan sayang serta selalu memikirkan apa yang menjadi kebutuhan rakyatnya, sehingga kawula merasa terlindungi, terayomi, hidup damai dan selalu melaksanakan apa yang menjadi titah Ki Demang . Beliau bernama Raden Putra. Seorang Demang yang masih keturunan bangsawan, sehingga secara genetis didarahnya mengalir jiwa seorang pemimpin.

Raden Putra memerintah di Plaosan didampingi oleh permaisuri yang cantik jelita bernama Niken Limaran. Dengan permaisuri inilah beliau berhasil memimpin Plaosan, sehingga lebih dikenal di luar daerah. Karena kesibukannya mereka mengangkat beberapa abdi (pembantu) untuk memperingan dan memperlancar segala tugasnya. Salah satu yang menjadi abdi dalemnya bernama Sulimah. Seorang remaja putri yang berasal dari salah satu dusun yang masih di bawah desa Plaosan.  Sulimah merupakan remaja yang sopan, bisa bergaul, cekatan dalam bekerja, rajin dan sangat pandai membawa diri. Dengan pelan Ki Demang berkata lembut kepada Sulimah: ”Sulimah kau tampak cantik akhir-akhir ini”. Sulimah tersipu malu dan merasa berada di awan atas sanjugan Ki Demang. Karena kelebihan itulah maka Raden Putra tergiur dan berkeinginan untuk memperistri Sulimah sebagai garwa selir. Walaupun dengan hati yang duka, cemburu yang membara, tapi tiada kuasa dan akhirnya Ken Limaran pun menerima Sulimah sebagai istri kedua Raden Putra.  ”Kangmas … dengan  berat hati dan sakit di dada ini, tapi aku tidak bisa berbuat apa-apa, maka semuanya  saya serahkan kepadamu suamiku tercinta,” kata Limaran kepada Ki Demang. Dari sinilah malapetaka menimpa Plaosan.
Tidak lama kemudian permaisuri Ken Limaran mendapat anugrah dari Yang Maha Kuasa berupa janin yang ada di dalam kandungannya. Hal tersebut sangat dinantikan karena sudah beberapa lama berkeluarga belum diberi momongan. Baru kali ini mereka diberi amanah untuk momong putra. Raden Putra pun sangat bersuka cita mendengar istri pertamanya hamil. Di bulan-bulan awal kehamilan istrinya beliau sangat memperhatikan kondisi si buah hatinya itu, tetapi menginjak umur tujuh bulan kehamilan istrinya  beliau merasakan suatu hal yang bertolak belakang dengan keadaaan awal. Raden Putra sangat membenci istrinya dan ingin sekali nundhung minggat permaisurinya itu. “Limaran minggat kau dari hadapanku. Muak aku melihatmu” bentak Ki Demang terhadap istrinya. Hal ini diperparah dengan melihat kemolekan, keindahan, keseksian serta bujuk rayu Sulimah sebagai istri kedua.  Kemarahan Raden Putra mencapai klimak ketika Ken Limaran melahirkan anaknya. Rasa kesetanen pun menghinggapi Raden Putra, sehingga beliau tega mencongkel kedua mata istrinya.  Tidak hanya itu saja kemurkaan Ki Demang, beliau juga memaksa istrinya harus minggat dari Plaosan. Dengan perasan kecewa, sedih, merana, serta dengan seribu macam perasaan yang tak dapat diungkapkan dengan kata-kata, Ken Limaran meninggalkan Plaosan sembari menggendong orok yang masih jabang itu. Perginya permaisuri diikuti oleh abdi yang setia kepadanya dan dijadikan penunjuk jalan karena beliaunya sudah buta. Sementara itu kedua mata Ken Limaran yang dicongkel disimpan di Jenggala (nyuwunan) rumah utama Raden Putra. Dan sejak itu pula Raden Putra mempunyai kegemaran baru yaitu adu jago (sabung ayam).
Perjalanan Ken Limaran dari Plaosan kearah utara timur laut dan sampailah pada suatu desa, yaitu Dadap Ayam. Di desa inilah Limaran membesarkan si jabang bayi. Anak tersebut di beri teteger  Cinde Laras. Dalam beberapa tahun mereka bertiga hidup dalam satu keluarga yang serba kekurangan. Tidak lama kemudian abdi tercinta  pun  meninggal dunia, sehinga Cinde  dan Ken Limaran hidup berdua.
Tujuh belas tahun kemudian,
Ken Limaran yang dari Dadap Ayam itu, walaupun buta tetapi hatinya baik, tulus terhadap sesama, serta iklas dalam segala perbuatannya, maka orang-orang disekitar menyebutnya dengan sebutan mBok Randa Dadapan . Dan pada suatu hari Cinde bersama ibunya (Randha Dadapan) pergi mencari kayu di Kali Gobak. Di sungai tersebut  Cindhe melihat sekor burung Dhandhang (gagak) terbang sambil membawa telur yang besar. Cinde sangat ingin memiliki telur tersebut, maka ia memohon ibunya untuk memintakan telur tersebut kepada gagak. Dengan suara merintih minta belas kasihan mBok Randha meminta, ”Wahai burung perkasa yang baik hati, sudilah kiranya engkau memberikan telur yang kau bawa, untuk anakku  Cinde yang malang ini”  Mendengar dan melihat keadaan Cinde dan ibunya, burung Dhandhang tanpa tidak banyak pertimbangan  memberikan telur yang dibawanya. Telur tersebut oleh Cinde dibawa ke sebuah goa.  Di dalam goa mereka kebingungan untuk neteske telur tersebut karena ukurannya besar. Mendengar keluh kesah itu seekor ular besar yang bernama Ulasawa menawarkan diri untuk menetaskan telur tersebut.  Ular meminta Cinde dan ibunya untuk pulang dan datang lagi setelah dua puluh satu hari.
Tepat di hari yang ke dua puluh satu, Cinde datang menemui Ulasawa untuk melihat tetasan dari telur . Ternyata menetas menjadi seekor ayam jantan yang gagah dan kuat. Pesan dari Ulasawa kepada Cinde supaya kalau  pagi ayam tersebut dimandikan  dengan banyu gege supaya cepat gede (besar), kalau siang dimandikan dengan banyu buket supaya jadi keringet dan kalau sore dimandikan banyu santer biar pinter. Setiap tidur ayam tersebut selalu bertengger (mplangkring) pada ranting pohon mangga dan selalu nelek (buang kotoran) pada satu tempat.
Ayam Cinde tidak bisa tidur disembarang tempat  tetapi hanya bisa tidur pada satu pohon mangga tersebut dan dengan posisi yang sama. Oleh karena itu Cinde pun mendirikan rumah sederhana pada suatu gumuk (bukit kecil) dekat dengan Guwa Sawa demi piaraannya tersebut. Ternyata ayam Cinde menjadi ayam yang kuat luar biasa dan selalu menang apabila di adu. Kemenangan demi kemenangan ini membuat ayam Cinde menjadi terkenal di wilayah Dadap Ayam dan disekitarnya.
Raden Putra penasaran sekali dengan ayam Cinde dan ingin mengadu ayamnya dengan milik Cinde. Waktu yang dinantikan Raden Putra pun tiba, maka antara kedua ayam tersebut saling diadu. Pertarungan itu terjadi beberapa kali dan selalu dimenangkan ayam Cinde. Raden Putra untuk yang terakhir kalinya bersumpah apabila kalah dalam pertarungan tersebut seluruh hartanya menjadi jaminannya. Dan ternyata petarungan terakhir pun dimenangkan ayam Cinde, maka dari itu seluruh hartanya, milik Cinde Laras. Raden Putra pergi dari Plaosan dan mendirikan rumah sederhana disebuah bukit kecil sebelah Utara Plaosan.
Pada suatu hari ketika Cinde membersihkan rumah Raden Putra ternyata menemukan dua mata yang disimpan di nyuwunan. Kejadian ini diceritakan pada ibunya dan ternyata kedua mata itu milik sang ibu. Maka dari itu, Cinde pun cepat-cepat memasangnya kembali kedua mata tersebut pada ibunya. Mulai saat itu ibunya ya mBok Randa Dadapan bisa melihat kembali.  Dan betapa terkejutnya Cinde Laras ketika ibunya menceritakan masa lalu mereka dan bahwa Raden Putra itu ternyata ayah kandungnya.
Tidak ada cerita berakhirnya kehidupan mBok Randa Dapapan, Cinde Laras dan ayamnya, tetapi justru kotoran ayamnya yang mengeras menjadi curi (batu) dan berwarna buthek (sebutan untuk manggantikan warna kotoran ayam) yang berbincangkan. Curi yang berwarna buthek inilah yang sampai sekarang dikenal dengan Curi Buthak.
Sumber Cerita   :    Ambyah,   masyarakat desa Dadap Ayam
Penulis               :    Sugito, penduduk asli Desa Pucung (desa dekat Curi Buthak), Pengajar di SMP N 3 Bawen


 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar